Buku Demokrasi di Era Post Truth, Budi Gunawan Beberkan 4 Strategi Hadapi Hoaks

Minggu, 12 Desember 2021 - 15:09 WIB
loading...
A A A
Dia mengatakan, media sosial memiliki kapasitas untuk menyebarluaskan informasi yang salah, memunculkan teori-teori konspirasi liar, membicarakan kubu oposisi secara negatif tanpa dasar dan bukti yang jelas, serta menyebabkan terjadinya polarisasi yang tajam di antara para kontestan pemilu. Akibatnya, upaya-upaya dialog menjadi sulit sekali dilakukan.

Kondisi yang terjadi di Amerika Serikat pada 2016 ternyata juga dialami Korea Selatan. Pemilu di Korea Selatan berkelindan dengan peningkatan berita palsu pada Pemilihan Presiden 2017. Ketika itu, presiden berkuasa, Park Geun-hye, dimakzulkan menjelang pemilihan presiden. Jabatan yang kosong diisi Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn. Presiden hasil pemilu diharapkan segera mengisi kekosongan tersebut. Karena itu, pilpres yang sedianya dilaksanakan 20 Desember 2017 dipercepat menjadi 9 Mei 2017.

“Isu pemakzulan menjadi latar belakang kampanye yang panas. Isu itu membuat tema kampanye terpolarisasi antara pendukung dan penentang pemakzulan presiden. Debat capres pun menjadi debat yang tidak terkontrol sehingga para capres terpancing mengeluarkan beragam berita palsu dan informasi yang menyesatkan,” tulis Budi Gunawan.

Bagaimana dengan Indonesia, menurut Budi Gunawan, demi mengamankan demokrasi elektoral mendatang, perlu adanya perumusan strategi untuk mengantisipasi praktik disinformasi post-truth. Ada empat strategi yang ditawarkan. Pertama, memperkuat intelijen siber di Badan Intelijen Negara. Cara ini meliputi strategi penyebaran informasi, pelatihan, serta peningkatan kualitas SDM intelijen tentang dunia siber dan platform media baru. Ini dilakukan agar intelijen Indonesia mampu merespons serta mengantisipasi beragam disinformasi.

Kedua, melakukan intervensi teknologi. Harus ada upaya inovasi teknologi fact-checking oleh negara, industri platform, dunia akademis, maupun masyarakat sipil. Selain itu, teknologi filter konten oleh industri platform untuk mendeteksi konten-konten negatif harus terus diperbarui.

Ketiga, memperbarui regulasi. Seluruh pihak yang berelasi di ruang siber diharapkan dapat tersentuh hukum apabila melakukan pelanggaran. Indonesia sendiri sudah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tetapi perlu penyempurnaan mengikuti kemajuan yang terjadi.

Keempat, mengingat masyarakat mudah memercayai informasi yang bertebaran, Budi Gunawan dan Barito menyarankan pembentukan masyarakat kritis. Upaya ini dapat dilakukan melalui edukasi pola pikir yang kritis, tidak menelan mentah-mentah informasi yang didapat.
(cip)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3374 seconds (0.1#10.140)