Penjelasan Menteri LHK Terkait Deforestasi dan Hutan Primer
loading...
A
A
A
JAKARTA - Deforestasi di Indonesia menurun tajam di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan itu jelas dalam hitungan areal dari citra satelit. Hasil itu sejalan dengan upaya-upaya yang cukup gigih dan keras dilakukan pemerintah dan masyarakat termasuk dorongan aktivis di tingkat lapangan, terutama dengan penegakan hukum dan pengendalian regulasi seperti moratorium.
"Tidak tepat apabila hasil kerja keras itu kemudian direka-reka dengan membangun justifikasi atas alasan metode, yang menghasilkan data yang menjadikan rancu. Kerancuan ini tidak saja memanipulasi data, tetapi lebih fatal dan menjadi buruk kepada perkembangan dunia akademik bidang studi kehutanan," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, Kamis (4/6/2020)
"Oleh karena itu saya memerintahkan kepada Kepala Biro Humas Sdr. Nunu dan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Sdri Belinda yang secara teknis menangani untuk menjelaskan bagaimana metode, definisi dan batasan dijelaskan ke ruang publik supaya masyarakat mendapatkan informasi yang adil," lanjutnya lagi.
Dalam pengelolaan hutan di Indonesia, hutan primer dan hutan sekunder merupakan bagian dari hutan alam.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Belinda Arunarwati Margono menjelaskan bahwa hal tersebut mengacu pada beberapa aturan yang ada, termasuk Perdirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan No.P.1/VII-IPSDH/2015, Dokumen FREL 2016, SNI 8033, 2014, dan SNI 7645-1, 2014.
"Hutan Primer didefinisikan sebagai seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan. Sedangkan seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas tebangan/gangguan disebut Hutan Sekunder. Secara sederhana, Hutan Alam merupakan gabungan antara Hutan Primer dan Hutan Sekunder; sedangkan Hutan sendiri mencakup Hutan Primer, Hutan Sekunder, dan Hutan Tanaman," papar Belinda.
Menurut Belinda, menyamakan terminology Primary Forest yang dipakai Global Forest Watch (GFW) yang merupakan hutan dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30%, dengan hutan primer sesuai definisi Indonesia, adalah kurang tepat.
Karena kata dia, apabila memperhatikan batasan yang dipakai tersebut, maka yang dinamai Primary Forest sesungguhnya adalah hutan alam (mature natural forest), dan tidak sama dengan definisi hutan primer yang digunakan Pemerintah Indonesia c.q Kementerian LHK. Perbedaan terminologi ini harus diluruskan karena pengertiannya yang beda dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda.
"Perlu kami luruskan bahwa istilah Primary Forest dimaksud GFW tidak seharusnya diterjemahkan langsung (translate) sebagai Hutan Primer, karena pengertiannya tidak sama dengan pengertian hutan primer yang berlaku umum dan standar di Indonesia," tuturnya.
Sebagai informasi, dari pertama dirilis, data GFW menggunakan informasi canopy tree secara series untuk melakukan estimasi perubahan tree cover. Dalam hal ini, tree cover akan mencakup apapun vegetasi yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter pada tahun pengamatan (tahun sumber data, misalnya untuk GFW menggunakan tahun awal pengamatan tahun 2000). Tree cover ini akan mencakup hutan alam, hutan tanaman, jungle rubber, belukar tua maupun agroforestry dengan tanaman keras, ataupun kebun/perkebunan.
Dengan situasi tersebut, ketika muncul informasi/data tree cover loss, maka perubahan/loss yang terdeteksi, terjadi pada semua vegetasi yang mempunyai tinggi lebih dari 5 meter tersebut. Situasi ini tidak sesuai dengan Indonesia, dimana yang dimaksud dengan deforestasi, khususnya gross deforestastion, hanya fokus pada perubahan tutupan hutan yang terjadi pada hutan alam.
"Untuk inilah, maka Indonesia tidak bisa menerima informasi tree cover loss sebagai angka deforestasi," kata Belinda.
"Tidak tepat apabila hasil kerja keras itu kemudian direka-reka dengan membangun justifikasi atas alasan metode, yang menghasilkan data yang menjadikan rancu. Kerancuan ini tidak saja memanipulasi data, tetapi lebih fatal dan menjadi buruk kepada perkembangan dunia akademik bidang studi kehutanan," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, Kamis (4/6/2020)
"Oleh karena itu saya memerintahkan kepada Kepala Biro Humas Sdr. Nunu dan Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan Sdri Belinda yang secara teknis menangani untuk menjelaskan bagaimana metode, definisi dan batasan dijelaskan ke ruang publik supaya masyarakat mendapatkan informasi yang adil," lanjutnya lagi.
Dalam pengelolaan hutan di Indonesia, hutan primer dan hutan sekunder merupakan bagian dari hutan alam.
Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Belinda Arunarwati Margono menjelaskan bahwa hal tersebut mengacu pada beberapa aturan yang ada, termasuk Perdirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan No.P.1/VII-IPSDH/2015, Dokumen FREL 2016, SNI 8033, 2014, dan SNI 7645-1, 2014.
"Hutan Primer didefinisikan sebagai seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan. Sedangkan seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas tebangan/gangguan disebut Hutan Sekunder. Secara sederhana, Hutan Alam merupakan gabungan antara Hutan Primer dan Hutan Sekunder; sedangkan Hutan sendiri mencakup Hutan Primer, Hutan Sekunder, dan Hutan Tanaman," papar Belinda.
Menurut Belinda, menyamakan terminology Primary Forest yang dipakai Global Forest Watch (GFW) yang merupakan hutan dengan kerapatan tutupan pohon minimum 30%, dengan hutan primer sesuai definisi Indonesia, adalah kurang tepat.
Karena kata dia, apabila memperhatikan batasan yang dipakai tersebut, maka yang dinamai Primary Forest sesungguhnya adalah hutan alam (mature natural forest), dan tidak sama dengan definisi hutan primer yang digunakan Pemerintah Indonesia c.q Kementerian LHK. Perbedaan terminologi ini harus diluruskan karena pengertiannya yang beda dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda.
"Perlu kami luruskan bahwa istilah Primary Forest dimaksud GFW tidak seharusnya diterjemahkan langsung (translate) sebagai Hutan Primer, karena pengertiannya tidak sama dengan pengertian hutan primer yang berlaku umum dan standar di Indonesia," tuturnya.
Sebagai informasi, dari pertama dirilis, data GFW menggunakan informasi canopy tree secara series untuk melakukan estimasi perubahan tree cover. Dalam hal ini, tree cover akan mencakup apapun vegetasi yang memiliki tinggi lebih dari 5 meter pada tahun pengamatan (tahun sumber data, misalnya untuk GFW menggunakan tahun awal pengamatan tahun 2000). Tree cover ini akan mencakup hutan alam, hutan tanaman, jungle rubber, belukar tua maupun agroforestry dengan tanaman keras, ataupun kebun/perkebunan.
Dengan situasi tersebut, ketika muncul informasi/data tree cover loss, maka perubahan/loss yang terdeteksi, terjadi pada semua vegetasi yang mempunyai tinggi lebih dari 5 meter tersebut. Situasi ini tidak sesuai dengan Indonesia, dimana yang dimaksud dengan deforestasi, khususnya gross deforestastion, hanya fokus pada perubahan tutupan hutan yang terjadi pada hutan alam.
"Untuk inilah, maka Indonesia tidak bisa menerima informasi tree cover loss sebagai angka deforestasi," kata Belinda.