Kepala BMKG: Perubahan Iklim, Ilmu Titen Pegangan Nelayan Sulit Dijadikan Acuan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan ilmu titen yang kerap menjadi pegangan nelayan “ambyar” akibat perubahan iklim . Alhasil, tidak jarang nelayan harus pulang dengan tangan kosong karena hasil melaut tidak maksimal.
Bahkan, tidak jarang nelayan mengalami kecelakaan dan menjadi korban akibat badai dan gelombang tinggi. “Ilmu Titen sudah sangat sulit untuk dijadikan acuan. Cuaca dan iklim saat ini begitu sangat dinamis dan sukar untuk ditebak,” ujar Dwikorita Karnawati saat membuka Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur dikutip dalam keterangan resminya, Jumat (8/10/2021).
Dwikorita mengatakan perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, termasuk ekosistem wilayah pesisir.
Dia mencontohkan saat banjir besar yang menyergap Jabodetabek di penghujung tahun 2019 hingga awal tahun 2020 lalu. Berdasarkan prakiraan yang terkonfirmasi dari analisis BMKG, kejadian tersebut disebabkan oleh seruak udara dingin (cold surge) dari Tibet ke Hong Kong yang selanjutnya masuk ke wilayah Jabodetabek.
Cold surge sendiri merupakan seruakan yang mengandung massa udara dingin dari daratan Asia ke arah selatan. Artinya, kata dia, perubahan iklim inilah yang kemudian menjadi biang keladi cuaca ekstrem yang kerap menghantam Indonesia.
Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es. Meski bukan berasal dari Indonesia, lanjut dia, namun dampaknya bisa dirasakan oleh Indonesia.
“Perubahan iklim sendiri adalah peristiwa global namun dampaknya dirasakan secara regional ataupun lokal. Tidak ada batasan teritorial negara,” imbuhnya.
Dwikorita menyebut kondisi inilah yang memacu BMKG untuk menggencarkan pelaksanaan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) di daerah-daerah pesisir pantai. Melalui SLCN yang digelar, BMKG ingin nelayan dapat melaut, mendapatkan hasil, dan pulang dengan selamat.
SLCN sendiri, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan nelayan Indonesia dalam mengakses, membaca, menindaklanjuti dan mendiseminasikan informasi cuaca, iklim maritim serta informasi prakiraan lokasi ikan dari sumber yang terpercaya. Selain itu, SLCN juga menjadi bagian dari ikhtiar BMKG mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
“Kegiatan SLCN ini menggunakan pembelajaran interaktif, yaitu metode belajar dan praktik. Materi pokok yang akan diberikan yaitu pengenalan produk dan memahami informasi cuaca dan iklim maritim, cara membaca informasi maritim, dan pengenalan alat-alat observasi,” imbuhnya.
Bahkan, tidak jarang nelayan mengalami kecelakaan dan menjadi korban akibat badai dan gelombang tinggi. “Ilmu Titen sudah sangat sulit untuk dijadikan acuan. Cuaca dan iklim saat ini begitu sangat dinamis dan sukar untuk ditebak,” ujar Dwikorita Karnawati saat membuka Sekolah Lapang Cuaca Nelayan di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur dikutip dalam keterangan resminya, Jumat (8/10/2021).
Dwikorita mengatakan perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian, termasuk ekosistem wilayah pesisir.
Dia mencontohkan saat banjir besar yang menyergap Jabodetabek di penghujung tahun 2019 hingga awal tahun 2020 lalu. Berdasarkan prakiraan yang terkonfirmasi dari analisis BMKG, kejadian tersebut disebabkan oleh seruak udara dingin (cold surge) dari Tibet ke Hong Kong yang selanjutnya masuk ke wilayah Jabodetabek.
Cold surge sendiri merupakan seruakan yang mengandung massa udara dingin dari daratan Asia ke arah selatan. Artinya, kata dia, perubahan iklim inilah yang kemudian menjadi biang keladi cuaca ekstrem yang kerap menghantam Indonesia.
Mulai dari hujan lebat disertai kilat dan petir, siklon tropis, gelombang tinggi, hingga hujan es. Meski bukan berasal dari Indonesia, lanjut dia, namun dampaknya bisa dirasakan oleh Indonesia.
“Perubahan iklim sendiri adalah peristiwa global namun dampaknya dirasakan secara regional ataupun lokal. Tidak ada batasan teritorial negara,” imbuhnya.
Dwikorita menyebut kondisi inilah yang memacu BMKG untuk menggencarkan pelaksanaan Sekolah Lapang Cuaca Nelayan (SLCN) di daerah-daerah pesisir pantai. Melalui SLCN yang digelar, BMKG ingin nelayan dapat melaut, mendapatkan hasil, dan pulang dengan selamat.
SLCN sendiri, kata dia, bertujuan untuk meningkatkan keterampilan nelayan Indonesia dalam mengakses, membaca, menindaklanjuti dan mendiseminasikan informasi cuaca, iklim maritim serta informasi prakiraan lokasi ikan dari sumber yang terpercaya. Selain itu, SLCN juga menjadi bagian dari ikhtiar BMKG mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
“Kegiatan SLCN ini menggunakan pembelajaran interaktif, yaitu metode belajar dan praktik. Materi pokok yang akan diberikan yaitu pengenalan produk dan memahami informasi cuaca dan iklim maritim, cara membaca informasi maritim, dan pengenalan alat-alat observasi,” imbuhnya.
(kri)