Mungkinkah Rusia Menginvasi Ukraina?

Kamis, 20 Januari 2022 - 13:59 WIB
loading...
A A A
Namun, banyak ihwal yang tidak bekerja sebagaimana mestinya di kawasan Eropa. Organisasi Pakta Atlantik Utara (NATO) misalnya hanya memberikan situasi stabil pada separuh bagian Barat daratan ini. Ekspansi NATO ke Timur telah membuat Rusia marah, yang kini kembali berpikir dengan cara-cara lama (realisme politik). Untuk merespons sikap NATO tersebut, Presiden Vladimir Putin dalam “The National Security Concept of the Russian Federation”, yang ditandatangani pada 10 Januari 2000, menyatakan bahwa, “the formations of international relations is accompanied by competition and also by the aspiration of a number of states to strengthen their influence on global politics, including by creating weapons of mass destruction. Military force and violence remain substantial aspects of international relations”.

Sejak Perang Dingin berakhir, NATO memang melakukan ekspansi ke Timur dengan menerima 13 negara anggota baru, termasuk negara-negara bekas Pakta Warsawa dan tiga negara Baltik yang pernah menjadi bagian Uni Soviet. Rusia melihat ini sebagai ancaman perambahan terhadap perbatasannya.

Dan, ancaman ekspansi tersebut semakin nyata sejak Ukraina menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan NATO. Sejak menggulingkan presiden pro-Rusia pada 2014, Ukraina telah bergerak lebih dekat ke Barat, mengadakan latihan militer bersama NATO dan menerima pengiriman senjata termasuk rudal antitank Javelin AS dan pesawat tak berawak Turki.

Kyiv dan Washington melihat ini sebagai langkah yang sah untuk memperkuat pertahanan Ukraina setelah Rusia merebut Krimea pada 2014 dan memberikan dukungan kepada separatis yang masih memerangi pasukan pemerintah di Ukraina Timur. Putin mengatakan hubungan Ukraina yang berkembang dengan aliansi itu dapat menjadikannya landasan peluncuran rudal NATO yang ditargetkan ke Rusia.

Rusia menolak kecurigaan Ukraina dan AS yang menuduh Rusia mempersiapkan invasi dengan penempatan lebih dari 100.000 pasukan di dekat perbatasan Ukraina. Rusia menyebut pihaknya hanya merespons ancaman. Putin menginginkan jaminan keamanan dari Barat, termasuk pencabutan janji keanggotaan NATO ke Kyiv.

Solusi Diplomatik
Menyikapi dua persoalan faktor di atas, sebetulnya AS dan NATO menginginkan dialog dengan Rusia untuk menghindari konflik. Rusia pun ingin dialog itu berlanjut. Pertemuan virtual Presiden AS Joe Biden dan Putin pada Minggu pertama Desember 2021 adalah awal dan akan ditindaklanjuti dengan lebih banyak pembicaraan dengan anggota NATO lainnya. Tetapi, tuntutan Rusia dan apa yang disebut “garis merah” membuat diplomasi menjadi sulit dilakukan (Jonathan Beale dan Paul Kirby, 2021).

Hal itu terjadi karena Rusia mendesak Barat agar menarik undangan ke Ukraina untuk bergabung dengan aliansi NATO. Kementerian Luar Negeri Rusia menegaskan, NATO harus secara resmi membatalkan deklarasi 2008 yang membuka pintu bagi Ukraina. Anggota NATO juga tidak diperkenankan memiliki pasukan yang berbasis di Ukraina; dan penghentian latihan militer di dekat perbatasan Rusia.

Namun, soalnya adalah NATO menolak semua tuntutan Rusia tersebut dan menegaskan itu adalah aliansi defensif yang tidak mengancam Rusia sama sekali. NATO menjelaskan bahwa Ukraina memiliki hak sendiri sebagai negara berdaulat dan tidak bersedia memberikan hak veto kepada Rusia atas masa depan Ukraina.

Apalagi, hubungan NATO dengan Ukraina, sebagaimana dikatakan oleh Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, hanya bisa diputuskan oleh 30 sekutu NATO dan Ukraina—tidak diperkenankan ada pihak lain.

Apabila kedua pihak bersikukuh atas sikapnya masing-masing, maka yang terjadi adalah deadlock—kondisi buntu antara pihak-pihak terkait, Rusia dan Barat, yang tidak mendapatkan solusi memuaskan.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0840 seconds (0.1#10.140)