Mampu Atasi Permasalahan Hutan, KLHK Sebut SVLK Sudah Diakui Dunia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sistem Verifikasi Legal Kayu atau SVLK, yang sudah diakui dunia internasional. Pengakuan itu datang seperti dari Uni Eropa dalam kerangka perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan (VPA FLEGT).
Baca juga: 1.852 Ha Lahan di Gowa Keluar dari Kawasan Hutan
Hal ini dikatakan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian LHK, Agus Justianto dalam keterangan tertulis dari COP26, Glasgow, Inggris, Selasa (9/11/2021).
"SVLK pun kemudian disetarakan sebagai lisensi FLEGT 2016. Lalu tahun 2019 kita mengadakan perjanjian (VPA) dengan Inggris, karena Inggris keluar dari Uni Eropa," kata Agus.
"Artinya, kita mendorong bahwa sistem kita ini sudah teruji kredibilitasnya. Sehingga sejumlah negara sudah mencontoh sistem SVLK kita. Sebelumnya kita berhasil atasi illegal loging dengan SVLK ini dan sekarang kita dorong melalui SVLK untuk kelestarian hutan," tambahnya.
Agus mengungkapkan, dalam sesi diskusi di Paviliun Indonesia, Senin, ternyata kita dapat dukungan dari negara-negara lain terutama yang memiliki hutan tropis, karena mereka menganggap Indonesia yang sudah memiliki sistem lebih awal, ternyata tidak mudah mendapatkan pengakuan negara konsumen.
Makanya lanjut Agus, dalam forum diskusi itu kita juga menuntut, negara konsumen yang menerima kayu kita atau mengimpor kayu kita, juga harus dievaluasi, karena selama ini kita yang dievaluasi.
"Sekarang kita balik menuntut, karena ada pasal 13 dari perjanjian FLEGT, kita bisa mendapatkan insentif untuk premium price dan sampai saat ini kita belum peroleh," jelasnya.
"Jadi kita tuntut sistem mereka juga, kita sudah ikuti aturan tapi faktanya belum mendapatkan harga premium yang dijanjikan, karena mereka masih menerima kayu-kayu yang belum memperoleh lisensi FELGT," papar Agus Justianto yang juga penanggungjawab Paviliun Indonesia di COP26 Glasgow.
Dikatakan Agus, jika Uni Eropa dan Inggris tidak serius, kita akan angkat masalah ini ketingkat global. Karena SVLK kita mendapatkan lisensi FLEGT, tapi Uni Eropa tidak konsisten dalam menerapkan lisensi FLEGT.
"Jadi kita mendorong lisensi FLEGT secara global," tambahnya.
Agus juga menyinggung pembahasan soal FACT dalam diskusi di Paviliun Indonesia. Disebutkan, Inggris sebagai tuan rumah atau presidensi COP26 ingin membuat legacy , selain negosiasi, ada jalur non-negosiasi yang dimanfaatkan semua negara penyelanggara.
Inggris mengangkat tema The Forest, Agriculture and Commodity Trade atau FACT untuk membuat deklarasi yang terkait dengan kehutanan dan pertanian , termasuk perdagangan.
FACT Dialogue dibentuk pada April 2021 dalam pertemuan pejabat setingkat menteri yang disebut First Ministerial Roundtable dan diikuti wakil 26 negara dalam rangkaian kegiatan menuju COP26 di Glasgow.
"Inggris sebagai tuan rumah COP26 meminta Indonesia sebagai Co-Chair dalam FACT Dialogue, dan diputuskan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK) Alue Dohong mewakili Indonesia itu bersama Menteri Lingkungan Inggris, Goldsmith memimpin forum dialog FACT," jelasnya.
Lebih lanjut, forum menyepakati pembentukan empat kelompok kerja atau working group, antara lain Trade and Market Development; Smallholder Support; Transparency and Tracebility; dan Research, Development and Innovation yang akan segera menyusun Peta Jalan (Roadmap) mengenai langkah konkret yang dapat diambil oleh Pemerintah.
Kelompok kerja ini mengadakan pertemuan rutin sejak April 2021 dan dalam perjalanan berkembang menjadi 30 negara yang bergabung untuk berbagi pengalaman dan informasi terkait kebijakan masing-masing negara.
"Dalam forum COP 26 di Glasgow ini, kelompok kerja mengarah pada kerja sama yang lebih serius, sehingga dalam perjalannya diusulkan untuk mendorong Climate Leaders Summit on Forest and Land Use yang dihadiri Presiden Jokowi," tutupnya.
Baca juga: 1.852 Ha Lahan di Gowa Keluar dari Kawasan Hutan
Hal ini dikatakan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kementerian LHK, Agus Justianto dalam keterangan tertulis dari COP26, Glasgow, Inggris, Selasa (9/11/2021).
"SVLK pun kemudian disetarakan sebagai lisensi FLEGT 2016. Lalu tahun 2019 kita mengadakan perjanjian (VPA) dengan Inggris, karena Inggris keluar dari Uni Eropa," kata Agus.
"Artinya, kita mendorong bahwa sistem kita ini sudah teruji kredibilitasnya. Sehingga sejumlah negara sudah mencontoh sistem SVLK kita. Sebelumnya kita berhasil atasi illegal loging dengan SVLK ini dan sekarang kita dorong melalui SVLK untuk kelestarian hutan," tambahnya.
Agus mengungkapkan, dalam sesi diskusi di Paviliun Indonesia, Senin, ternyata kita dapat dukungan dari negara-negara lain terutama yang memiliki hutan tropis, karena mereka menganggap Indonesia yang sudah memiliki sistem lebih awal, ternyata tidak mudah mendapatkan pengakuan negara konsumen.
Makanya lanjut Agus, dalam forum diskusi itu kita juga menuntut, negara konsumen yang menerima kayu kita atau mengimpor kayu kita, juga harus dievaluasi, karena selama ini kita yang dievaluasi.
"Sekarang kita balik menuntut, karena ada pasal 13 dari perjanjian FLEGT, kita bisa mendapatkan insentif untuk premium price dan sampai saat ini kita belum peroleh," jelasnya.
"Jadi kita tuntut sistem mereka juga, kita sudah ikuti aturan tapi faktanya belum mendapatkan harga premium yang dijanjikan, karena mereka masih menerima kayu-kayu yang belum memperoleh lisensi FELGT," papar Agus Justianto yang juga penanggungjawab Paviliun Indonesia di COP26 Glasgow.
Dikatakan Agus, jika Uni Eropa dan Inggris tidak serius, kita akan angkat masalah ini ketingkat global. Karena SVLK kita mendapatkan lisensi FLEGT, tapi Uni Eropa tidak konsisten dalam menerapkan lisensi FLEGT.
"Jadi kita mendorong lisensi FLEGT secara global," tambahnya.
Agus juga menyinggung pembahasan soal FACT dalam diskusi di Paviliun Indonesia. Disebutkan, Inggris sebagai tuan rumah atau presidensi COP26 ingin membuat legacy , selain negosiasi, ada jalur non-negosiasi yang dimanfaatkan semua negara penyelanggara.
Inggris mengangkat tema The Forest, Agriculture and Commodity Trade atau FACT untuk membuat deklarasi yang terkait dengan kehutanan dan pertanian , termasuk perdagangan.
FACT Dialogue dibentuk pada April 2021 dalam pertemuan pejabat setingkat menteri yang disebut First Ministerial Roundtable dan diikuti wakil 26 negara dalam rangkaian kegiatan menuju COP26 di Glasgow.
"Inggris sebagai tuan rumah COP26 meminta Indonesia sebagai Co-Chair dalam FACT Dialogue, dan diputuskan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK) Alue Dohong mewakili Indonesia itu bersama Menteri Lingkungan Inggris, Goldsmith memimpin forum dialog FACT," jelasnya.
Lebih lanjut, forum menyepakati pembentukan empat kelompok kerja atau working group, antara lain Trade and Market Development; Smallholder Support; Transparency and Tracebility; dan Research, Development and Innovation yang akan segera menyusun Peta Jalan (Roadmap) mengenai langkah konkret yang dapat diambil oleh Pemerintah.
Kelompok kerja ini mengadakan pertemuan rutin sejak April 2021 dan dalam perjalanan berkembang menjadi 30 negara yang bergabung untuk berbagi pengalaman dan informasi terkait kebijakan masing-masing negara.
"Dalam forum COP 26 di Glasgow ini, kelompok kerja mengarah pada kerja sama yang lebih serius, sehingga dalam perjalannya diusulkan untuk mendorong Climate Leaders Summit on Forest and Land Use yang dihadiri Presiden Jokowi," tutupnya.
(maf)