Uni Eropa Net-Zero 2050: Peluang dan Tantangan Indonesia
loading...
A
A
A
Haekal Siraj
Mahasiswa MSc International Relations di The University of Edinburgh, Inggris
Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia Kemdikbudristek x LPDP
SATU hal menarik yang dihasilkan Konferensi Perubahan Iklim Internasional ke-26 atau COP-26 di Glasgow, Inggris adalah komitmen Uni Eropa (organisasi kawasan beranggotakan 27 negara-negara di Eropa) untuk menjadi kawasan pertama di dunia yang netral karbon (net-zero) pada 2050. Net-zero sendiri artinya adalah kondisi seimbang antara emisi yang dihasilkan dan yang mampu diserap oleh suatu wilayah.
Bagi Uni Eropa, net-zero bukanlah hal yang baru. Komitmen ambisius ini sudah disampaikan pertama kali pada Desember 2019 dalam pidato pertama Ursula von der Leyen sebagai Presiden Komisi Uni Eropa 2019-2024. Target tersebut diambil berdasarkan beberapa pertimbangan, contohnya, survei dari Eurobarometer, di mana 93% masyarakat Uni Eropa merasa perubahan iklim sebagai ancaman serius dan hampir 80% yakin ancaman tersebut dapat diatasi dengan inovasi hijau.
Salah satu bentuk inovasi hijau yang akan digunakan oleh Uni Eropa adalah penggunaan energi bersih. Hal ini dikarenakan selama ini sektor energi berkontribusi lebih dari 75% terhadap total emisi yang dihasilkan Uni Eropa, berdasarkan data dari Eurostat. Dengan mengaplikasikan energi bersih untuk mencapai target net-zero 2050, maka Uni Eropa akan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap namun signifikan, menggunakan gas alam untuk tujuan transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan, serta menggunakan energi baru dan terbarukan dalam bauran energi (Leonard et al. 2021).
Eurostat mencatat pada 2004, Uni Eropa hanya menggunakan 8,6% energi dari sumber energi baru dan terbarukan. Namun, di tahun ini, angka tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 19,7%. Energi baru dan terbarukan dari pembangkit listrik tenaga angin dan air menempati porsi energi baru dan terbarukan paling signifikan dengan persentase masing-masing sebesar 35%. Sementara itu, meskipun tenaga surya hanya berkontribusi 1% dari total energi baru dan terbarukan pada 2018, namun pertumbuhannya paling cepat.
Peluang dan Tantangan Indonesia
Untuk mencapai net-zero 2050, tentu Uni Eropa akan semakin gencar menggunakan energi baru dan terbarukan. Sementara itu, untuk membuat pembangkit listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan, diperlukan beberapa komponen seperti panel surya dan turbin angin. Lalu, untuk memproduksi kedua komponen tersebut diperlukan berbagai bahan tambang. Uni Eropa sudah mengidentifikasi setidaknya ada 30 bahan tambang penting yang dibutuhkan untuk membuat komponen-komponen pembangkit listrik energi baru dan terbarukan.
Bahan-bahan tambang tersebut tidak dapat diganti dengan bahan-bahan lain. Sementara itu, kapasitas Uni Eropa untuk menambang hanya sebesar 3% (Leonard et al. 2020). Hal ini dikarenakan beberapa bahan tambang tersebut hanya bisa ditemukan di beberapa negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, impor bahan tambang untuk membangun pembangkit listrik energi baru dan terbarukan tentu dilakukan oleh Uni Eropa.
Berdasarkan data yang ada, sejak 2010-2014, Uni Eropa mengimpor 62% ketiga puluh bahan tambang penting tersebut dari Tiongkok. Sementara itu, impor yang berasal dari Indonesia masih sebesar 3% (Bruegel/European Council on Foreign Relations berdasarkan data Komisi Uni Eropa 2017).
Berkaca dari pengalaman Uni Eropa yang selama ini memiliki ketergantungan impor energi fosil yang tinggi dari satu negara saja (Rusia), dalam menggunakan energi bersih, mulai ada dorongan terhadap Uni Eropa agar memanfaatkan transisi energi sebagai momentum untuk tidak lagi mengulang hal yang sama. Dengan kata lain, Uni Eropa diharapkan tidak memindahkan ketergantungan energi tinggi dari Rusia ke Tiongkok yang selama ini menjadi eksportir terbesar bahan-bahan baku infrastruktur hijau. Salah satu strategi yang kemungkinan besar akan digunakan Uni Eropa agar tidak ketergantungan energi bersih dalam impor 30 bahan tambang penting dari Tiongkok adalah dengan melakukan diversifikasi impor, yaitu, memperbanyak volum impor dari negara-negara lain.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki bahan-bahan tambang tersebut tentu akan terdampak diversifikasi impor yang dilakukan oleh Uni Eropa, baik terdampak dalam bentuk peluang dan tantangan. Pertama, terkait peluang, diversifikasi impor tersebut dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengekspor bahan-bahan tambang dari Indonesia yang diperlukan untuk kebutuhan energi baru dan terbarukan dalam jumlah yang lebih besar. Ekspor ini tentunya akan semakin memperbesar nilai perdagangan Indonesia ke Uni Eropa. Berdasarkan data dari Komisi Uni Eropa, di tahun 2020, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa masih sebesar 13,3 miliar Euro. Nilai tersebut menjadikan Indonesia sebagai mitra dagang terbesar ke-31 bagi Uni Eropa.
Tidak hanya dalam bentuk bahan tambang, Indonesia juga dapat memanfaatkan peluang ekspor barang jadi untuk memenuhi kebutuhan energi baru dan terbarukan di Uni Eropa, contohnya, ekspor panel surya. Namun saat ini, berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, Indonesia hanya memiliki 10 pabrik panel surya, sehingga Tingkat Kandungan Dalam Negeri industri tersebut di tahun 2016-2018 masih sebesar 40%.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu segera memperbesar kemampuan produksi panel surya Indonesia. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk memperbesar kemampuan produksi adalah dengan membangun kemitraan bersama Uni Eropa dalam investasi panel surya. Dengan kemitraan tersebut, target Tingkat Kandungan Dalam Negeri Indonesia untuk industri panel surya sebesar 85% di periode 2020-2022 dan 90% di 2023-2025 akan semakin mudah tercapai. Tak hanya itu, kemitraan di industri panel surya tersebut secara otomatis akan meningkatkan jumlah investasi asing langsung Uni Eropa ke Indonesia yang di tahun 2020 menurut Komisi Uni Eropa masih sebesar 25,8 miliar Euro.
Namun, dalam hal tantangan, impor bahan-bahan tambang yang diperlukan oleh Uni Eropa tersebut dapat menyebabkan permasalahan lingkungan bagi Indonesia, jika tidak ditangani dengan bijak. Hal ini dikarenakan tawaran impor tersebut dapat mengakibatkan aktivitas tambang di Indonesia semakin agresif dan tentunya, tingkat emisi Indonesia akan semakin besar. Perlu dicatat bahwa dalam komitmen perubahan iklim, Indonesia memiliki target untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan usaha sendiri, bahkan hingga mencapai 41% dengan bantuan internasional pada 2030.
Dalam jangka panjang, Indonesia juga berkomitmen menjadi net-zero pada 2060. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus memastikan dengan cermat agar keuntungan ekonomi jangka pendek tidak mengorbankan keuntungan jangka panjang kelestarian lingkungan Indonesia. Jika tawaran tersebut tidak disikapi dengan bijak, yang terjadi justru secara tidak langsung adalah ekspor polusi dari Uni Eropa ke Indonesia.
Mahasiswa MSc International Relations di The University of Edinburgh, Inggris
Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia Kemdikbudristek x LPDP
SATU hal menarik yang dihasilkan Konferensi Perubahan Iklim Internasional ke-26 atau COP-26 di Glasgow, Inggris adalah komitmen Uni Eropa (organisasi kawasan beranggotakan 27 negara-negara di Eropa) untuk menjadi kawasan pertama di dunia yang netral karbon (net-zero) pada 2050. Net-zero sendiri artinya adalah kondisi seimbang antara emisi yang dihasilkan dan yang mampu diserap oleh suatu wilayah.
Bagi Uni Eropa, net-zero bukanlah hal yang baru. Komitmen ambisius ini sudah disampaikan pertama kali pada Desember 2019 dalam pidato pertama Ursula von der Leyen sebagai Presiden Komisi Uni Eropa 2019-2024. Target tersebut diambil berdasarkan beberapa pertimbangan, contohnya, survei dari Eurobarometer, di mana 93% masyarakat Uni Eropa merasa perubahan iklim sebagai ancaman serius dan hampir 80% yakin ancaman tersebut dapat diatasi dengan inovasi hijau.
Salah satu bentuk inovasi hijau yang akan digunakan oleh Uni Eropa adalah penggunaan energi bersih. Hal ini dikarenakan selama ini sektor energi berkontribusi lebih dari 75% terhadap total emisi yang dihasilkan Uni Eropa, berdasarkan data dari Eurostat. Dengan mengaplikasikan energi bersih untuk mencapai target net-zero 2050, maka Uni Eropa akan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap namun signifikan, menggunakan gas alam untuk tujuan transisi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan, serta menggunakan energi baru dan terbarukan dalam bauran energi (Leonard et al. 2021).
Eurostat mencatat pada 2004, Uni Eropa hanya menggunakan 8,6% energi dari sumber energi baru dan terbarukan. Namun, di tahun ini, angka tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 19,7%. Energi baru dan terbarukan dari pembangkit listrik tenaga angin dan air menempati porsi energi baru dan terbarukan paling signifikan dengan persentase masing-masing sebesar 35%. Sementara itu, meskipun tenaga surya hanya berkontribusi 1% dari total energi baru dan terbarukan pada 2018, namun pertumbuhannya paling cepat.
Peluang dan Tantangan Indonesia
Untuk mencapai net-zero 2050, tentu Uni Eropa akan semakin gencar menggunakan energi baru dan terbarukan. Sementara itu, untuk membuat pembangkit listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan, diperlukan beberapa komponen seperti panel surya dan turbin angin. Lalu, untuk memproduksi kedua komponen tersebut diperlukan berbagai bahan tambang. Uni Eropa sudah mengidentifikasi setidaknya ada 30 bahan tambang penting yang dibutuhkan untuk membuat komponen-komponen pembangkit listrik energi baru dan terbarukan.
Bahan-bahan tambang tersebut tidak dapat diganti dengan bahan-bahan lain. Sementara itu, kapasitas Uni Eropa untuk menambang hanya sebesar 3% (Leonard et al. 2020). Hal ini dikarenakan beberapa bahan tambang tersebut hanya bisa ditemukan di beberapa negara, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, impor bahan tambang untuk membangun pembangkit listrik energi baru dan terbarukan tentu dilakukan oleh Uni Eropa.
Berdasarkan data yang ada, sejak 2010-2014, Uni Eropa mengimpor 62% ketiga puluh bahan tambang penting tersebut dari Tiongkok. Sementara itu, impor yang berasal dari Indonesia masih sebesar 3% (Bruegel/European Council on Foreign Relations berdasarkan data Komisi Uni Eropa 2017).
Berkaca dari pengalaman Uni Eropa yang selama ini memiliki ketergantungan impor energi fosil yang tinggi dari satu negara saja (Rusia), dalam menggunakan energi bersih, mulai ada dorongan terhadap Uni Eropa agar memanfaatkan transisi energi sebagai momentum untuk tidak lagi mengulang hal yang sama. Dengan kata lain, Uni Eropa diharapkan tidak memindahkan ketergantungan energi tinggi dari Rusia ke Tiongkok yang selama ini menjadi eksportir terbesar bahan-bahan baku infrastruktur hijau. Salah satu strategi yang kemungkinan besar akan digunakan Uni Eropa agar tidak ketergantungan energi bersih dalam impor 30 bahan tambang penting dari Tiongkok adalah dengan melakukan diversifikasi impor, yaitu, memperbanyak volum impor dari negara-negara lain.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki bahan-bahan tambang tersebut tentu akan terdampak diversifikasi impor yang dilakukan oleh Uni Eropa, baik terdampak dalam bentuk peluang dan tantangan. Pertama, terkait peluang, diversifikasi impor tersebut dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mengekspor bahan-bahan tambang dari Indonesia yang diperlukan untuk kebutuhan energi baru dan terbarukan dalam jumlah yang lebih besar. Ekspor ini tentunya akan semakin memperbesar nilai perdagangan Indonesia ke Uni Eropa. Berdasarkan data dari Komisi Uni Eropa, di tahun 2020, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa masih sebesar 13,3 miliar Euro. Nilai tersebut menjadikan Indonesia sebagai mitra dagang terbesar ke-31 bagi Uni Eropa.
Tidak hanya dalam bentuk bahan tambang, Indonesia juga dapat memanfaatkan peluang ekspor barang jadi untuk memenuhi kebutuhan energi baru dan terbarukan di Uni Eropa, contohnya, ekspor panel surya. Namun saat ini, berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, Indonesia hanya memiliki 10 pabrik panel surya, sehingga Tingkat Kandungan Dalam Negeri industri tersebut di tahun 2016-2018 masih sebesar 40%.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu segera memperbesar kemampuan produksi panel surya Indonesia. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk memperbesar kemampuan produksi adalah dengan membangun kemitraan bersama Uni Eropa dalam investasi panel surya. Dengan kemitraan tersebut, target Tingkat Kandungan Dalam Negeri Indonesia untuk industri panel surya sebesar 85% di periode 2020-2022 dan 90% di 2023-2025 akan semakin mudah tercapai. Tak hanya itu, kemitraan di industri panel surya tersebut secara otomatis akan meningkatkan jumlah investasi asing langsung Uni Eropa ke Indonesia yang di tahun 2020 menurut Komisi Uni Eropa masih sebesar 25,8 miliar Euro.
Namun, dalam hal tantangan, impor bahan-bahan tambang yang diperlukan oleh Uni Eropa tersebut dapat menyebabkan permasalahan lingkungan bagi Indonesia, jika tidak ditangani dengan bijak. Hal ini dikarenakan tawaran impor tersebut dapat mengakibatkan aktivitas tambang di Indonesia semakin agresif dan tentunya, tingkat emisi Indonesia akan semakin besar. Perlu dicatat bahwa dalam komitmen perubahan iklim, Indonesia memiliki target untuk menurunkan emisi sebesar 26% dengan usaha sendiri, bahkan hingga mencapai 41% dengan bantuan internasional pada 2030.
Dalam jangka panjang, Indonesia juga berkomitmen menjadi net-zero pada 2060. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus memastikan dengan cermat agar keuntungan ekonomi jangka pendek tidak mengorbankan keuntungan jangka panjang kelestarian lingkungan Indonesia. Jika tawaran tersebut tidak disikapi dengan bijak, yang terjadi justru secara tidak langsung adalah ekspor polusi dari Uni Eropa ke Indonesia.
(bmm)