Banyak Warga Fobia Naik Angkutan Publik

Senin, 18 Oktober 2021 - 10:23 WIB
loading...
Banyak Warga Fobia Naik Angkutan Publik
Masyarakat masih banyak yang enggan menggunakan transportasi umum. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Animo masyarakat menggunakan transportasi publik masih rendah, meski Covid-19 di Tanah Air mulai terkendali. Masih banyak yang takut naik angkutan umum karena alasan rawan tertular virus.

Pengawasan protokol kesehatan (prokes) perlu lebih diperketat agar masyarakat tertarik kembali menggunakan transportasi publik.

Ketakutan masyarakat menggunakan moda transportasi publik tergambar pada hasil jajak pendapat yang dilakukan tim Litbang MNC Portal Indonesia (MPI). Survei yang dilakukan pada 2-11 Oktober 2021 tersebut mengungkap fakta 56% responden menyatakan masih merasakan fobia untuk naik kendaraan umum. Jumlah responden yang menyatakan menggunakan jasa angkutan publik lebih rendah, 44%.

Alasan utama responden takut naik angkutan publik adalah potensi tertular virus yang masih tinggi. Pemerintah memang membatasi jumlah penumpang angkutan umum maksimal 70% dari kapasitas selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3. Hal ini tertuang melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 47/2021 pada 5 Oktober 2021.

Baca juga: Stasiun Manggarai, Saksi Sejarah Perjuangan Kemerdekaan dan Kemajuan Transportasi Indonesia

Namun, pembatasan kapasitas dinilai bukan jaminan untuk benar-benar aman. Sebagian responden khawatir masih ada penumpang yang abai terhadap prokes, terutama tidak menjaga jarak aman dan tidak menggunakan maskernya dengan benar.

“Ketakutan tentu ada. Saya justru sangat khawatir kalau penumpang lain tidak menerapkan prokes. Padahal, saya sudah sangat ketat menerapkan prokes,” ujar Putri, mahasiswi asal Jakarta yang menyebut alasannya mengapa masih takut menggunakan transportasi publik.

Karena tidak ingin bermain-main dengan risiko, sebagian masyarakat lantas memilih mengurangi frekuensi penggunaan kendaraan umum dan beralih pada kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Seperti diungkapkan Rina, seorang ibu rumah tangga. Meski kasus Covid-19 menurun dan pemerintah juga tengah gencar menggenjot vaksinasi, risiko tertular virus masih tetap besar.

“Kalau tidak bisa menggunakan kendaraan pribadi, saya lebih memilih menggunakan jasa taksi daring ketimbang harus naik kendaraan umum seperti KRL atau Transjakarta. Saya masih sangat khawatir tertular virus,” tuturnya.



Vaksinasi memang sudah memberinya perlindungan, namun Rina memilih mencegah daripada harus terinfeksi. “Meskipun sudah divaksinasi, ketakutan itu masih tinggi. Apalagi usia saya sudah 51 tahun,” paparnya.

Masyarakat yang memilih tetap menggunakan jasa angkutan umum selama pandemi punya alasan tersendiri. Selain karena faktor transportasi umum memang jadi kebutuhan bepergian, terutama ke tempat kerja, penerapan prokes ketat dan vaksinasi lengkap adalah alasan untuk tetap percaya diri naik moda transportasi massal.

“Selama taat dengan prokes, saya rasa tidak masalah. Saya juga tidak merasa takut. Apalagi sekarang tingkat vaksinasi sudah tinggi, saya juga sudah disuntik vaksin, jadi harusnya aman,” kata Agnes, mahasiswi asal Jakarta.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menyebut kekhawatiran terpapar virus korona menjadi salah satu penyebab utama munculnya fobia naik kendaraan umum. Itu berimplikasi terhadap menurunnya minat masyarakat menggunakan transportasi publik.

“Terutama ketika munculnya varian Delta beberapa bulan lalu. Apalagi sejak awal tahun terjadi kenaikan kasus sampai Juli sehingga kondisi darurat. Masyarakat shock, ketakutan sekali,” ujar Trubus kepada KORAN SINDO, Sabtu (16/10).

Namun, hal itu dinilai bukan alasan satu-satunya faktor rendahnya minat mengakses transportasi publik. Persepsi buruk masyarakat terhadap transportasi umum juga turut memicu rendahnya minat menggunakan transportasi umum. Masyarakat beranggapan penerapan prokes belum maksimal, meski aturan di dalam transportasi sudah diberlakukan.

Pengawasan prokes masih lemah sehingga terlihat masih ada kerumunan atau penumpukan orang. Hal-hal tersebutlah yang menurut dia yang membuat kepercayaan publik masih belum tinggi, terlebih lagi penularan Covid-19 di moda transportasi umum relatif besar.

“Masyarakat ingin hidup sehat, bertahan hidup. Itu ekspektasinya tinggi. Ini yang jadi sumber masalah mengapa persepsi masyarakat terhadap moda transportasi kita belum memenuhi harapan terkait protokol kesehatan. Tapi, kalau kita tanya ke pengelola transportasinya, (mereka) bilang sudah (melaksanakan prokes),” ujar akademisi dari Universitas Trisakti Jakarta tersebut.

Selain itu, Trubus menyoroti pemerintah yang kurang mengevaluasi mendalam terhadap penerapan prokes dan kasus penumpang yang terpapar Covid-19 di transportasi umum. Dia pun mempertanyakan ada atau tidaknya kajian ilmiah yang dilakukan sejauh ini.

“Pemerintah harusnya memberikan evaluasi melalui Gugus Tugas Covid-19. Misalnya terjadi penularan sekian persen atau apakah memang tidak ada (temuan penularan). Jadi, masyarakat pun bisa punya keyakinan. Ini kan berkaitan dengan public trust. Kalau masyarakat enggak percaya, ya susah,” ungkapnya.

Namun, Trubus mengakui tanggung jawab prokes ini tidak semata pada pemerintah. Masyarakat harus sadar diri dan tetap disiplin dalam menerapkan prokes, terlebih ketika di area publik seperti di angkutan umum.

Selama ini dia melihat kesadaran masyarakat Indonesia untuk mematuhi prokes masih fluktuatif, atau naik-turun. Belum lagi ada asumsi di kalangan masyarakat yang menganggap vaksin sebagai obat Covid-19 sehingga mendorong kepatuhan terhadap prokes menjadi berkurang. Trubus mengingatkan agar masyarakat tidak lengah dan tetap menjalankan prokes secara ketat, meski sudah diberi vaksin.

Trubus mendukung pembatasan kapasitas di angkutan umum tetap diberlakukan. Apalagi, kebijakan itu tidak terlalu memberatkan para pengelola angkutan umum untuk menjalankan usahanya. Jika nanti kasus mulai menurun dan kebijakan PPKM kembali diturunkan ke level 2, dia berharap jumlah penumpang dinaikkan kembali sehingga mencapai 75% dari kapasitas.

Prioritas Lindungi Pengguna
Di sisi lain, pengelola transportasi publik mengaku telah berupaya menerapkan prokes ketat demi melindungi pengguna jasa angkutan umum dari paparan virus korona. Satu di antaranya disampaikan pihak PT Kereta Commuter Indonesia (KCI).

Menurut VP Corporate Communication PT KCI Anne Purba, petugas di lapangan konsisten memeriksa sertifikat vaksin dan menerapkan prokes yang menjadi syarat untuk naik KRL, yakni aplikasi PeduliLindungi untuk check-in. Penumpang juga bisa menunjukkan bukti telah divaksinasi dalam bentuk fisik sertifikat vaksin.

“Penggunaan masker ganda juga sangat ketat, sosialisasi tentang protokol secara terus-menerus selama di dalam stasiun juga rangkaian," ujarnya.

Aturan lain untuk membuat penumpang aman dan nyaman selama masa pandemi adalah larangan berbicara baik langsung maupun lewat sambungan telepon saat berada di dalam kereta.

Begitu pun terhadap para lansia dan penumpang dengan barang bawaan yang besar hanya diizinkan menggunakan KRL pada pukul 10.00-14.00 atau di luar jam-jam sibuk. Anak-anak dan balita sementara belum diizinkan naik KRL. Untuk siswa sekolah yang belum masuk usia vaksinasi tetap dapat menggunakan KRL dengan menunjukkan surat keterangan dari sekolah untuk pembelajaran tatap muka.

Operasional dan layanan KRL diakui tetap berjalan normal, dimulai pukul 04.00-22.00 dengan 994 perjalanan per hari. Ada 307 perjalanan melayani pada jam sibuk pagi, yaitu mulai pukul 04.00-09.00 dan 243 perjalanan melayani di jam sibuk sore yaitu pukul 16.00-20.00.

Anne mengingatkan, demi menghindari kepadatan dan antrean di dalam KRL maupun saat di stasiun, masyarakat diminta mengecek jadwal kereta di aplikasi KRL Access.

PT KCI juga membuat inovasi lain di lingkungan kerja, yakni membentuk C-Ranger, sekelompok karyawan dengan tugas menyosialisasikan 3M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan), baik kepada sesama karyawan maupun kepada pengguna KRL. C-Ranger ini disebar ke seluruh stasiun dan unit kerja KCI yang mengingatkan penerapan prokes.

Seiring penerapan PPKM Level 3, diakui penumpang KRL juga sudah mulai bertambah. KAI Commuter terus mengantisipasi dengan melakukan pembatasan pengguna sesuai kuota yang diizinkan.

Catatan KAI Commuter sepanjang hari kerja pada pekan kelima September (27 September-1 Oktober) rata-rata pengguna KRL sebanyak 359.829 orang per hari. Pada hari kerja pekan pertama Oktober (4-8 Oktober) rata-rata pengguna KRL 384.205 orang per hari atau bertambah sekitar 6,7%.

Tren penambahan penumpang juga terlihat pada moda transportasi MRT di Jakarta. Kenaikan sudah mulai terlihat sejak masa peralihan PPKM dari level 4 ke level 3 akhir Agustus lalu.

Bahkan Direktur MRT Jakarta William Sabandar dalam sebuah diskusi virtual mengungkapkan, kenaikannya mencapai 142% dibanding saat PPKM Level 4. Untuk memberi keyakinan pengguna jasa MRT, pengelola menerapkan prokes ketat, antara lain buksi telah divaksinasi atau surat keterangan sehat bagi penumpang di bawah usia 12 tahun.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1189 seconds (0.1#10.140)