Bikameral Belum Maksimal, Mahyudin Sebut DPD hanya Etalase Politik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin menilai, DPD RI selama ini belum diberikan porsi yang sesuai sebagai lembaga perwakilan daerah. Selama ini, DPD RI hanya menjadi etalase politik . Oleh karena itu, dirinya menilai fungsi DPD RI harus dioptimalkan ke depannya.
Mahyudin mengatakan, cita-cita besar bangsa Indonesia adalah membangun parlemen yang kuat dan efektif. Karena, menurutnya, saat ini parlemen yang kuat dan efektif masih jauh panggang dari api. Banyak negara-negara besar yang juga melaksanakan sistem parlemen dua kamar, tapi mereka benar-benar menjalankan secara konsisten.
"Kita juga punya dua kamar, tapi faktanya DPD ini belum diberikan porsi yang seharusnya. Jadi hanya menjadi semacam etalase politik semata. Itulah yang perlu dipikirkan bagaimana mengoptimalkan fungsi DPD untuk membangun sistem parlemen yang efektif,” ucapnya dalam acara executive brief dengan tema ‘Membangun Sistem Bikameral yang Efektif’ di DPD RI, Kamis 26 Agustus 2021.
Mahyudin menjelaskan, tidak seharusnya kekuatan parlemen hanya didominasi oleh partai politik (parpol). Tapi harus diimbangi dengan kekuatan-kekuatan lain yang menjadi penyeimbang dalam menentukan arah kebijakan negara. Misalnya, DPD RI yang merupakan perwakilan dari wilayah atau teritorial. Sedangkan DPR sendiri sebagai kumpulan fraksi-fraksi yang notabene adalah mewakili parpol, karena jika terlalu kuat maka akhirnya yang muncul adalah oligarki.
“Saat kita melakukan amandemen ke 3 terhadap UUD 1945, ketika itu sebenarnya kita sudah memilih sistem bikameral, maka harusnya dijalankan dengan memaksimalkan peran DPD RI untuk mengatasi kesenjangan di daerah,” ucap Mahyudin.
Namun, masih menurut Mahyudin, faktanya, praktik bikameral di Indonesia masih sangat lemah untuk memenuhi hasrat demokrasi.
“Sayang lembaga negara yang bagus, diisi orang-orang yang cerdas, tapi lembaga ini tidak diberdayakan dalam rangka membangun Indonesia dalam masa depan yang lebih baik di masa mendatang,” imbuhnya.
Peneliti Senior LIPI, Siti Zuhro yang hadir dalam acara itu juga mengatakan, sistem bikameral di Indonesia mulanya bertujuan memperkuat kedudukan pemerintahan daerah dan/atau rakyat di daerah dalam proses legislasi di tingkat pusat. Sistem ini bertujuan melindungi daerah yang penduduknya sedikit dari dominasi daerah yang berpenduduk banyak.
Masalahnya dalam praktik, terjadi semacam subordinasi yang dilakukan oleh DPR terhadap DPD, sehingga eksistensi dan kewenangan DPD yang diamanatkan oleh konstitusi seakan-akan tidak dianggap. Implikasi dari minimnya kewenangan DPD tersebut bukan hanya berpengaruh pada tumpulnya power anggota DPD, tapi juga terhadap institusi DPD itu sendiri.
"Betul apa yang dikatakan pak Mahyudin tadi, akhirnya DPD cuma jadi etalase politik bahwa seakan-akan kita sudah melaksanakan sistem bikameral yang punya mekanisme check and balances, padahal tidak,” papar Siti Zuhro.
Mahyudin mengatakan, cita-cita besar bangsa Indonesia adalah membangun parlemen yang kuat dan efektif. Karena, menurutnya, saat ini parlemen yang kuat dan efektif masih jauh panggang dari api. Banyak negara-negara besar yang juga melaksanakan sistem parlemen dua kamar, tapi mereka benar-benar menjalankan secara konsisten.
"Kita juga punya dua kamar, tapi faktanya DPD ini belum diberikan porsi yang seharusnya. Jadi hanya menjadi semacam etalase politik semata. Itulah yang perlu dipikirkan bagaimana mengoptimalkan fungsi DPD untuk membangun sistem parlemen yang efektif,” ucapnya dalam acara executive brief dengan tema ‘Membangun Sistem Bikameral yang Efektif’ di DPD RI, Kamis 26 Agustus 2021.
Mahyudin menjelaskan, tidak seharusnya kekuatan parlemen hanya didominasi oleh partai politik (parpol). Tapi harus diimbangi dengan kekuatan-kekuatan lain yang menjadi penyeimbang dalam menentukan arah kebijakan negara. Misalnya, DPD RI yang merupakan perwakilan dari wilayah atau teritorial. Sedangkan DPR sendiri sebagai kumpulan fraksi-fraksi yang notabene adalah mewakili parpol, karena jika terlalu kuat maka akhirnya yang muncul adalah oligarki.
“Saat kita melakukan amandemen ke 3 terhadap UUD 1945, ketika itu sebenarnya kita sudah memilih sistem bikameral, maka harusnya dijalankan dengan memaksimalkan peran DPD RI untuk mengatasi kesenjangan di daerah,” ucap Mahyudin.
Namun, masih menurut Mahyudin, faktanya, praktik bikameral di Indonesia masih sangat lemah untuk memenuhi hasrat demokrasi.
“Sayang lembaga negara yang bagus, diisi orang-orang yang cerdas, tapi lembaga ini tidak diberdayakan dalam rangka membangun Indonesia dalam masa depan yang lebih baik di masa mendatang,” imbuhnya.
Peneliti Senior LIPI, Siti Zuhro yang hadir dalam acara itu juga mengatakan, sistem bikameral di Indonesia mulanya bertujuan memperkuat kedudukan pemerintahan daerah dan/atau rakyat di daerah dalam proses legislasi di tingkat pusat. Sistem ini bertujuan melindungi daerah yang penduduknya sedikit dari dominasi daerah yang berpenduduk banyak.
Masalahnya dalam praktik, terjadi semacam subordinasi yang dilakukan oleh DPR terhadap DPD, sehingga eksistensi dan kewenangan DPD yang diamanatkan oleh konstitusi seakan-akan tidak dianggap. Implikasi dari minimnya kewenangan DPD tersebut bukan hanya berpengaruh pada tumpulnya power anggota DPD, tapi juga terhadap institusi DPD itu sendiri.
"Betul apa yang dikatakan pak Mahyudin tadi, akhirnya DPD cuma jadi etalase politik bahwa seakan-akan kita sudah melaksanakan sistem bikameral yang punya mekanisme check and balances, padahal tidak,” papar Siti Zuhro.
(mhd)