Jokowi Beri Amnesti ke Dosen USK Aceh Saiful Mahdi, Mahfud MD: Tinggal Tunggu DPR
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menko Polhukam Mahfud MD menyebut pemerintah telah selesai memproses permintaan amnesti dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Saiful Mahdi. Menurut dia, saat ini hanya menunggu proses di DPR.
Hal itu dikarenakan berdasarkan peraturan Undang-Undang (UU), Presiden harus mendengar DPR bila akan memberikan amnesti dan abolisi. "Setelah dialog saya dengan istri Saiful Mahdi dan para pengacaranya tanggal 21 September, besoknya saya rapat dengan pimpinan Kemenkumham dan pimpinan Kejaksaan Agung, dan saya katakan kita akan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Tanggal 24 saya lapor ke Presiden, dan Presiden setuju untuk memberikan amnesti," ujar Mahfud, Selasa (5/10/2021).
Selanjutnya sambung Mahfud, secara cepat pada 29 September surat Presiden telah dikirimkan kepada DPR untuk meminta pertimbangan amnesti Saiful Mahdi. Merujuk Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, Presiden harus mendengarkan DPR terlebih dulu bilamana akan memberikan amnesti dan abolisi. "Nah, sekarang kita tinggal menunggu, dari DPR apa tanggapannya, karena surat itu mesti dibahas dulu oleh Bamus, lalu dibacakan di depan Sidang Paripurna DPR. Jadi kita tunggu itu. Yang pasti, dari sisi pemerintah, prosesnya sudah selesai,” ujarnya.
Mahfud menjelaskan, pemerintah bekerja cepat dalam kasus ini. Sebab, pihaknya sudah berkomitmen untuk tidak terlalu mudah menghukum orang. “Kita kan inginnya restorative justice, dan ini kasusnya hanya mengkritik, dan mengkritik fakultas bukan personal karena itu menurut saya layak dapat amnesty makanya kita perjuangkan," jelasnya.
Diketahui, PN Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara terhadap akademisi USK Saiful Mahdi. Dia dinilai melanggar UU ITE. Dosen Fakultas MIPA USK itu dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mentransfer muatan pencemaran nama baik tentang hasil tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dosen Fakultas Teknik kampus tersebut.
Seusai putusan PN Banda Aceh, Saiful Mahdi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh hingga Kasasi ke MA, namun semua putusan menguatkan hasil keputusan PN Banda Aceh. Riezky Maulana
Hal itu dikarenakan berdasarkan peraturan Undang-Undang (UU), Presiden harus mendengar DPR bila akan memberikan amnesti dan abolisi. "Setelah dialog saya dengan istri Saiful Mahdi dan para pengacaranya tanggal 21 September, besoknya saya rapat dengan pimpinan Kemenkumham dan pimpinan Kejaksaan Agung, dan saya katakan kita akan mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Tanggal 24 saya lapor ke Presiden, dan Presiden setuju untuk memberikan amnesti," ujar Mahfud, Selasa (5/10/2021).
Selanjutnya sambung Mahfud, secara cepat pada 29 September surat Presiden telah dikirimkan kepada DPR untuk meminta pertimbangan amnesti Saiful Mahdi. Merujuk Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, Presiden harus mendengarkan DPR terlebih dulu bilamana akan memberikan amnesti dan abolisi. "Nah, sekarang kita tinggal menunggu, dari DPR apa tanggapannya, karena surat itu mesti dibahas dulu oleh Bamus, lalu dibacakan di depan Sidang Paripurna DPR. Jadi kita tunggu itu. Yang pasti, dari sisi pemerintah, prosesnya sudah selesai,” ujarnya.
Mahfud menjelaskan, pemerintah bekerja cepat dalam kasus ini. Sebab, pihaknya sudah berkomitmen untuk tidak terlalu mudah menghukum orang. “Kita kan inginnya restorative justice, dan ini kasusnya hanya mengkritik, dan mengkritik fakultas bukan personal karena itu menurut saya layak dapat amnesty makanya kita perjuangkan," jelasnya.
Diketahui, PN Banda Aceh menjatuhkan hukuman tiga bulan penjara terhadap akademisi USK Saiful Mahdi. Dia dinilai melanggar UU ITE. Dosen Fakultas MIPA USK itu dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mentransfer muatan pencemaran nama baik tentang hasil tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dosen Fakultas Teknik kampus tersebut.
Seusai putusan PN Banda Aceh, Saiful Mahdi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh hingga Kasasi ke MA, namun semua putusan menguatkan hasil keputusan PN Banda Aceh. Riezky Maulana
(cip)