10 Halaman Surat Jenderal Jasin kepada Soeharto
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di masa awal kekuasaan Orde Baru , Soeharto sudah banyak mendapatkan sorotan dan kritik. Bukan saja dari para aktivis politik, tetapi juga dari internal TNI. Ini karena sebagian jenderal TNI melihat Soeharto terus menerus mengonsolidasikan kekuasaan serta menempatkan diri sebagai penafsir tunggal Pancasila. Dan, keluarganya mulai berbisnis.
Salah satu jenderal kritis itu adalah M Jasin. Lelaki berdarah Jawa kelahiran Aceh, 22 Juli 1921 itu sebenarnya termasuk jenderal penyokong terbentuknya Orde Baru. Jasin adalah Pangdam V/Brawijaya yang sukses menumpas sisa-sisa gerombolan pemberontakan PKI Madiun di Blitar bagian selatan. Bahkan, Jasin adalah orang penting di balik menangnya Soeharto pada Pemilu 1971.
Jasin adalah penanggung jawab logistik pemilu yang ditugaskan menjangkau wilayah-wilayah terpencil. Tetapi tugas itu pula yang menjadi awal keraguan dan kekecewaan Jasin terhadap Soeharto. Jasin yang meminta truk berkapasitas tiga ton malah diberi truk berkapasitas lima ton.
Ketika bertanya, Jasin mendapat jawaban yang tidak mengenakkan dari Soeharto. ”Kalau Jenderal Jasin menolak, satu truk pun tidak akan saya berikan,” ujar Soeharto. Belakangan Jasin baru tahu bahwa pejabat di lingkar Soeharto telah mengikat perjanjian dengan Jepang untuk mendatangkan kendaraan berukuran besar.
David Jenkins dalam Soeharto & Barisan Jenderal Orba menuturkan, sikap kritis Jenderal Jasin merupakan akumulasi kekecewaannya terhadap Soeharto. Kendati awalnya dipicu persoalan yang bersifat pribadi, lambat laun sang Jenderal membulatkan tekad untuk melakukan apa yang disebutnya sebagai koreksi terhadap sistem.
Koreksi tersebut terus dikampanyekannya melalui surat. Jasin banyak mengirim surat kepada para pejabat pemerintahan dan DPR. Dari surat-surat itulah tampak sekali perkembangan pemikiran Jasin dan makin besarnya kekecewaan Jasin terhadap Soeharto. ”Pada 28 Juni 1974, ia (Jasin) mengirimkan surat sepanjang 10 halaman kepada Soeharto dengan kata-kata keras,” tulis David Jenkins.
Naskah surat Jasin kepada Soeharto termuat dalam buku Jasin berjudul Apakah Perlu Pemerintah Dikoreksi?. Di dalam surat tersebut Jasin banyak menguliti praktik bisnis pejabat pemerintah sekaligus menawarkan Peraturan Presiden 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pejabat Pemerintah dalam Bisnis Pribadi.
Menurut dia, Perpres tersebut hanya kamuflase untuk menenangkan dan meyakinkan masyarakat serta mahasiswa setelah Peristiwa Malari, bahwa pemerintah bersih. Sebaliknya Perpres tersebut justru menjadi kedok pejabat pemerintah untuk tetap menjalankan bisnis.
Pembatasan bisnis pejabat ini pula lah yang terus menerus menjadi bahan kampanye koreksi terhadap sistem Jasin. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Jasin mengatakan Perpres tersebut tak ada gunanya karena tidak diterapkan benar-benar.
Soeharto membangun peternakan Tapos, adik tirinya menguasai bisnis cengkeh dan masih banyak lagi yang disorot Jasin. ”Untuk apa bikin peraturan kalau kemudian dilanggar sendiri? Inilah contoh pemimpin munafik,” kata Jasin kepada sang wartawan.
Kendati terus bersuara lantang, tetapi secara terbuka serangan Jasin terhadap Soeharto terjadi ketika bergabung dengan kelompok Petisi 50 bersama Jenderal Nasution. Jasin meninggal di Jakarta pada 7 April 2013 dalam usia 91 tahun.
Salah satu jenderal kritis itu adalah M Jasin. Lelaki berdarah Jawa kelahiran Aceh, 22 Juli 1921 itu sebenarnya termasuk jenderal penyokong terbentuknya Orde Baru. Jasin adalah Pangdam V/Brawijaya yang sukses menumpas sisa-sisa gerombolan pemberontakan PKI Madiun di Blitar bagian selatan. Bahkan, Jasin adalah orang penting di balik menangnya Soeharto pada Pemilu 1971.
Jasin adalah penanggung jawab logistik pemilu yang ditugaskan menjangkau wilayah-wilayah terpencil. Tetapi tugas itu pula yang menjadi awal keraguan dan kekecewaan Jasin terhadap Soeharto. Jasin yang meminta truk berkapasitas tiga ton malah diberi truk berkapasitas lima ton.
Ketika bertanya, Jasin mendapat jawaban yang tidak mengenakkan dari Soeharto. ”Kalau Jenderal Jasin menolak, satu truk pun tidak akan saya berikan,” ujar Soeharto. Belakangan Jasin baru tahu bahwa pejabat di lingkar Soeharto telah mengikat perjanjian dengan Jepang untuk mendatangkan kendaraan berukuran besar.
David Jenkins dalam Soeharto & Barisan Jenderal Orba menuturkan, sikap kritis Jenderal Jasin merupakan akumulasi kekecewaannya terhadap Soeharto. Kendati awalnya dipicu persoalan yang bersifat pribadi, lambat laun sang Jenderal membulatkan tekad untuk melakukan apa yang disebutnya sebagai koreksi terhadap sistem.
Koreksi tersebut terus dikampanyekannya melalui surat. Jasin banyak mengirim surat kepada para pejabat pemerintahan dan DPR. Dari surat-surat itulah tampak sekali perkembangan pemikiran Jasin dan makin besarnya kekecewaan Jasin terhadap Soeharto. ”Pada 28 Juni 1974, ia (Jasin) mengirimkan surat sepanjang 10 halaman kepada Soeharto dengan kata-kata keras,” tulis David Jenkins.
Naskah surat Jasin kepada Soeharto termuat dalam buku Jasin berjudul Apakah Perlu Pemerintah Dikoreksi?. Di dalam surat tersebut Jasin banyak menguliti praktik bisnis pejabat pemerintah sekaligus menawarkan Peraturan Presiden 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pejabat Pemerintah dalam Bisnis Pribadi.
Menurut dia, Perpres tersebut hanya kamuflase untuk menenangkan dan meyakinkan masyarakat serta mahasiswa setelah Peristiwa Malari, bahwa pemerintah bersih. Sebaliknya Perpres tersebut justru menjadi kedok pejabat pemerintah untuk tetap menjalankan bisnis.
Pembatasan bisnis pejabat ini pula lah yang terus menerus menjadi bahan kampanye koreksi terhadap sistem Jasin. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Jasin mengatakan Perpres tersebut tak ada gunanya karena tidak diterapkan benar-benar.
Soeharto membangun peternakan Tapos, adik tirinya menguasai bisnis cengkeh dan masih banyak lagi yang disorot Jasin. ”Untuk apa bikin peraturan kalau kemudian dilanggar sendiri? Inilah contoh pemimpin munafik,” kata Jasin kepada sang wartawan.
Kendati terus bersuara lantang, tetapi secara terbuka serangan Jasin terhadap Soeharto terjadi ketika bergabung dengan kelompok Petisi 50 bersama Jenderal Nasution. Jasin meninggal di Jakarta pada 7 April 2013 dalam usia 91 tahun.
(muh)