Hidup Sulit, Orang Indonesia Tetap Bahagia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badai pandemi Covid-19 membuat banyak sektor kehidupan terguncang. Namun, di tengah situasi bangsa yang serbasulit itu, mayoritas masyarakat Indonesia ternyata masih tetap bahagia.
Sejumlah hasil survei menunjukkan tingkat kebahagiaan masyarakat kian meningkat, terutama dalam setahun terakhir. Ini antara lain terlihat pada Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir Desember 2021.
Dari survei tersebut terungkap, indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia pada 2021 meningkat menjadi 71,49 atau naik 0,8 poin dibandingkan hasil survei BPS terakhir pada 2017, yakni di angka 70,69. Hasil survei ini sejalan dengan World Happiness Index 2021 yang mengukur kebahagiaan negara-negara di dunia.
Pada 2021, tingkat kebahagiaan Indonesia ada di peringkat ke-82 dari 149 negara, naik dua tingkat dari 2020 yang ada di posisi ke-84. Artinya, meski berbagai tekanan mental melanda akibat pandemi, masyarakat Indonesia mampu menghadapinya, bahkan menjalani hidup dalam kondisi lebih bahagia.
Lalu, faktor apa yang memicu kebahagiaan tersebut? Sejumlah kalangan menilai masyarakat Indonesia memiliki modal sosial yang kuat. Modal tersebut yakni semangat gotong-royong, kerelaan untuk berbagi, dan rasa optimisme yang tinggi. Seluruh sikap positif ini dianggap mampu menstimulasi orang untuk merasa bahagia.
Baca Juga: BPS: Masyarakat Indonesia Semakin Bahagia
Psikolog klinis Herly Novita Sari mengatakan, sifat suka menolong dan gotong-royong pada masyarakat Indonesia cukup memberikan pengaruh. “Kita lihat selama pandemi begitu banyak orang baik yang bahu-membahu mengumpulkan donasi, memberikan dukungan moril dan materiil, baik secara pribadi maupun melalui komunitas,” ucap Herly Novita Sari, Senin (24/1/2022).
Selama pandemi, semangat bergotong-royong dan gerakan membantu sesama memang terlihat di mana-mana. Bantuan kepada yang sakit akibat terpapar Covid-19 diberikan dalam bentuk barang atau uang. Salah satu platform berbagi yang menghimpun donasi para dermawan adalah Kitabisa. Sepanjang 2021 lebih dari 3 juta orang berdonasi melalui aplikasi Kitabisa untuk membantu lebih dari 36.000 penggalangan dana sosial.
Selain itu, gerakan membantu sesama juga dilakukan melalui berbagai program, di antaranya Warga Bantu Warga, sebuah inisiatif berbagi informasi dan membantu warga terdampak Covid-19. Gerakan lainnya yakni Kawal Masa Depan, sebuah inisiatif membantu anak-anak yatim piatu yang kesulitan biaya pendidikan. Banyak juga bermunculan gerakan membagi gratis oksigen kepada warga yang menjalani isolasi mandiri maupun dirawat di rumah sakit.
Menurut sosiolog perkotaan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tantan Hermansah, tingginya indeks kebahagiaan di sejumlah daerah selama masa pandemi memang dapat dipengaruhi oleh aspek sosial. Salah satu bentuk nilai sosial itu yakni kepedulian antarwarga di lingkungan tempat tinggal seperti membantu kebutuhan dasar jika ada warga yang terdampak pandemi. Daerah yang indeksnya tinggi disinyalir juga memiliki tingkat kepedulian sosial yang tinggi.
Dia menjelaskan, seseorang boleh saja merasa kekurangan materi, tetapi dirinya harus yakin bahwa orang-orang di lingkungannya akan memberikan kepastian kepadanya bahwa kebutuhan dasarnya akan tercukupi. “Ketika relasi yang sifatnya komunalitas itu terjaga, maka dengan sendirinya kebahagiaan bisa terbangun dan kian meningkat,” ujar Tantan.
Keharmonisan Keluarga
Dalam surveinya, BPS menggunakan tiga dimensi penyusun indeks kebahagiaan. Pertama, dimensi Kepuasan Hidup yang skornya mencapai 75,16. Kedua, dimensi Perasaan dengan skor 65,61, dan ketiga dimensi Makna Hidup dengan skor 73,12.
Khusus dimensi Kepuasan Hidup, terdapat dua subdimensi yang digunakan mengukur kebahagiaan, yakni Kepuasan Hidup Personal dan Kepuasan Hidup Sosial. Skor untuk subdimensi Kepuasan Hidup Sosial cukup tinggi yakni 80,07. Subdimensi Kepuasan Hidup Sosial ini memiliki lima indikator kepuasan, yakni keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan.
Khusus aspek hubungan sosial, terjadi peningkatan kepuasan. Pada 2017 tingkat kepuasan masyarakat di angka 75,45, pada 2021 naik menjadi 79,10. Adapun hubungan sosial ini dilihat dengan mengukur tiga poin, yakni kepercayaan (trust), partisipasi sosial, dan toleransi. Sikap gotong-royong dan kesediaan berbagi kepada sesama sebagaimana ditunjukkan masyarakat selama pandemi masuk dalam poin partisipasi sosial.
Pada survei BPS turut diukur kepuasan terhadap pendidikan dan keterampilan yang masuk dimensi Kepuasan Hidup. Hasilnya, kepuasan masyarakat terhadap pendidikan pada 2021 cukup rendah yakni hanya 62,79 poin. Sementara kepuasan terhadap kesehatan mencapai 76,28 poin. Poin tertinggi pada dimensi Kepuasan Hidup justru adalah keharmonisan keluarga, yakni dengan poin 82,56. Keharmonisan keluarga merupakan poin tertinggi dari 19 indikator penyusun kebahagiaan.
Kepuasan terhadap keharmonisan keluarga paling tinggi terdapat pada penduduk yang sangat sering melakukan kegiatan bersama keluarga, yaitu sebesar 87,41. Sementara itu, penduduk dengan kepuasan terhadap keharmonisan keluarga paling rendah adalah mereka yang sangat jarang melakukan kegiatan bersama keluarga, yaitu 77,31. “Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin sering seseorang melakukan kegiatan bersama keluarga, maka semakin tinggi kepuasan terhadap keharmonisan keluarga,” demikian pernyataan BPS.
Sejumlah hasil survei menunjukkan tingkat kebahagiaan masyarakat kian meningkat, terutama dalam setahun terakhir. Ini antara lain terlihat pada Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada akhir Desember 2021.
Dari survei tersebut terungkap, indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia pada 2021 meningkat menjadi 71,49 atau naik 0,8 poin dibandingkan hasil survei BPS terakhir pada 2017, yakni di angka 70,69. Hasil survei ini sejalan dengan World Happiness Index 2021 yang mengukur kebahagiaan negara-negara di dunia.
Pada 2021, tingkat kebahagiaan Indonesia ada di peringkat ke-82 dari 149 negara, naik dua tingkat dari 2020 yang ada di posisi ke-84. Artinya, meski berbagai tekanan mental melanda akibat pandemi, masyarakat Indonesia mampu menghadapinya, bahkan menjalani hidup dalam kondisi lebih bahagia.
Lalu, faktor apa yang memicu kebahagiaan tersebut? Sejumlah kalangan menilai masyarakat Indonesia memiliki modal sosial yang kuat. Modal tersebut yakni semangat gotong-royong, kerelaan untuk berbagi, dan rasa optimisme yang tinggi. Seluruh sikap positif ini dianggap mampu menstimulasi orang untuk merasa bahagia.
Baca Juga: BPS: Masyarakat Indonesia Semakin Bahagia
Psikolog klinis Herly Novita Sari mengatakan, sifat suka menolong dan gotong-royong pada masyarakat Indonesia cukup memberikan pengaruh. “Kita lihat selama pandemi begitu banyak orang baik yang bahu-membahu mengumpulkan donasi, memberikan dukungan moril dan materiil, baik secara pribadi maupun melalui komunitas,” ucap Herly Novita Sari, Senin (24/1/2022).
Selama pandemi, semangat bergotong-royong dan gerakan membantu sesama memang terlihat di mana-mana. Bantuan kepada yang sakit akibat terpapar Covid-19 diberikan dalam bentuk barang atau uang. Salah satu platform berbagi yang menghimpun donasi para dermawan adalah Kitabisa. Sepanjang 2021 lebih dari 3 juta orang berdonasi melalui aplikasi Kitabisa untuk membantu lebih dari 36.000 penggalangan dana sosial.
Selain itu, gerakan membantu sesama juga dilakukan melalui berbagai program, di antaranya Warga Bantu Warga, sebuah inisiatif berbagi informasi dan membantu warga terdampak Covid-19. Gerakan lainnya yakni Kawal Masa Depan, sebuah inisiatif membantu anak-anak yatim piatu yang kesulitan biaya pendidikan. Banyak juga bermunculan gerakan membagi gratis oksigen kepada warga yang menjalani isolasi mandiri maupun dirawat di rumah sakit.
Menurut sosiolog perkotaan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tantan Hermansah, tingginya indeks kebahagiaan di sejumlah daerah selama masa pandemi memang dapat dipengaruhi oleh aspek sosial. Salah satu bentuk nilai sosial itu yakni kepedulian antarwarga di lingkungan tempat tinggal seperti membantu kebutuhan dasar jika ada warga yang terdampak pandemi. Daerah yang indeksnya tinggi disinyalir juga memiliki tingkat kepedulian sosial yang tinggi.
Dia menjelaskan, seseorang boleh saja merasa kekurangan materi, tetapi dirinya harus yakin bahwa orang-orang di lingkungannya akan memberikan kepastian kepadanya bahwa kebutuhan dasarnya akan tercukupi. “Ketika relasi yang sifatnya komunalitas itu terjaga, maka dengan sendirinya kebahagiaan bisa terbangun dan kian meningkat,” ujar Tantan.
Keharmonisan Keluarga
Dalam surveinya, BPS menggunakan tiga dimensi penyusun indeks kebahagiaan. Pertama, dimensi Kepuasan Hidup yang skornya mencapai 75,16. Kedua, dimensi Perasaan dengan skor 65,61, dan ketiga dimensi Makna Hidup dengan skor 73,12.
Khusus dimensi Kepuasan Hidup, terdapat dua subdimensi yang digunakan mengukur kebahagiaan, yakni Kepuasan Hidup Personal dan Kepuasan Hidup Sosial. Skor untuk subdimensi Kepuasan Hidup Sosial cukup tinggi yakni 80,07. Subdimensi Kepuasan Hidup Sosial ini memiliki lima indikator kepuasan, yakni keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keadaan lingkungan, dan kondisi keamanan.
Khusus aspek hubungan sosial, terjadi peningkatan kepuasan. Pada 2017 tingkat kepuasan masyarakat di angka 75,45, pada 2021 naik menjadi 79,10. Adapun hubungan sosial ini dilihat dengan mengukur tiga poin, yakni kepercayaan (trust), partisipasi sosial, dan toleransi. Sikap gotong-royong dan kesediaan berbagi kepada sesama sebagaimana ditunjukkan masyarakat selama pandemi masuk dalam poin partisipasi sosial.
Pada survei BPS turut diukur kepuasan terhadap pendidikan dan keterampilan yang masuk dimensi Kepuasan Hidup. Hasilnya, kepuasan masyarakat terhadap pendidikan pada 2021 cukup rendah yakni hanya 62,79 poin. Sementara kepuasan terhadap kesehatan mencapai 76,28 poin. Poin tertinggi pada dimensi Kepuasan Hidup justru adalah keharmonisan keluarga, yakni dengan poin 82,56. Keharmonisan keluarga merupakan poin tertinggi dari 19 indikator penyusun kebahagiaan.
Kepuasan terhadap keharmonisan keluarga paling tinggi terdapat pada penduduk yang sangat sering melakukan kegiatan bersama keluarga, yaitu sebesar 87,41. Sementara itu, penduduk dengan kepuasan terhadap keharmonisan keluarga paling rendah adalah mereka yang sangat jarang melakukan kegiatan bersama keluarga, yaitu 77,31. “Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin sering seseorang melakukan kegiatan bersama keluarga, maka semakin tinggi kepuasan terhadap keharmonisan keluarga,” demikian pernyataan BPS.
(cip)