Terkait New Normal, KSPI Minta Ada Pengaturan Masuk Kerja Secara Bergilir

Kamis, 28 Mei 2020 - 12:27 WIB
loading...
Terkait New Normal, KSPI Minta Ada Pengaturan Masuk Kerja Secara Bergilir
Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan istilah kenormalan baru (New Normal) membingungkan buruh dan masyarakat kecil Indonesia. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan istilah kenormalan baru (New Normal) membingungkan buruh dan masyarakat kecil Indonesia. Alasannya, jika diberikan sedikit kelonggaran akan semakin banyak yang dikerjakan masyarakat.

Hal tersebut dikhawatirkan akan meningkatkan kembali jumlah masyarakat yang terpapar COVID-19 . “Saat ini saja ketika masih diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) banyak yang tidak patuh. Apalagi jika diberikan kebebasan,” ujar Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (28/5/2020). (Baca juga: Pemerintah Benahi Dulu Masalah Dasar Penanganan COVID-19 Sebelum Bicara New Normal)

Said mengatakan sebaiknya pemerintah tidak mengunakan istilah kenormalan baru. Dia menyarankan tetap menggunakan istilah phisycal distancing yang terukur. KSPI menilai hal tersebut akan berimplikasi langsung pada penerapan di lingkungan kerja.

KSPI meminta adanya pengaturan masuk kerja secara bergilir. Itu untuk mengurangi keramaian di tempat kerja. Dengan jumlah orang yang keluar rumah dibatasi atau berkurang, phisycal distancing akan lebih mudah dijalankan.

“Inilah yang terukur. Disamping penyebaran pandemi COVID-19 bisa ditekan, ekonomi bisa tetap bergerak dan tumbuh,” ucapnya.

Ada lima alasan KSPI menyebut istilah kenormalan baru tidak tepat. Pertama, jumlah orang yang positif COVID-19 terus meningkat. Bahkan, pertambahan orang yang positif COVID-19 setiap harinya mencapai ratusan orang.

Kedua, sejumlah buruh yang tetap bekerja ada yang terpapar COVID-19. Itu terjadi di PT Denso Indonesia, Yamaha Music, Sampoerna, dan PEMI Tangerang. Beberapa buruh dilaporkan ada yang meninggal, berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP).

Ketiga, saat ini banyak pabrik yang merumahkan dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat bahan baku materi impor semakin menipis. Bahkan ada yang sudah tidak ada. Menurut Said, industri tekstil, otomotif, elektronik, dan farmasi, bahan bakunya sudah semakin menipis. Sementara itu, ekspor bahan baku di sektor pertambangan pun menurun.

“Fakta ini menjelaskan, new normal tidak akan efektif. Percuma saja menyuruh pekerja untuk kembali masuk ke pabrik. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan, akibat tidak adanya bahan baku,” tuturnya.

Keempat, sudah terjadi PHK besar-besaran di industri pariwisata, usaha mikro kecil dan menengah, dan transportasi daring mengalami sepi order. Menurut KSPI, sekarang ada ancaman PHk terhadap ratusan ribu buru di industri manufaktur.

Said menegaskan dalam situasi seperti ini yang dibutuhkan bukan kenormalan baru. Akan tetapi, solusi untuk menghentikan PHK. Pemerintah seharusnya memaksimalkan pemberian batuan langsung tunai (BLT) dan subsidi upah.

“Bukan meminta bekerja kembali di tengah pandemi yang mengancam hilangnya nyawa. Lagipula, bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan, akan kembali bekerja di mana?” tanya Said.

Kelima, Said mengungkapkan tanpa kenormalan baru pun sebenarnya banyak perusahaan yang masih meminta buruh untuk tetap bekerja. Maka, yang dibutuhkan bukan kenormalan baru tapi regulasi dan strategi untuk memastikan bahan baku impor bisa masuk dan selalu tersedia. (Baca juga: Mardani Ali Sera: Wajar Masyarakat Tidak Puas dengan Penanganan COVID-19)

“Di sisi lain penting untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar. Karena sebagian perusahaan meliburkan karyawan atau melakukan PHK akibat profit perusahaan menipis bahkan negatif. Hal itu akibat mereka harus membeli bahan baku dari impor dengan harga dolar dan menjual dengan rupiah yang sudah terpuruk,” pungkasnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1689 seconds (0.1#10.140)