Bela Istana Soal Pengecatan Pesawat Presiden, Politikus PDIP Salahkan SBY
loading...
A
A
A
JAKARTA - Politikus PDIP , Arteria Dahlan membela pemerintah atas polemik pengecatan ulang pesawat kepresidenan yang dilakukan Kementerian Sekretariat Kabinet (Setkab). Ia meminta agar publik melihat sisi lain dari polemik pengecatan pesawat kepresidenan dari warna biru menjadi warna merah putih yang merupakan warna bendera nasional Indonesia.
"Jangan sampai publik terbawa permainan politik pihak-pihak yang merasakan 'post colour syndrome', yang merupakan pelesetan dari postpower syndrome. Atau sindrom pascakekuasan yang terjadi karena tak bisa melepaskan diri dari kekuasaan yang sudah hilang," ujar Arteria kepada wartawan di Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Menurut Anggota Komisi III DPR ini, tak ada yang salah dengan pengecatan pesawat kepresidenan menjadi warna merah putih. Justru kalau mau jujur dan menghadirkan perdebatan yang harusnya dipermasalahkan itu dulu jamannya Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu justru memesan pesawat berwarna biru.
"Warna bendera negara kita kan merah putih, bukan warna biru. Justru kita bertanya, kok dulu tak sejak awal pesawat itu diwarnai merah putih? Lalu apa yang salah dengan warna pesawat kepresidenan jika diubah menjadi merah putih sesuai warna bendera negara kita?" tukasnya.
Arteria pun memberikan sejumlah catatan terkait polemik ini. Pertama, seperti sudah disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, pengecatan ini sebenarnya sudah direncanakan pada tahun 2019. Merupakan satu paket pengerjaan pengecatan dengan heli kepresidenan Super Puma yang lebih dulu dikerjakan dan itu bukan masalah.
"Kalau terkait anggaran, kita ini kan negara hukum dan ada prosedur administrasi hukum yang telah dilalui dan bahkan disetujui oleh Partai Demokrat. Tentu saja anggaran untuk pengerjaan ini sudah dibahas dengan DPR, dan disetujui tahun 2019. Aneh saja kalau sekarang ada anggota DPR atau parpol di DPR yang mengkritiknya. Lah dulu saat dibahas, kenapa tak ditolak, bahkan mereka tidak ada mempermasalahkan sedikitpun kala itu?" tutur Arteria.
Kedua, dia melanjutkan, harus dipahami bahwa pengerjaan pengecatan itu dilakukan oleh kontraktor yang dibayar pemerintah. Menurutnya, kontraktor ini memperkerjakan warga negara Indonesia juga. Artinya, negara justru menggerakkan perekonomian rakyat lewat pekerjaan pengecatan pesawat itu.
"Anggaran negara itu merupakan satu cara untuk menggerakkan perekonomian. Justru di saat pandemi dimana perekonomian susah, sangat baik ketika negara menggerakkan ekonomi masyarakat lewat anggaran yang riil begini," terangnya.
Ketiga, kata Arteria, jika ada pihak yang mengkritik bahkan memprovokasi bahwa seharusnya anggaran pengecatan ini untuk membeli beras untuk rakyat, justru patut dipertanyakan pengetahuan yang bersangkutan. Sebab pemerintah sudah mengalokasikan anggaran untuk hal itu. Diketahui bahwa biaya penanganan COVID-19 tahun 2021 sudah ditingkatkan dari Rp699,4 triliun menjadi Rp744,75 triliun.
Untuk bantuan sosial sendiri, sambung dia, total anggaran disiapkan mencapai Rp187,84 triliun. Digunakan untuk berbagai bantuan dari yang sifatnya tunai hingga bantuan beras Bulog premium kepada 28,8 juta keluarga. Untuk anggarannya sendiri berasal dari realokasi anggaran kementerian dan lembaga. Dalam hal ini, Setneg juga sudah ikut mengetatkan pinggang dan merealokasi anggaran demi memperkuat anggaran COVID-19.
"Jadi dana COVID-19 sudah disiapkan oleh Pemerintah dan tak diganggu. Terkecuali dana covid tak disiapkan, bolehlah ada yang marah-marah," papar Arteria.
Menurut Arteria, masyarakat justru harus waspada jangan sampai terjerat dengan logika yang dibangun pihak tertentu yang tak bisa menerima warna bendera partainya tak lagi identik dengan warna pesawat kepresidenan yang lama. Padahal, justru warna pesawat kepresidenan saat ini, merah putih, adalah perwujudan simbol negara sesuai warna bendera nasional Indonesia.
"Mari berhati-hati dengan yang post power syndrome. Mungkin saja ini nanti jadinya post colour syndrome hanya karena tak bisa menerima bahwa warna pesawat kepresidenan tak lagi sama dengan warna bendera partainya," tukasnya.
Selain itu, dia menambahkan kepada pihak-pihak tertentu ia mengingatkan bahwa rakyat menghargai kerja, bukan tampilan pencitraan dan warna. Lebih baik saat ini semha ikut prihatin, membangun kesetiakawanan sosial dan gotong royong, kerja langsung, turun ke rakyat untuk membantu di tengah pandemi COVID-19 yang membuat situasi hidup rakyat sulit.
"Kalau kami kan sudah buktikan bahwa tiga pilar partai, baik yang berada di eksekutif, legislatif dan struktur partai untuk turun langsung ke bawah. Jadi tahu betul apa yang pemerintah sedang kerjakan, apa yang rakyat rasakan. Saran saya, kalau tak mau kerja, minimal jangan membuat situasi keruh dan melakukan sesuatu yang justru menurunkan optimisme rakyat menghadapi pandemi ini. Saya pastikan cara-cara populis dengan mengatasnamakan rakyat yang dilakukan oleh mereka tidak akan efektif, justru akan kontra produktif," pungkas Arteria.
Lihat Juga: Jokowi Tunjuk Herindra Jadi Kepala BIN, Istana: Sudah Didiskusikan dengan Presiden Terpilih
"Jangan sampai publik terbawa permainan politik pihak-pihak yang merasakan 'post colour syndrome', yang merupakan pelesetan dari postpower syndrome. Atau sindrom pascakekuasan yang terjadi karena tak bisa melepaskan diri dari kekuasaan yang sudah hilang," ujar Arteria kepada wartawan di Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Menurut Anggota Komisi III DPR ini, tak ada yang salah dengan pengecatan pesawat kepresidenan menjadi warna merah putih. Justru kalau mau jujur dan menghadirkan perdebatan yang harusnya dipermasalahkan itu dulu jamannya Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu justru memesan pesawat berwarna biru.
"Warna bendera negara kita kan merah putih, bukan warna biru. Justru kita bertanya, kok dulu tak sejak awal pesawat itu diwarnai merah putih? Lalu apa yang salah dengan warna pesawat kepresidenan jika diubah menjadi merah putih sesuai warna bendera negara kita?" tukasnya.
Arteria pun memberikan sejumlah catatan terkait polemik ini. Pertama, seperti sudah disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, pengecatan ini sebenarnya sudah direncanakan pada tahun 2019. Merupakan satu paket pengerjaan pengecatan dengan heli kepresidenan Super Puma yang lebih dulu dikerjakan dan itu bukan masalah.
"Kalau terkait anggaran, kita ini kan negara hukum dan ada prosedur administrasi hukum yang telah dilalui dan bahkan disetujui oleh Partai Demokrat. Tentu saja anggaran untuk pengerjaan ini sudah dibahas dengan DPR, dan disetujui tahun 2019. Aneh saja kalau sekarang ada anggota DPR atau parpol di DPR yang mengkritiknya. Lah dulu saat dibahas, kenapa tak ditolak, bahkan mereka tidak ada mempermasalahkan sedikitpun kala itu?" tutur Arteria.
Kedua, dia melanjutkan, harus dipahami bahwa pengerjaan pengecatan itu dilakukan oleh kontraktor yang dibayar pemerintah. Menurutnya, kontraktor ini memperkerjakan warga negara Indonesia juga. Artinya, negara justru menggerakkan perekonomian rakyat lewat pekerjaan pengecatan pesawat itu.
"Anggaran negara itu merupakan satu cara untuk menggerakkan perekonomian. Justru di saat pandemi dimana perekonomian susah, sangat baik ketika negara menggerakkan ekonomi masyarakat lewat anggaran yang riil begini," terangnya.
Ketiga, kata Arteria, jika ada pihak yang mengkritik bahkan memprovokasi bahwa seharusnya anggaran pengecatan ini untuk membeli beras untuk rakyat, justru patut dipertanyakan pengetahuan yang bersangkutan. Sebab pemerintah sudah mengalokasikan anggaran untuk hal itu. Diketahui bahwa biaya penanganan COVID-19 tahun 2021 sudah ditingkatkan dari Rp699,4 triliun menjadi Rp744,75 triliun.
Untuk bantuan sosial sendiri, sambung dia, total anggaran disiapkan mencapai Rp187,84 triliun. Digunakan untuk berbagai bantuan dari yang sifatnya tunai hingga bantuan beras Bulog premium kepada 28,8 juta keluarga. Untuk anggarannya sendiri berasal dari realokasi anggaran kementerian dan lembaga. Dalam hal ini, Setneg juga sudah ikut mengetatkan pinggang dan merealokasi anggaran demi memperkuat anggaran COVID-19.
"Jadi dana COVID-19 sudah disiapkan oleh Pemerintah dan tak diganggu. Terkecuali dana covid tak disiapkan, bolehlah ada yang marah-marah," papar Arteria.
Menurut Arteria, masyarakat justru harus waspada jangan sampai terjerat dengan logika yang dibangun pihak tertentu yang tak bisa menerima warna bendera partainya tak lagi identik dengan warna pesawat kepresidenan yang lama. Padahal, justru warna pesawat kepresidenan saat ini, merah putih, adalah perwujudan simbol negara sesuai warna bendera nasional Indonesia.
"Mari berhati-hati dengan yang post power syndrome. Mungkin saja ini nanti jadinya post colour syndrome hanya karena tak bisa menerima bahwa warna pesawat kepresidenan tak lagi sama dengan warna bendera partainya," tukasnya.
Selain itu, dia menambahkan kepada pihak-pihak tertentu ia mengingatkan bahwa rakyat menghargai kerja, bukan tampilan pencitraan dan warna. Lebih baik saat ini semha ikut prihatin, membangun kesetiakawanan sosial dan gotong royong, kerja langsung, turun ke rakyat untuk membantu di tengah pandemi COVID-19 yang membuat situasi hidup rakyat sulit.
"Kalau kami kan sudah buktikan bahwa tiga pilar partai, baik yang berada di eksekutif, legislatif dan struktur partai untuk turun langsung ke bawah. Jadi tahu betul apa yang pemerintah sedang kerjakan, apa yang rakyat rasakan. Saran saya, kalau tak mau kerja, minimal jangan membuat situasi keruh dan melakukan sesuatu yang justru menurunkan optimisme rakyat menghadapi pandemi ini. Saya pastikan cara-cara populis dengan mengatasnamakan rakyat yang dilakukan oleh mereka tidak akan efektif, justru akan kontra produktif," pungkas Arteria.
Lihat Juga: Jokowi Tunjuk Herindra Jadi Kepala BIN, Istana: Sudah Didiskusikan dengan Presiden Terpilih
(kri)