Presidential Threshold, Nasdem Ingin 20 Persen dan PPP Pertimbangkan Angka Itu
loading...
A
A
A
JAKARTA - Nampaknya ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold pada Pemilu 2024 tidak akan jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pasalnya, kebanyakan partai di parlemen mengusulkan angka yang serupa dengan Pemilu 2019 yakni, 20 persen presidential threshold. Seperti misalnya Partai Nasdem yang usulkan 20 persen dan PPP pun mempertimbangkan angka yang sama.
“Nasdem usulkan 20 persen, kalau dari sisi calon itu bisa 3-4 pasang calon. Kita ingin mereka yang calonkan presiden benar-benar mendapatkan dukungan yang memadai,” kata Sekretaris Fraksi Nasdem DPR Saan Mustopa saat dihubungi SINDOmedia, Senin 8 Juni 2020. ( )
Saan menjelaskan, kalau ambang batas itu terlalu rendah misalnya 0 persen, maka akan sangat mudah orang menajdi calon presiden (capres) dan itu berpengaruh pada bobot capres yang maju. Selain itu, hasrat orang untuk menjadi capres pun menjadi tinggi. Sehingga, angka 20 persen dinilai Nasdem cukup ideal.
“Dengan 20 persen maka sudah terjadi proses seleksi di awal, untuk menjadi capres harus mendapat dukungan yang memadai, dengan mendapatkan dukungan seleksi sudah terjadi di situ,” terangnya. ( )
Terkait implikasi 20 persen membuat hanya 2 pasang calon, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR, itu bukan sesuatu yang negatif bahkan, tradisi 2 pasang itu kalau dilihat dari perspektif lain juga positif. Dalam sistem pilpres di Indonesia, pemenang diharuskan mendpatkan 50 persen+1 persen, dengan 2 pasang itu bisa tercapai sehingga tidak perlu dua putaran. Dari sisi teknis dan pembiayaan pun lebih efisien dan memberikan kepastian pilpres.
“Soal polarisasi di masyarakat dengan beberapa pasnagan pun ujungnya tetap dua pasang, kalau belum ada yang menang 50 persen +1 dietntukan di putaran 2, tetap aja ujungnya 2 cuma melambat aja prosesnya, sama seperti di Pemilu 2004, ada banyak pasanga ujungnya mengerucut 2,” terang Saan.
Kemudian, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PPP Arwani Thomafi menjelaskan bahwa PPP belum membahas soal besaran presidential threshold itu. Tetapi, PPP berpendapat bahwa pileg dan pilpres sebaiknya dipisah lagi seperti sebelumnya.
“Aasannya kita lihat evaluasi pelaksanaan pemilu di 2019 ya kan? banyak catatan terkait aspek keselamatan penyelenggara, kemudahan dalam memilih,” kata Arwani sata dihubungi.
Karena itu, Arwani melanjutkan dengan adanya pemisahan pileg dan pilpres itu berimplikasi pada presidential threshold. Jadi, digelar pileg terlebih dulu, setelah dapat hasil pileg bisa digunakan untuk tiket pilpres. Namun pada prinsipnya, PPP tidak ingin lagi terjadi polarisasi seperti di 2019.
“Kita ingin presidential threshold itu dimunculkan untuk menyaring, tapi jangan sampai menutup potensi-potensi koalisi partai bisa lebih banyak bermunculan, prinsipnya itu dulu,” terangnya.
Saat ditanya soal besaran presidential threshold, Wakil ketua Umum DPP PPP ini menjawab bahwa arahnya sama dengan Pemilu 2019 yakni 20 persen. “Arahnya sih tetap ya (20 persen), cuma kita maunya pileg pilpres dipisah,” pungkasnya.
“Nasdem usulkan 20 persen, kalau dari sisi calon itu bisa 3-4 pasang calon. Kita ingin mereka yang calonkan presiden benar-benar mendapatkan dukungan yang memadai,” kata Sekretaris Fraksi Nasdem DPR Saan Mustopa saat dihubungi SINDOmedia, Senin 8 Juni 2020. ( )
Saan menjelaskan, kalau ambang batas itu terlalu rendah misalnya 0 persen, maka akan sangat mudah orang menajdi calon presiden (capres) dan itu berpengaruh pada bobot capres yang maju. Selain itu, hasrat orang untuk menjadi capres pun menjadi tinggi. Sehingga, angka 20 persen dinilai Nasdem cukup ideal.
“Dengan 20 persen maka sudah terjadi proses seleksi di awal, untuk menjadi capres harus mendapat dukungan yang memadai, dengan mendapatkan dukungan seleksi sudah terjadi di situ,” terangnya. ( )
Terkait implikasi 20 persen membuat hanya 2 pasang calon, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR, itu bukan sesuatu yang negatif bahkan, tradisi 2 pasang itu kalau dilihat dari perspektif lain juga positif. Dalam sistem pilpres di Indonesia, pemenang diharuskan mendpatkan 50 persen+1 persen, dengan 2 pasang itu bisa tercapai sehingga tidak perlu dua putaran. Dari sisi teknis dan pembiayaan pun lebih efisien dan memberikan kepastian pilpres.
“Soal polarisasi di masyarakat dengan beberapa pasnagan pun ujungnya tetap dua pasang, kalau belum ada yang menang 50 persen +1 dietntukan di putaran 2, tetap aja ujungnya 2 cuma melambat aja prosesnya, sama seperti di Pemilu 2004, ada banyak pasanga ujungnya mengerucut 2,” terang Saan.
Kemudian, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PPP Arwani Thomafi menjelaskan bahwa PPP belum membahas soal besaran presidential threshold itu. Tetapi, PPP berpendapat bahwa pileg dan pilpres sebaiknya dipisah lagi seperti sebelumnya.
“Aasannya kita lihat evaluasi pelaksanaan pemilu di 2019 ya kan? banyak catatan terkait aspek keselamatan penyelenggara, kemudahan dalam memilih,” kata Arwani sata dihubungi.
Karena itu, Arwani melanjutkan dengan adanya pemisahan pileg dan pilpres itu berimplikasi pada presidential threshold. Jadi, digelar pileg terlebih dulu, setelah dapat hasil pileg bisa digunakan untuk tiket pilpres. Namun pada prinsipnya, PPP tidak ingin lagi terjadi polarisasi seperti di 2019.
“Kita ingin presidential threshold itu dimunculkan untuk menyaring, tapi jangan sampai menutup potensi-potensi koalisi partai bisa lebih banyak bermunculan, prinsipnya itu dulu,” terangnya.
Saat ditanya soal besaran presidential threshold, Wakil ketua Umum DPP PPP ini menjawab bahwa arahnya sama dengan Pemilu 2019 yakni 20 persen. “Arahnya sih tetap ya (20 persen), cuma kita maunya pileg pilpres dipisah,” pungkasnya.
(mhd)