Kandungan Mikroplastik di Galon Air Minum Tak Berisiko Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia (UI) melansir hasil riset tentang mikroplastik , belum lama ini. Riset itu fokus pada penggunaan air minum kemasan galon sekali pakai.
Berdasarkan hasil riset tersebut, Greenpeace menyatakan bahwa galon sekali pakai ancaman bagi lingkungan. "Galon sekali pakai hadir seiring dengan tingginya konsumsi air minum dalam kemasan. Sayangnya, inovasi galon sekali pakai tidak lantas menghilangkan potensi kontaminasi partikel asing dalam air minum," demikian pernyataan resmi Greenpeace.
Pembahasan soal mikroplastik di air minum kemasan mulai kencang terdengar setelah publikasi riset fenomenal di Departemen Kimia State University of New York di Fredonia, Amerika Serikat (AS) pada 2018. Riset mengungkap keberadaan mikroplastik di 259 botol air minum kemasan dari 11 merek yang dijual di delapan negara.
Baca juga: Peneliti UI: Tidak Ada Mikroplastik di Galon Guna Ulang
Laporan itu sempat membuah heboh publik Indonesia. Pasalnya, riset mengambil sampel air minum kemasan yang diambil dari Indonesia. Secara khusus, riset menyebut sampel dari Indonesia berasal berupa air dalam botol plastik merek Aqua, milik raksasa air minum dunia Danone, yang dibeli secara acak dari sejumlah tempat di Bali, Medan, dan Jakarta, lalu diterbangkan ke AS untuk diteliti.
Laporan 'Microplastic in Drinking-water' oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, antara lain merujuk hasil riset Fredonia dan sekitar 50 riset sejenis lainnya di seluruh dunia, hadir menjawab pertanyaan dan kecemasan global ihwal kemungkinan dampak mikroplastik dalam air minum pada kesehatan manusia.
Menurut riset itu, belum ada penelitian yang konklusif ihwal efeknya terhadap kesehatan manusia. Menurut Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang, mengatakan, penilaian WHO itu belum bergeser. Dia menyebut, WHO belum merekomendasikan pemantauan rutin atas mikroplastik.
"Sampai saat ini, belum ada resiko kesehatan terkait mikroplastik," katanya kepada wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Mikroplastik Galon Sekali Pakai Dinilai Membahayakan Manusia dan Lingkungan
Menurut Rita, pada 2020, rapat bersama joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives menyampaikan analisis bagi mikroplastik belum diprioritaskan. "Bahkan pada 2021, otoritas keamanan pangan tertinggi Eropa, European Food Safety Authority, juga menyampaikan hal yang sama, (pemantauan rutin) mikroplastik belum menjadi prioritas," kata Rita.
Setidaknya ada 1.145 produsen air minum kemasan yang tersebar di seluruh Indonesia. Semuanya menyasar pasar dengan level konsumsi air kemasan 26,2 miliar liter per tahun 2016. Hampir 70 persen dari angka konsumsi itu adalah pasar produk galon isi ulang bermerek dengan bahan plastik polikarbonat (PC).
Di lapangan, produk berupa galon sekali pakai, yang muncul di pasaran pada 2015, tak ubahnya pemain yang baru belajar berlari bila mengingat ada galon guna ulang bermerek yang telah hadir dan mendominasi pasar sejak 1973.
Dalam forum yang dihelat Greenpeace, Kepala Laboratorium Kimia Universitas Indonesia (UI), Agustino Zulys, memaparkan sifat khas polimer yang mudah luruh. "Mikroplastik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan bagi manusia modern yang akrab dengan air minum dalam kemasan plastik," katanya.
Namun, Agustino tak menyebut secara rinci ihwal alasan di balik fokus riset, kecuali sebaris penjelasan belum pernah ada penelitian terkait mikroplastik di air minum dalam wadah galon sekali pakai.
Berdasarkan hasil riset tersebut, Greenpeace menyatakan bahwa galon sekali pakai ancaman bagi lingkungan. "Galon sekali pakai hadir seiring dengan tingginya konsumsi air minum dalam kemasan. Sayangnya, inovasi galon sekali pakai tidak lantas menghilangkan potensi kontaminasi partikel asing dalam air minum," demikian pernyataan resmi Greenpeace.
Pembahasan soal mikroplastik di air minum kemasan mulai kencang terdengar setelah publikasi riset fenomenal di Departemen Kimia State University of New York di Fredonia, Amerika Serikat (AS) pada 2018. Riset mengungkap keberadaan mikroplastik di 259 botol air minum kemasan dari 11 merek yang dijual di delapan negara.
Baca juga: Peneliti UI: Tidak Ada Mikroplastik di Galon Guna Ulang
Laporan itu sempat membuah heboh publik Indonesia. Pasalnya, riset mengambil sampel air minum kemasan yang diambil dari Indonesia. Secara khusus, riset menyebut sampel dari Indonesia berasal berupa air dalam botol plastik merek Aqua, milik raksasa air minum dunia Danone, yang dibeli secara acak dari sejumlah tempat di Bali, Medan, dan Jakarta, lalu diterbangkan ke AS untuk diteliti.
Laporan 'Microplastic in Drinking-water' oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, antara lain merujuk hasil riset Fredonia dan sekitar 50 riset sejenis lainnya di seluruh dunia, hadir menjawab pertanyaan dan kecemasan global ihwal kemungkinan dampak mikroplastik dalam air minum pada kesehatan manusia.
Menurut riset itu, belum ada penelitian yang konklusif ihwal efeknya terhadap kesehatan manusia. Menurut Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang, mengatakan, penilaian WHO itu belum bergeser. Dia menyebut, WHO belum merekomendasikan pemantauan rutin atas mikroplastik.
"Sampai saat ini, belum ada resiko kesehatan terkait mikroplastik," katanya kepada wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca juga: Mikroplastik Galon Sekali Pakai Dinilai Membahayakan Manusia dan Lingkungan
Menurut Rita, pada 2020, rapat bersama joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives menyampaikan analisis bagi mikroplastik belum diprioritaskan. "Bahkan pada 2021, otoritas keamanan pangan tertinggi Eropa, European Food Safety Authority, juga menyampaikan hal yang sama, (pemantauan rutin) mikroplastik belum menjadi prioritas," kata Rita.
Setidaknya ada 1.145 produsen air minum kemasan yang tersebar di seluruh Indonesia. Semuanya menyasar pasar dengan level konsumsi air kemasan 26,2 miliar liter per tahun 2016. Hampir 70 persen dari angka konsumsi itu adalah pasar produk galon isi ulang bermerek dengan bahan plastik polikarbonat (PC).
Di lapangan, produk berupa galon sekali pakai, yang muncul di pasaran pada 2015, tak ubahnya pemain yang baru belajar berlari bila mengingat ada galon guna ulang bermerek yang telah hadir dan mendominasi pasar sejak 1973.
Dalam forum yang dihelat Greenpeace, Kepala Laboratorium Kimia Universitas Indonesia (UI), Agustino Zulys, memaparkan sifat khas polimer yang mudah luruh. "Mikroplastik sebagai sesuatu yang tak terhindarkan bagi manusia modern yang akrab dengan air minum dalam kemasan plastik," katanya.
Namun, Agustino tak menyebut secara rinci ihwal alasan di balik fokus riset, kecuali sebaris penjelasan belum pernah ada penelitian terkait mikroplastik di air minum dalam wadah galon sekali pakai.
(abd)