BPK Temukan 16 Masalah Program Bela Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan 16 permasalahan saat pelaksanaan program/kegiatan Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) di Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan instansi terkait.
Fakta ini terungkap setelah BPK merampungkan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas kegiatan Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) periode tahun anggaran 2015-semester I 2019 di Kemhan dan instansi terkait. Hasil pemeriksaan berupa temuan, 16 permasalahan, dan rekomendasi yang diberikan BPK juga telah dituangkan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II BPK, yang diterbitkan BPK pada Maret 2021.
Pelaksanaan program PKBN didasarkan pada Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pedoman Pembinaan Kesadaran Bela Negara. Permenhan Nomor 32 Tahun 2016 disusun dengan mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2015-2019.
Dalam UU itu diamanatkan bahwa upaya bela negara diselenggarakan melalui empat cara. Masing-masing yaitu pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi.
"Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa kegiatan PKBN TA 2015-semester I 2019 tidak sepenuhnya dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku," tulis BPK dalam dokumen IHPS II 2020, sebagaimana dikutip KORAN SINDO, di Jakarta, Senin (12/7/2021).
BPK menemukan ada 16 permasalahan yang dirumuskan menjadi tiga permasalahan signifikan. Pertama, Permenhan Nomor 32 Tahun 2016 belum mengatur definisi kader bela negara dan kemampuan awal bela negara serta jenis pendidikan secara jelas. Selain itu, pelaksanaan Permenhan Nomor 32 Tahun 2016 belum memadai. Antara lain mencakup empat hal. Satu, Kemhan belum membangun kesepahaman antar-kementerian, lembaga pemerintah, pemerintah daerah, TNI, Polri, dan komponen bangsa lainnya dalam membentuk karakter bangsa melalui penyelenggaraan PKBN secara terpadu dan bersinergi. Dua, standar dan prosedur penyelenggaraan PKBN belum disusun.
Tiga, jumlah kader bela negara belum mencapai sasaran operasionalisasi PKBN pada lima tahun pertama (2015-2019) yaitu 40 % dari jumlah penduduk dan tidak seluruhnya memiliki database yang lengkap. Empat, kegiatan pembentukan kader bela negara Direktorat Bela Negara tidak mengacu pada Permenhan Nomor 32 Tahun 2016. "Hal ini mengakibatkan ketidakseragaman dalam pelaksanaan PKBN di antara satker kementerian/lembaga penyelenggara PKBN dan kualitas kader bela negara hasil kegiatan PKBN tidak terstandarisasi," ungkap BPK.
Atas permasalahan ini, BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Pertahanan agar berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk menyusun rancangan peraturan pemerintah terkait dengan penyelenggaran PKBN dan peraturan presiden mengenai kebijakan PKBN.
Kedua, pada kegiatan penyebarluasan nilai-nilai bela negara tahun anggaran (TA) 2017 dan 2018, terdapat kelebihan pembayaran atas pekerjaan cetak, izin, dan distribusi billboard pada lokasi strategis di Jakarta dan Bandung, indikasi pemahalan harga atas item biaya penyiaran (blocking TV commercial), serta denda keterlambatan belum ditarik atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemutaran film bela negara. "Sebagai akibatnya terjadi indikasi kerugian negara dari kelebihan pembayaran dan pemahalan harga, serta kekurangan penerimaan dari denda keterlambatan, seluruhnya sebesar Rp876,90 juta," ujar BPK.
Untuk permasalahan ini, BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Pertahanan agar memerintahkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk mempertanggung jawabkan kelebihan pembayaran dan kekurangan penerimaan negara tersebut dengan menagih ke rekanan dan menyetorkannya ke kas negara.
Ketiga, hasil perbandingan harga atas pengadaan perlengkapan perorangan lapangan (kaporlap) pada Direktorat Bela Negara dan Pusdiklat Bela Negara menunjukkan terdapat indikasi kemahalan harga pengadaan kaporlap sebesar Rp1,65 miliar. Akibatnya, terjadi pemborosan harga dari kemahalan harga kaporlap sebesar Rp1,65 miliar.
Untuk permasalahan tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Pertahanan agar memerintahkan kuasa pengguna anggaran (KPA) untuk lebih optimal dalam mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan pengadaan, serta memperingatkan PPK, Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan, dan Kasubag Tata Usaha agar dalam melaksanakan pengadaan mematuhi ketentuan yang berlaku.
"Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas kegiatan PKBN mengungkapkan 9 temuan yang memuat 16 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 5 kelemahan sistem pengendalian intern, 9 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp1,68 miliar, dan 2 permasalahan 3E sebesar Rp1,65 miliar," tegas BPK.
Fakta ini terungkap setelah BPK merampungkan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) atas kegiatan Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) periode tahun anggaran 2015-semester I 2019 di Kemhan dan instansi terkait. Hasil pemeriksaan berupa temuan, 16 permasalahan, dan rekomendasi yang diberikan BPK juga telah dituangkan BPK dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II BPK, yang diterbitkan BPK pada Maret 2021.
Pelaksanaan program PKBN didasarkan pada Peraturan Menteri Pertahanan (Permenhan) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pedoman Pembinaan Kesadaran Bela Negara. Permenhan Nomor 32 Tahun 2016 disusun dengan mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2015-2019.
Dalam UU itu diamanatkan bahwa upaya bela negara diselenggarakan melalui empat cara. Masing-masing yaitu pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi.
"Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa kegiatan PKBN TA 2015-semester I 2019 tidak sepenuhnya dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku," tulis BPK dalam dokumen IHPS II 2020, sebagaimana dikutip KORAN SINDO, di Jakarta, Senin (12/7/2021).
BPK menemukan ada 16 permasalahan yang dirumuskan menjadi tiga permasalahan signifikan. Pertama, Permenhan Nomor 32 Tahun 2016 belum mengatur definisi kader bela negara dan kemampuan awal bela negara serta jenis pendidikan secara jelas. Selain itu, pelaksanaan Permenhan Nomor 32 Tahun 2016 belum memadai. Antara lain mencakup empat hal. Satu, Kemhan belum membangun kesepahaman antar-kementerian, lembaga pemerintah, pemerintah daerah, TNI, Polri, dan komponen bangsa lainnya dalam membentuk karakter bangsa melalui penyelenggaraan PKBN secara terpadu dan bersinergi. Dua, standar dan prosedur penyelenggaraan PKBN belum disusun.
Tiga, jumlah kader bela negara belum mencapai sasaran operasionalisasi PKBN pada lima tahun pertama (2015-2019) yaitu 40 % dari jumlah penduduk dan tidak seluruhnya memiliki database yang lengkap. Empat, kegiatan pembentukan kader bela negara Direktorat Bela Negara tidak mengacu pada Permenhan Nomor 32 Tahun 2016. "Hal ini mengakibatkan ketidakseragaman dalam pelaksanaan PKBN di antara satker kementerian/lembaga penyelenggara PKBN dan kualitas kader bela negara hasil kegiatan PKBN tidak terstandarisasi," ungkap BPK.
Atas permasalahan ini, BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Pertahanan agar berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk menyusun rancangan peraturan pemerintah terkait dengan penyelenggaran PKBN dan peraturan presiden mengenai kebijakan PKBN.
Kedua, pada kegiatan penyebarluasan nilai-nilai bela negara tahun anggaran (TA) 2017 dan 2018, terdapat kelebihan pembayaran atas pekerjaan cetak, izin, dan distribusi billboard pada lokasi strategis di Jakarta dan Bandung, indikasi pemahalan harga atas item biaya penyiaran (blocking TV commercial), serta denda keterlambatan belum ditarik atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemutaran film bela negara. "Sebagai akibatnya terjadi indikasi kerugian negara dari kelebihan pembayaran dan pemahalan harga, serta kekurangan penerimaan dari denda keterlambatan, seluruhnya sebesar Rp876,90 juta," ujar BPK.
Untuk permasalahan ini, BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Pertahanan agar memerintahkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk mempertanggung jawabkan kelebihan pembayaran dan kekurangan penerimaan negara tersebut dengan menagih ke rekanan dan menyetorkannya ke kas negara.
Ketiga, hasil perbandingan harga atas pengadaan perlengkapan perorangan lapangan (kaporlap) pada Direktorat Bela Negara dan Pusdiklat Bela Negara menunjukkan terdapat indikasi kemahalan harga pengadaan kaporlap sebesar Rp1,65 miliar. Akibatnya, terjadi pemborosan harga dari kemahalan harga kaporlap sebesar Rp1,65 miliar.
Untuk permasalahan tersebut, BPK telah merekomendasikan kepada Menteri Pertahanan agar memerintahkan kuasa pengguna anggaran (KPA) untuk lebih optimal dalam mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan pengadaan, serta memperingatkan PPK, Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan, dan Kasubag Tata Usaha agar dalam melaksanakan pengadaan mematuhi ketentuan yang berlaku.
"Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas kegiatan PKBN mengungkapkan 9 temuan yang memuat 16 permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi 5 kelemahan sistem pengendalian intern, 9 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp1,68 miliar, dan 2 permasalahan 3E sebesar Rp1,65 miliar," tegas BPK.
(cip)