Aktivis Gender Sebut Praktik Feminisme Sudah Ada di Zaman Nabi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aktivis gender, Nina Nurmila menyebut bahwa praktik feminisme telah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal itu bisa dilihat dari ajaran Rasulullah terkait keadilan, termasuk keadilan antara laki-laki dan perempuan.
"Hanya, feminisme ini banyak disalahpahami dan dianggap sesuatu yang sangat negatif tanpa didasari pengetahuan yang cukup," kata Nina seperti dikutip dari laman resmi NU, Minggu (19/09/2021).
Nina menjelaskan, sebagaimana tertulis dalam buku Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia karya Etin Anwar, definisi feminisme adalah kesadaran terhadap adanya penindasan dan perendahan terhadap perempuan karena jenis kelamin mereka, upaya untuk mengeliminasi penindasan atau subordinasi, serta untuk mencapai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Baca juga: 9 Istilah dalam Feminisme yang Perlu Kamu Tahu
Islam yang dibawa oleh Rasulullah juga mengajarkan pentingnya keadilan, termasuk keadilan antara laki-laki dan perempuan. "Konsekuensi nilai keadilan itu tercermin dalam penolakan Islam terhadap tradisi bangsa Arab dahulu yang mengubur hidup-hidup anak perempuan ketika baru lahir," katanya.
Dasar pengingkaran tradisi bangsa Arab Jahiliyyah disinggung dalam Alquran surat An-Nahl ayat 59, "Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu". "Ini merupakan praktik feminisme, hanya saja belum diistilahkan saat itu," ujar Nina.
Praktik feminisme lainnya yakni masalah waris. Ia menjelaskan pada masa Arab Jahiliyyah, perempuan dianggap sebagai sesuatu yang bisa diwariskan. Namuan ketika Islam datang, perempuan tidak hanya bisa menerima waris, juga dapat memberi harta waris. "Ini merupakan reformasi yang sangat progresif pada masanya," katanya.
Baca juga: Pengukuran Data Sangat Penting dalam Mendukung Kesetaraan Gender
Lalu praktik feminisme berikutnya adalah monogami. Nina mengatakan pada masa Arab Jahiliyah juga belum ada pembatasan memperistri. Ketika Islam datang, terjadi pembatasan dengan maksimal empat istri.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 3, "Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga, atau empat". "Ayat ini pun masih dibaca setengah-setengah oleh beberapa kalangan. Mereka mengabaikan fawaakhidatan (satu perempuan)," katanya.
Widya Michella
"Hanya, feminisme ini banyak disalahpahami dan dianggap sesuatu yang sangat negatif tanpa didasari pengetahuan yang cukup," kata Nina seperti dikutip dari laman resmi NU, Minggu (19/09/2021).
Nina menjelaskan, sebagaimana tertulis dalam buku Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia karya Etin Anwar, definisi feminisme adalah kesadaran terhadap adanya penindasan dan perendahan terhadap perempuan karena jenis kelamin mereka, upaya untuk mengeliminasi penindasan atau subordinasi, serta untuk mencapai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Baca juga: 9 Istilah dalam Feminisme yang Perlu Kamu Tahu
Islam yang dibawa oleh Rasulullah juga mengajarkan pentingnya keadilan, termasuk keadilan antara laki-laki dan perempuan. "Konsekuensi nilai keadilan itu tercermin dalam penolakan Islam terhadap tradisi bangsa Arab dahulu yang mengubur hidup-hidup anak perempuan ketika baru lahir," katanya.
Dasar pengingkaran tradisi bangsa Arab Jahiliyyah disinggung dalam Alquran surat An-Nahl ayat 59, "Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu". "Ini merupakan praktik feminisme, hanya saja belum diistilahkan saat itu," ujar Nina.
Praktik feminisme lainnya yakni masalah waris. Ia menjelaskan pada masa Arab Jahiliyyah, perempuan dianggap sebagai sesuatu yang bisa diwariskan. Namuan ketika Islam datang, perempuan tidak hanya bisa menerima waris, juga dapat memberi harta waris. "Ini merupakan reformasi yang sangat progresif pada masanya," katanya.
Baca juga: Pengukuran Data Sangat Penting dalam Mendukung Kesetaraan Gender
Lalu praktik feminisme berikutnya adalah monogami. Nina mengatakan pada masa Arab Jahiliyah juga belum ada pembatasan memperistri. Ketika Islam datang, terjadi pembatasan dengan maksimal empat istri.
Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 3, "Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kalian sukai, dua, tiga, atau empat". "Ayat ini pun masih dibaca setengah-setengah oleh beberapa kalangan. Mereka mengabaikan fawaakhidatan (satu perempuan)," katanya.
Widya Michella
(abd)