Bukan KSAD, Jenderal di Kabinet Ini yang Dipilih Presiden Jadi Panglima
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasak-kusuk tentang siapa yang bakal ditunjuk sebagai Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI mencuat jelang berakhirnya jabatan Jenderal TNI Maraden Panggabean pada April 1978. Sejumlah nama beredar kencang, namun kejutan besar terjadi.
Bocoran tentang sosok calon Panglima ABRI (kini Panglima TNI) sebenarnya telah muncul pada awal 1978. Seorang jenderal bintang dua menyapa para jurnalis yang sedang santai minum kopi di Hotel Indonesia.
“Wah, nanti ada orang luar Jawa lagi jadi Menhankam,” kata perwira tinggi itu dikisahkan Atmadji Sumarkidjo dalam buku “Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit”, dikutip Jumat (17/9/2021).
Mendengar bocoran itu, para wartawan hanya terdiam. Tak jelas siapa dimaksud oleh jenderal yang belakangan diketahui sebagai Benny Moerdani itu.
Atmadji menulis, Menhankam/Pangab akhirnya diumumkan. Presiden Soeharto memilih Jenderal M Jusuf sebagai orang nomor satu di tubuh militer Indonesia tersebut. Penunjukan ini dianggap sebagai kejutan.
Betapa tidak, Jusuf saat itu berada di kabinet sebagai Menteri Perindustrian. Meski berstatus perwira tinggi aktif, Jusuf telah 13 tahun tak lagi mengenakan seragam militer.
Karier tertingginya di TNI AD kala itu ‘hanya’ sebagai Pangdam XIV Hasanuddin. Seusai terlibat dalam operasi penumpasan Kahar Muzakkar dan Andi Selle, Jusuf justru diangkat sebagai menteri perindustrian ringan oleh Presiden Soekarno.
Jabatan sipil itu kembali berlanjut ketika Soeharto menjadi Presiden. Jusuf masih dipercaya duduk di kabinet.
Dalam sejarah TNI, mungkin barangkali baru pertama kali terjadi jenderal yang ‘dikaryakan’ di jabatan sipil dalam tempo waktu lama kembali dipanggil untuk dinas aktif di militer. Meski tidak menyalahi aturan (Jusuf belum pensiun dari AD), penunjukan itu tak urung mengagetkan banyak orang.
“Dibanding Maraden Panggabean yang digantikan, dia (Jusuf) kalah lengkap karier militernya terutama di bidang staf dan territorial. Tetapi siapa yang berani melawan kehendak Soeharto?,” kata Atmadji.
Sebelumnya sejumlah nama dianggap punya kans untuk mendudukan jabatan prestisius itu antara lain Kepala Staf Komando Pemulihan dan Ketertiban Laksamana TNI Soedomo. Namun Soedomo berasal dari AL sehingga dianggap tak mungkin memegang jabatan Menhankam.
Peluang juga muncul dari perwira tinggi Angkatan Darat seperti Jenderal TNI Soerono, Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah dan KSAD Jenderal TNI Widodo. Jika mengikuti pola sebelumnya, Widodo dianggap bakal ditunjuk sebagai Menhankam/Pangab.
Asal tahun, Maraden Panggabean sebelumnya juga menjabat KSAD sebelum dipercaya Soeharto jadi Panglima. Tak heran publik berpikir Widodo-lah yang bakal menempati jabatan itu.
Namun kejutan berlangsung. Masyarakat heboh saat Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan III. Jenderal M Jusuf resmi Menhankam/Pangab, sedangkan Sudomo dipercaya sebagai Pangkopkamtib sekaligus Wakil Panglima ABRI.
Susunan kabinet itu juga seakan menjadi bukti terdepaknya Letjen Ali Moertopo dari ring 1 Soeharto. Tokoh intelijen yang sebelumnya sangat berpengaruh dalam percaturan politik nasional tersebut dijadikan menteri penerangan.
Kebal Peluru?
Lahir dari keluarga bangsawan Bugis, Jusuf saat muda merantau ke Yogyakarta untuk berdagang. Toh, pada akhirnya menjadi saudagar bukan pilihan.
Jalan hidup membawa pria Makassar itu untuk berjuang melawan Belanda. Jusuf meniti karier sebagai anggota Tentara Rakyat Indonesia (cikal bakal TNI).
Pada 1949 Jusuf beralih ke Angkatan Darat dari sebelumnya di Angkatan Laut. Dia masuk Korps Polisi Militer (CPM). Perjalanan waktu membawanya sebagai sosok penting di Indonesia Timur. Pada 1959 dia dipercaya sebagai Pangdam Hasanuddin.
Terdapat kisah menarik semasa dia menempati jabatan ini. Jusuf yang saat itu kolonel nyaris direnggut maut karena dihujani tembakan pasukan Andi Selle Mattola, pentolan pemberontak di Pinrang, Sulawesi Selatan.
Sama halnya Kahar Muzakkar, Andi Selle sesungguhnya juga dikenal baik oleh Jusuf. Selain sama-sama dari Sulawesi Selatan, Selle dan Kahar juga pernah satu barisan memerangi penjajahan kolonial.
M Natsir dalam tesis bertajuk “Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Massenrengpulu: Studi tentang Integrasi Gerilya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Selle yang semula satu barisan dengan Kahar Muzakkar akhirnya berseberangan. Perpecahan terjadi karena batalyon Andi Selle diresmikan dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
Perundingan Jusuf dan Selle di sebuah bangunan di Desa Lepanggeng itu sebenarnya berjalan lancar. Keduanya bahkan keluar bersama, berjalan beriringan lalu menumpang mobil sama. Tujuannya, rumah Bupati Pinrang Andi Makkulau.
Di sebuah pertigaan, mobil yang seharusnya belok ternyata melaju lurus. Anak buah Andi Selle yang membuntuti pun mengejar dan menghadang mobil milik TNI itu. Selle lantas keluar dan segera memerintah anak buahnya menembak.
Akan halnya Jusuf juga keluar dari mobil dan memerintahkan pasukan Kujang yang mengawalnya untuk membalas tembakan. Hujan peluru terjadi terjadi.
Pengawal segera menyelamatkan Jusuf. Dia dilindungi dan dilarikan ke mobil di depannya. Di tengah desingan peluru dan suara ledakan granat, Jusuf selamat. Namun pengawalnya, Peltu Daud, gugur tertembak.
Bocoran tentang sosok calon Panglima ABRI (kini Panglima TNI) sebenarnya telah muncul pada awal 1978. Seorang jenderal bintang dua menyapa para jurnalis yang sedang santai minum kopi di Hotel Indonesia.
“Wah, nanti ada orang luar Jawa lagi jadi Menhankam,” kata perwira tinggi itu dikisahkan Atmadji Sumarkidjo dalam buku “Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit”, dikutip Jumat (17/9/2021).
Mendengar bocoran itu, para wartawan hanya terdiam. Tak jelas siapa dimaksud oleh jenderal yang belakangan diketahui sebagai Benny Moerdani itu.
Atmadji menulis, Menhankam/Pangab akhirnya diumumkan. Presiden Soeharto memilih Jenderal M Jusuf sebagai orang nomor satu di tubuh militer Indonesia tersebut. Penunjukan ini dianggap sebagai kejutan.
Betapa tidak, Jusuf saat itu berada di kabinet sebagai Menteri Perindustrian. Meski berstatus perwira tinggi aktif, Jusuf telah 13 tahun tak lagi mengenakan seragam militer.
Karier tertingginya di TNI AD kala itu ‘hanya’ sebagai Pangdam XIV Hasanuddin. Seusai terlibat dalam operasi penumpasan Kahar Muzakkar dan Andi Selle, Jusuf justru diangkat sebagai menteri perindustrian ringan oleh Presiden Soekarno.
Jabatan sipil itu kembali berlanjut ketika Soeharto menjadi Presiden. Jusuf masih dipercaya duduk di kabinet.
Dalam sejarah TNI, mungkin barangkali baru pertama kali terjadi jenderal yang ‘dikaryakan’ di jabatan sipil dalam tempo waktu lama kembali dipanggil untuk dinas aktif di militer. Meski tidak menyalahi aturan (Jusuf belum pensiun dari AD), penunjukan itu tak urung mengagetkan banyak orang.
“Dibanding Maraden Panggabean yang digantikan, dia (Jusuf) kalah lengkap karier militernya terutama di bidang staf dan territorial. Tetapi siapa yang berani melawan kehendak Soeharto?,” kata Atmadji.
Sebelumnya sejumlah nama dianggap punya kans untuk mendudukan jabatan prestisius itu antara lain Kepala Staf Komando Pemulihan dan Ketertiban Laksamana TNI Soedomo. Namun Soedomo berasal dari AL sehingga dianggap tak mungkin memegang jabatan Menhankam.
Peluang juga muncul dari perwira tinggi Angkatan Darat seperti Jenderal TNI Soerono, Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah dan KSAD Jenderal TNI Widodo. Jika mengikuti pola sebelumnya, Widodo dianggap bakal ditunjuk sebagai Menhankam/Pangab.
Asal tahun, Maraden Panggabean sebelumnya juga menjabat KSAD sebelum dipercaya Soeharto jadi Panglima. Tak heran publik berpikir Widodo-lah yang bakal menempati jabatan itu.
Namun kejutan berlangsung. Masyarakat heboh saat Soeharto mengumumkan susunan Kabinet Pembangunan III. Jenderal M Jusuf resmi Menhankam/Pangab, sedangkan Sudomo dipercaya sebagai Pangkopkamtib sekaligus Wakil Panglima ABRI.
Susunan kabinet itu juga seakan menjadi bukti terdepaknya Letjen Ali Moertopo dari ring 1 Soeharto. Tokoh intelijen yang sebelumnya sangat berpengaruh dalam percaturan politik nasional tersebut dijadikan menteri penerangan.
Kebal Peluru?
Lahir dari keluarga bangsawan Bugis, Jusuf saat muda merantau ke Yogyakarta untuk berdagang. Toh, pada akhirnya menjadi saudagar bukan pilihan.
Jalan hidup membawa pria Makassar itu untuk berjuang melawan Belanda. Jusuf meniti karier sebagai anggota Tentara Rakyat Indonesia (cikal bakal TNI).
Pada 1949 Jusuf beralih ke Angkatan Darat dari sebelumnya di Angkatan Laut. Dia masuk Korps Polisi Militer (CPM). Perjalanan waktu membawanya sebagai sosok penting di Indonesia Timur. Pada 1959 dia dipercaya sebagai Pangdam Hasanuddin.
Terdapat kisah menarik semasa dia menempati jabatan ini. Jusuf yang saat itu kolonel nyaris direnggut maut karena dihujani tembakan pasukan Andi Selle Mattola, pentolan pemberontak di Pinrang, Sulawesi Selatan.
Sama halnya Kahar Muzakkar, Andi Selle sesungguhnya juga dikenal baik oleh Jusuf. Selain sama-sama dari Sulawesi Selatan, Selle dan Kahar juga pernah satu barisan memerangi penjajahan kolonial.
M Natsir dalam tesis bertajuk “Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Massenrengpulu: Studi tentang Integrasi Gerilya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Selle yang semula satu barisan dengan Kahar Muzakkar akhirnya berseberangan. Perpecahan terjadi karena batalyon Andi Selle diresmikan dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
Perundingan Jusuf dan Selle di sebuah bangunan di Desa Lepanggeng itu sebenarnya berjalan lancar. Keduanya bahkan keluar bersama, berjalan beriringan lalu menumpang mobil sama. Tujuannya, rumah Bupati Pinrang Andi Makkulau.
Di sebuah pertigaan, mobil yang seharusnya belok ternyata melaju lurus. Anak buah Andi Selle yang membuntuti pun mengejar dan menghadang mobil milik TNI itu. Selle lantas keluar dan segera memerintah anak buahnya menembak.
Akan halnya Jusuf juga keluar dari mobil dan memerintahkan pasukan Kujang yang mengawalnya untuk membalas tembakan. Hujan peluru terjadi terjadi.
Pengawal segera menyelamatkan Jusuf. Dia dilindungi dan dilarikan ke mobil di depannya. Di tengah desingan peluru dan suara ledakan granat, Jusuf selamat. Namun pengawalnya, Peltu Daud, gugur tertembak.
(poe)