Kisah 2 Paman Prabowo yang Gugur di Usia Belia saat Bertempur Bersama Daan Mogot
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto ternyata memiliki dua paman juga terjun di dunia militer. Salah satu nama paman tersebut kini disandang Prabowo.
"Yang banyak tidak tahu, paman saya, namanya Subianto. Itulah nama yang saya sandang sekarang, Prabowo Subianto,” kata Prabowo saat menerima penganugerahan Warga Kehormatan Utama Korps Brimob Polri di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jumat (12/11/2021).
Ya, paman Prabowo itu bernama lengkap Subianto Djojohadikusumo, seorang tentara dengan pangkat terakhir kapten. Bersama saudaranya Taruna Sujono Djojohadikusumo, Subianto terjun dalam pertempuran Lengkong, Tangerang Selatan Mayor Elias Daan Mogot. Di dalam pertempuran itulah, kedua saudara kandung Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, tersebut gugur.
Kiprah kedua paman yang gugur dalam usia muda tersebut diceritakan Prabowo dalam biografinya, Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.
Mantan Danjen Kopassus menuturkan, setelah Indonesia merdeka, Subianto dan Sujono masuk tentara. Subianto langsung perwira, sedangkan Sujono masuk jenjang taruna (kadet). Mereka merupakan rekan seperjuangan Daan Mogot, perwira Tentara Republik Indonesia.
Mayor Daan Mogot, perwira yang memimpin pertempuran Lengkong. Foto/ist
Daan Mogot merupakan sosok tentara dengan karier cemerlang. Pria kelahiran Manado itu menjadi mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) di usia 14 tahun. Pada 1944, Daan Mogot ditempatkan sebagai staf Markas Besar Peta di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan RI itu dia bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat mayor.
“Berbekal pengalamannya sebagai pelatih Peta di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekan sesama perwira menggagas pendidikan akademi militer. Gagasannya ditanggapi serius Markas Besar Tentara di Jakarta dan pada November 1945 berdirilah Militaire Academi Tangerang (MAT),” kata Prabowo.
Karena kegigihan dan keberhasilan memimpin pasukan, Daan Mogot dipercaya menjadi direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Dia diberi tugas mendidik calon-calon perwira Indonesia untuk ikut serta dalam perang mempertahankan kemerdekaan RI.
Pertempuran Lengkong
Pada Januari 1946 pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dalam upaya untuk menguasai kembali wilayah Indonesia. Target pasukan tersebut adalah depot senjata tentara Jepang di Lengkong, Serpong. Pada 25 Januari 1946, berangkatlah pasukan di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot. Berkekuatan 70 kadet Akademi Militer Tangerang dan 8 tentara Gurkha, misi pasukan Daan Mogot adalah mencegah senjata tentara Jepang jatuh ke tangan Belanda.
Prabowo menceritakan, pada pukul 16.00 pasukan tiba di markas Jepang. Kehadiran empat serdadu Gurkha berhasil meyakinkan Jepang bahwa rombongan pasukan yang datang yakni gabungan TKR dan sekutu.
Mayor Daan Mogot bersama beberapa tentara memasuki kantor militer Jepang. Di sana mereka memberikan penjelasan mengenai maksud kedatangan tersebut. Tetapi di luar markas, Lettu Subianto dan Lettu Soetopo tanpa menunggu hasil perundingan langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Nippon itu berhasil dikumpulkan.
“Namun tiba-tiba terdengar letusan senjata. Letusan ini memicu kepanikan tentara Jepang yang menduga mereka dijebak sehingga mereka mulai sigap dan menembaki tentara MAT,” ucap Prabowo.
Para taruna MAT pun mencoba memberikan perlawanan. Mereka melepaskan tembakan pula untuk membalas. Tetapi pertempuran itu tidak seimbang. Perang berakhir ketika hari mulai gelap. Prajurit yang masih hidup ditawan Jepang, sementara lainnya berhasil menyelematkan diri.
“Mayor Daan Mogot, Lettu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono dan dua perwira dari polisi tentara serta 33 prajurit gugur dalam pertempuran. Dua paman saya, Subianto dan Sujono, pada saat itu usianya baru 16 tahun,” tutur Prabowo.
“Dari cerita Daan Mogot dan Pertempuran Lengkong sejak kecil saya belajar sebuah pelajaran abadi. Pelajaran bahwa nilai-nilai patriotism, idealisme dan keberpihakan kepada Merah Putih dapat dimulai dari usia sangat muda,” ucap mantan Pangkostrad ini.
"Yang banyak tidak tahu, paman saya, namanya Subianto. Itulah nama yang saya sandang sekarang, Prabowo Subianto,” kata Prabowo saat menerima penganugerahan Warga Kehormatan Utama Korps Brimob Polri di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jumat (12/11/2021).
Ya, paman Prabowo itu bernama lengkap Subianto Djojohadikusumo, seorang tentara dengan pangkat terakhir kapten. Bersama saudaranya Taruna Sujono Djojohadikusumo, Subianto terjun dalam pertempuran Lengkong, Tangerang Selatan Mayor Elias Daan Mogot. Di dalam pertempuran itulah, kedua saudara kandung Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, tersebut gugur.
Kiprah kedua paman yang gugur dalam usia muda tersebut diceritakan Prabowo dalam biografinya, Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto.
Mantan Danjen Kopassus menuturkan, setelah Indonesia merdeka, Subianto dan Sujono masuk tentara. Subianto langsung perwira, sedangkan Sujono masuk jenjang taruna (kadet). Mereka merupakan rekan seperjuangan Daan Mogot, perwira Tentara Republik Indonesia.
Mayor Daan Mogot, perwira yang memimpin pertempuran Lengkong. Foto/ist
Daan Mogot merupakan sosok tentara dengan karier cemerlang. Pria kelahiran Manado itu menjadi mayor pada usia 16 tahun setelah mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (Peta) di usia 14 tahun. Pada 1944, Daan Mogot ditempatkan sebagai staf Markas Besar Peta di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945. Setelah kemerdekaan RI itu dia bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat mayor.
“Berbekal pengalamannya sebagai pelatih Peta di Bali, Daan Mogot bersama rekan-rekan sesama perwira menggagas pendidikan akademi militer. Gagasannya ditanggapi serius Markas Besar Tentara di Jakarta dan pada November 1945 berdirilah Militaire Academi Tangerang (MAT),” kata Prabowo.
Karena kegigihan dan keberhasilan memimpin pasukan, Daan Mogot dipercaya menjadi direktur Akademi Militer Tangerang yang pertama. Dia diberi tugas mendidik calon-calon perwira Indonesia untuk ikut serta dalam perang mempertahankan kemerdekaan RI.
Pertempuran Lengkong
Pada Januari 1946 pasukan Belanda dan KNIL menduduki Parung dalam upaya untuk menguasai kembali wilayah Indonesia. Target pasukan tersebut adalah depot senjata tentara Jepang di Lengkong, Serpong. Pada 25 Januari 1946, berangkatlah pasukan di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot. Berkekuatan 70 kadet Akademi Militer Tangerang dan 8 tentara Gurkha, misi pasukan Daan Mogot adalah mencegah senjata tentara Jepang jatuh ke tangan Belanda.
Prabowo menceritakan, pada pukul 16.00 pasukan tiba di markas Jepang. Kehadiran empat serdadu Gurkha berhasil meyakinkan Jepang bahwa rombongan pasukan yang datang yakni gabungan TKR dan sekutu.
Mayor Daan Mogot bersama beberapa tentara memasuki kantor militer Jepang. Di sana mereka memberikan penjelasan mengenai maksud kedatangan tersebut. Tetapi di luar markas, Lettu Subianto dan Lettu Soetopo tanpa menunggu hasil perundingan langsung melucuti tentara Jepang. Senjata-senjata Nippon itu berhasil dikumpulkan.
“Namun tiba-tiba terdengar letusan senjata. Letusan ini memicu kepanikan tentara Jepang yang menduga mereka dijebak sehingga mereka mulai sigap dan menembaki tentara MAT,” ucap Prabowo.
Para taruna MAT pun mencoba memberikan perlawanan. Mereka melepaskan tembakan pula untuk membalas. Tetapi pertempuran itu tidak seimbang. Perang berakhir ketika hari mulai gelap. Prajurit yang masih hidup ditawan Jepang, sementara lainnya berhasil menyelematkan diri.
“Mayor Daan Mogot, Lettu Subianto Djojohadikusumo, Kadet Sujono dan dua perwira dari polisi tentara serta 33 prajurit gugur dalam pertempuran. Dua paman saya, Subianto dan Sujono, pada saat itu usianya baru 16 tahun,” tutur Prabowo.
“Dari cerita Daan Mogot dan Pertempuran Lengkong sejak kecil saya belajar sebuah pelajaran abadi. Pelajaran bahwa nilai-nilai patriotism, idealisme dan keberpihakan kepada Merah Putih dapat dimulai dari usia sangat muda,” ucap mantan Pangkostrad ini.
(muh)