Teror Diskusi Pemberhentian Presiden Dinilai Merusak Demokrasi

Sabtu, 30 Mei 2020 - 21:13 WIB
loading...
Teror Diskusi Pemberhentian...
Diskusi Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan dibatalkan karena panitia dan narasumber mendapat berbagai ancaman. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kebebasan berpendapat kembali dibungkam di Negeri ini. Diskusi bertajuk Persoalan Pemecatan Presiden Di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan dibatalkan karena panitia dan narasumber mendapatkan berbagai ancaman.

(Baca juga: Teror ke Panitia Diskusi di UGM, Demokrat Prihatin Demokrasi di Indonesia)

Tak main-main, ancaman yang diterima oleh salah satu panitia dan keluarganya adalah akan dibunuh. Panitia acara itu adalah Constitusional Law Society (CLS) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan narasumbernya, Guru Besar Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Nimatul Huda.

(Baca juga: Teror terhadap Diskusi Pemberhentian Presiden Telah Mencederai Kebebasan Akademik)

Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan teror itu jelas kejahatan. Ancaman melalui telepon itu bisa dijerat dengan pasal 27 ayat 4 juncto pasal 45 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

"Proses hukum terhadap hal ini menjadi penting karena dilakukan dalam konteks pelarangan sebuah diskusi di kampus di mana kebebasan berekspresi sangat dijamin. Karena itu membiarkan tindakan ini sama dengan merusak demokrasi," ujarnya kepada SINDOnews, Sabtu (30/5/2020).

Fickar pun menilai secara konstitusi tidak ada yang masalah dengan frase pemberhentian presiden. Dia menerangkan dalam hubungan kerja kata pemecatan lebih tepat digunakan. Namun, dalam kamus, keduanya bermakna sama. "Jadi dua istilah itu di ranah akademik bukanlah pelanggaran hukum,” ucapnya.

Dosen Universitas Trisaksi itu menyatakan judul diskusi itu tidak bisa dimasukan dalam katagori makar. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ada tiga syarat makar, yakni membunuh presiden dan wakil presiden yang tertera pada pasal 104.

Dua tindakan yang masuk kategori makar adalah memisahkan diri sebagian atau seluruh daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan merebut kekuasaan pemerintahan secara ilegal atau melawan hukum.

Fickar menerangkan mekanisme hukum dan perundang-undangan memungkinkan perebutan kekuasaan secara legal. Cara-caranya, antara lain, melalui pemilihan umum (pemilu) dan pemakzulan atau pemberhentian presiden.

Untuk yang kedua harus ada syarat, yakni melakukan pelanggaran hukum, pengkhianatan terhadap negara, korupsi dan tindak pidana berat. "Jadi jika sebatas diskusi itu tidak termasuk MAKAR. Diskusi itu HAM mengeluarkan pikiran dan pendapat," tegasnya.

Dalam negara demokrasi, semua orang dijamin kebebasannya untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat. "Jika banyak pikiran kritis, biasanya lahir sebagai respon dari kebijakan yang tidak sesuai dan tidak diterima masyarakat. Jadi wajar saja berekpresi, termasuk berdemonstrasi," katanya.

Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto mengecam sikap dan tindakan intimidatif terhadap rencana kegiatan diskusi yang berujung pada pembatalan itu. Hal itu merupakan ancaman nyata bagi mimbar kebebasan akademik.

"Fakultas Hukum UGM mendorong segenap lapisan masyarakat untuk menerima dan menghormati kebebasan berpendapat dalam koridor akademik. Serta berkontribusi positif dalam menjernihkan segala polemik yang terjadi di dalam masyarakat," pungkasnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1522 seconds (0.1#10.140)