Fahri Bachmid: Rencana Amendemen UUD 1945 oleh MPR Cacat Konsep dan Paradigma
loading...
A
A
A
Baca juga: Pakar Hukum UGM Nilai Tak Ada Urgensi Saat Ini Amendemen UUD
"Dan secara teoritik kita memang membangun supremasi parlemen dengan seluruh konsentrasi kekuasaan saat itu ada pada MPR. Konsekuensinya, adanya kewenangan MPR untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan dokumen hukum GBHN, sehingga dengan kewenangan tersebut, MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden," katanya.
Secara doktrinal, menurut Fahri Bachmid, sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amendemen sepanjang berkaitan dengan prinsip kedaulatan, menganut ajaran "distribution of power" yang secara konstitusional terdapat distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara yaitu dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara. Dengan pola distribusi kewenangan tersebut dari MPR selaku lembaga tertinggi negara (supremasi MPR) kepada lembaga-lembaga tinggi negara. Namun, katanya, sejak Pemilu 2004, presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat.
Hal tersebut, dijelaskan Fahri, merupakan konsekwensi dari amandemen konstitusi yang dilakukan pasca reformasi, yang mana menegaskan Indonesia menganut prinsip negara demokrasi (daulat rakyat) sekaligus nomokrasi (daulat hukum), sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar", yang mana kekuasaan pemerintahan negara dilakukan sesuai fungsi dari masing-masing lembaga negara secara seimbang dan sederajat sesuai konstitusi. Bahwa secara apriori jika dokumen hukum GBHN/PPHN ini diadopsi dalam konstitusi, akan memunculkan gagasan menjadikan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara.
"Dan bisa jadi kelanjutannya adalah presiden dipilih kembali oleh MPR. Hal ini tentunya sudah sangat tidak relevan dengan bangunan struktur ketatanegaraan yang dibangun saat ini pada saat amandemen UUD 1945, yang mana paradigma serta orientasinya adalah penguatan sistem presidensial serta pelaksanaan prinsip Checks and Balance System dalam hubungan relasi serta interelasi antara lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi," kata Fahri.
Menurutnya, gagasan menghidupkan kembali GBHN/PPHN melalui amendemen UUD 1945 yang secara apologi dikatakan demi kepastian dan keberlanjutan agenda pembangunan merupakan bentuk "Logical fallacy" yang tidak didasarkan pada suatu kajian akademik yang mendalam, cermat dan hati-hati, sehingga pada ahirnya akan membuat sistem yang telah dibangun mengalami disorientasi serta kekacauan fungsi ketatanegaraan. Sebab amendemen UUD 1945 yang telah berlangsung sebanyak empat kali salah satu hal krusial adalah pada hakikatnya mendesain konstruksi sistem pemerintahan presidensial (purifikasi). Dan dengan sistem presidensial itu telah terbukti berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung.
"Bukan kepada lembaga negara lain semacam MPR dengan berbagai atribusi kekuasaannya itu, termasuk penciptaan pranata PPHN, ini tentunya akan menimbulkan kekacauan konsep serta bangunan ketatanegaraan yang ada," paparnya.
Sejak hapuskannya GBHN/PPHN dari konstitusi, maka konsep yang serupa yang mempunyai fungsi semacam GBHN telah digantikan dengan dua produk hukum. Pertama, UU RI No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; dan : Kedua, UU RI No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Sementara penyusunan RPJMN berlandaskan visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Secara teknis jika PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis pada kedaulatan rakyat, menurut dia, maka secara ideal hal tersebut cukup diakomodir dalam payung hukum yang derajatnya di bawah konstitusi, yaitu UU agar lebih visible dan fleksibel dalam menampung kebutuhan zaman kontemporer, dan tidak ada urgensinya jika basis pengaturan membutuhkan derajat konstitusi. Di sisi yang lain oleh karena konsep GBHN tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini.
"Gagasan GBHN/PPHN adalah sangat tidak "futuristik" dengan konsep negara demokrasi konstitusional serta negara modern, yang mana setiap "proyeksi" perencanaan pembangunan nasional yang komprehensif, terpadu, dan terintegrasi idealnya mengacu dan berbasis pada kondisi faktual, serta melalui instrumen riset yang mendalam dan detail, dan tidak hanya sekedar ideologi yang sangat abstrak karena berupa konsep-konsep ideal," ujar Fahri Bachmid.
"Dan secara teoritik kita memang membangun supremasi parlemen dengan seluruh konsentrasi kekuasaan saat itu ada pada MPR. Konsekuensinya, adanya kewenangan MPR untuk mengangkat Presiden dan Wakil Presiden serta menetapkan dokumen hukum GBHN, sehingga dengan kewenangan tersebut, MPR dapat meminta pertanggungjawaban Presiden," katanya.
Secara doktrinal, menurut Fahri Bachmid, sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amendemen sepanjang berkaitan dengan prinsip kedaulatan, menganut ajaran "distribution of power" yang secara konstitusional terdapat distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara yaitu dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara. Dengan pola distribusi kewenangan tersebut dari MPR selaku lembaga tertinggi negara (supremasi MPR) kepada lembaga-lembaga tinggi negara. Namun, katanya, sejak Pemilu 2004, presiden dan wakilnya dipilih langsung oleh rakyat.
Hal tersebut, dijelaskan Fahri, merupakan konsekwensi dari amandemen konstitusi yang dilakukan pasca reformasi, yang mana menegaskan Indonesia menganut prinsip negara demokrasi (daulat rakyat) sekaligus nomokrasi (daulat hukum), sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar", yang mana kekuasaan pemerintahan negara dilakukan sesuai fungsi dari masing-masing lembaga negara secara seimbang dan sederajat sesuai konstitusi. Bahwa secara apriori jika dokumen hukum GBHN/PPHN ini diadopsi dalam konstitusi, akan memunculkan gagasan menjadikan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara.
"Dan bisa jadi kelanjutannya adalah presiden dipilih kembali oleh MPR. Hal ini tentunya sudah sangat tidak relevan dengan bangunan struktur ketatanegaraan yang dibangun saat ini pada saat amandemen UUD 1945, yang mana paradigma serta orientasinya adalah penguatan sistem presidensial serta pelaksanaan prinsip Checks and Balance System dalam hubungan relasi serta interelasi antara lembaga-lembaga negara yang diatur dalam konstitusi," kata Fahri.
Menurutnya, gagasan menghidupkan kembali GBHN/PPHN melalui amendemen UUD 1945 yang secara apologi dikatakan demi kepastian dan keberlanjutan agenda pembangunan merupakan bentuk "Logical fallacy" yang tidak didasarkan pada suatu kajian akademik yang mendalam, cermat dan hati-hati, sehingga pada ahirnya akan membuat sistem yang telah dibangun mengalami disorientasi serta kekacauan fungsi ketatanegaraan. Sebab amendemen UUD 1945 yang telah berlangsung sebanyak empat kali salah satu hal krusial adalah pada hakikatnya mendesain konstruksi sistem pemerintahan presidensial (purifikasi). Dan dengan sistem presidensial itu telah terbukti berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis karena presiden bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung.
"Bukan kepada lembaga negara lain semacam MPR dengan berbagai atribusi kekuasaannya itu, termasuk penciptaan pranata PPHN, ini tentunya akan menimbulkan kekacauan konsep serta bangunan ketatanegaraan yang ada," paparnya.
Sejak hapuskannya GBHN/PPHN dari konstitusi, maka konsep yang serupa yang mempunyai fungsi semacam GBHN telah digantikan dengan dua produk hukum. Pertama, UU RI No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; dan : Kedua, UU RI No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Sementara penyusunan RPJMN berlandaskan visi dan misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Secara teknis jika PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis pada kedaulatan rakyat, menurut dia, maka secara ideal hal tersebut cukup diakomodir dalam payung hukum yang derajatnya di bawah konstitusi, yaitu UU agar lebih visible dan fleksibel dalam menampung kebutuhan zaman kontemporer, dan tidak ada urgensinya jika basis pengaturan membutuhkan derajat konstitusi. Di sisi yang lain oleh karena konsep GBHN tidak relevan lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku saat ini.
"Gagasan GBHN/PPHN adalah sangat tidak "futuristik" dengan konsep negara demokrasi konstitusional serta negara modern, yang mana setiap "proyeksi" perencanaan pembangunan nasional yang komprehensif, terpadu, dan terintegrasi idealnya mengacu dan berbasis pada kondisi faktual, serta melalui instrumen riset yang mendalam dan detail, dan tidak hanya sekedar ideologi yang sangat abstrak karena berupa konsep-konsep ideal," ujar Fahri Bachmid.