Satu Tahun Jadi Jubir Covid-19, Reisa Broto Asmoro: Ini Bukan Tentang Angka

Selasa, 15 Juni 2021 - 15:52 WIB
loading...
Satu Tahun Jadi Jubir Covid-19, Reisa Broto Asmoro: Ini Bukan Tentang Angka
Satu tahun bertugas sebagai jubir Covid-19, dr Reisa Broto Asmoro mengungkap kisah inspiratif di balik pandemi yang bukan hanya tentang angka.
A A A
JAKARTA - Sosok dr Reisa Broto Asmoro memang tak asing lagi di mata publik. Terlebih, semenjak dirinya ditunjuk menjadi Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 dan Duta Adaptasi Kebiasaan Baru.

Kini, sudah menginjak satu tahun sejak dirinya ditugaskan kala itu. Reisa mengaku banyak belajar dari beragam kisah yang dialami masyarakat terkait Covid-19 ini.

"Satu tahun berlalu. Dua belas bulan, 366 hari sudah saya bertugas sebagai juru bicara Covid-19. Saya belajar bahwa setiap orang punya cerita yang berbeda dalam bersinggungan dengan Covid-19," ujarnya dalam keterangan tertulis KPCPEN, Selasa (15/6/2021).

Menurutnya, ada banyak masa berduka, bahkan banyak orang memiliki kisah lebih sedih dari yang dirinya alami. Meski sekilas tampak tidak ada yang baik tentang pandemi ini, Reisa mengaku tetap bersyukur kepada Tuhan karena telah mampu melewati satu tahun yang menurutnya, tidaklah mudah.

"Tetapi jujur saja, jika waktu boleh diulang, saya lebih suka menghindari pandemi. Saya lebih memilih mencari cara mencegahnya terjadi," katanya.

Pandemi ini, lanjut Reisa, telah masuk ke semua sendi kehidupan masyarakat secara dramatis. Mengubah hidup secara drastis, memberikan tantangan baru yang sebelumnya tidak pernah diperkirakan.

Namun, masyarakat dan pemerintah tetap harus bersama-sama mencari jawabannya. Wabah ini telah merenggut para dokter, perawat, dan puluhan tenaga kesehatan terbaik kita yang berjuang tanpa lelah di garis depan untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

Ratusan dari tenaga kesehatan telah gugur. Bahkan, sebagian adalah kolega dan guru Reisa sesama dokter. Dia mengaku, merasakan kehilangan yang luar biasa yang sampai saat ini masih dirasakannya.

Gugurnya para pejuang ini, menurut Reisa adalah kerugian negara. Sebab dalam rangka menjadi dokter, di Indonesia, seseorang harus menghabiskan setidaknya enam tahun belajar.

Hal ini belum termasuk serangkaian pendidikan spesialis, pascasarjana, berbagai kursus, dan pemenuhan kualifikasi akademik lainnya yang harus mereka lalui untuk dapat disebut ahli di bidangnya. Mencetak dokter-dokter berikutnya bukanlah perjalanan singkat.

Oleh karena itu, di pekan yang menjadi tahun pertama pengabdiannya sebagai Juru Bicara Penanganan dan Vaksinasi Covid-19 untuk pemerintah ini, Reisa ingin menyegarkan ingatan mengenai perjalanan yang menempatkannya di tempat ini, bermula dari dua kasus positif ibu dan anak, tahun lalu di Depok.

Kasus pertama dan kedua Covid-19 di Indonesia ini memicu perdebatan tentang bagaimana masyarakat harus menanggapi kejujuran dan keberanian orang yang secara terbuka menyatakan status kesehatan mereka. Covid-19 telah mengubah hidup masyarakat, terutama bagaimana privasi mereka direnggut demi konten media sosial yang sensasional.

Namun, stigmatisasi terhadap pasien Covid-19 tidak berumur lama. "Hari ini, kita malah melihat banyak orang malah saling membantu dan mendukung tetangga mereka. Bahkan, menyemangati orang-orang yang mereka tidak kenal sebelumnya, yang sedang melalui masa isolasi untuk sembuh dari infeksi," tutur Reisa.

Saat ini, telah banyak inisiatif berdasarkan solidaritas tinggi yang menulari berbagai kelompok di seluruh Indonesia. Mereka saling membantu dengan orang lain yang bukan hanya pasien Covid-19, tetapi juga mereka yang terkena dampak krisis ekonomi.

Inisiatif'Desa Tangguh dan Jogo Tonggo'adalah contoh hal baik yang menular. Gerakan yang secara harfiah berarti 'menjaga tetangga Anda' ini merupakan inspirasi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berskala Mikro (PPKM Mikro)

Meski dengan sebutan yang bervariasi di 34 provinsi, tapi semangat yang sama untuk saling peduli dan mengawasi, atau bahkan saling merawat anggota masyarakat membutuhkan telah meluas di seluruh pelosok negeri. Tentunya, pemerintah terus mencari cara untuk mencegah lebih banyak kematian dan memastikan masyarakat semakin aman dari ancaman virus Corona ini.

Kapasitas pengujian sampel (testing) telah meningkat dari 10 ribu menjadi lebih dari 50.000 sampel setiap hari. Jumlah laboratorium telah berkembang menjadi sekitar 800 laboratorium di seluruh negeri.

"Ini adalah komitmen meningkatkan 3T (Testing,Tracing and Treatment) atau tes, telusur dan terapi yang ditekankan Presiden Joko Widodo sejak awal pandemi," ucapnya.

Peningkatan ini dimungkinkan dengan dukungan dari puluhan ributracersatau petugas pelacak kasus yang merupakan gabungan dari tenaga Kesehatan, dan polisi dan prajurit TNI. Ribuan relawan juga direkrut dan dilatih untuk mendukungtracing, dan berbagai tugas yang biasa diemban tenaga kesehatan.

Mereka bertugas mulai dari penyedia layanan kesehatan tingkat terendah, seperti puskesmas sampai dengan di rumah-rumah sakit rujukan. Pandemi telah mengambil alih hampir 90 persen dari layanan yang disediakan oleh fasilitas kesehatan tingkat mana pun.

Bahkan, laporan terbaru menunjukkan bahwa penanganan pandemi menambah sekitar 40 persen beban kerja dan jam operasional puskesmas di seluruh Indonesia. Setelah pemerintah mengamati arus mudik dan arus balik, rumah sakit kembali diminta untuk meningkatkan kapasitas mereka dengan menambah jumlah bangsal isolasi dan tempat tidur di ruang gawat darurat mereka.

Sejak Januari 2021, pemerintah memiliki hampir 1.000 rumah sakit rujukan, angka ini 10 kali lebih banyak daripada kondisi di fase awal pandemi. Selain rumah sakit, Kementerian Kesehatan telah menambah lebih dari 8500 tenaga kesehatan untuk memperkuat pelayan Kesehatan saat ini.

"Pasukan tambahan ini terdiri dari dokter umum, spesialis, perawat dan staf pendukung lainnya. Itulah sebagian dari statistik, serta angka-angka yang bisa berubah dalam semalam," kata Reisa.

Namun, perlu diingat bahwa pandemi tidak hanya mempengaruhi mereka yang tertular. Mereka yang berdiam diri di rumah, rajin memakai masker dan cuci tangan pakai sabun sesuai anjuran juga tetap terdampak.

Kesulitan ekonomi melanda keluarga Indonesia, ditambah dengan tantangan psikologis baru membantu anak-anak belajar online sambil bekerja secara daring. Tentunya, dengan segala keterbatasan akses ke sekolah, serta perubahan pola perilaku hidup, termasuk berubahnya pola asupan gizi.

Anak-anak dan populasi rentan lainnya, lanjut Reisa, juga dihadapkan dengan risiko kesehatan lainnya di luar Covid-19. Sebelum pandemi, banyak rumah tangga Indonesia mampu membeli cukup protein dan nutrisi penting lainnya untuk anak-anak mereka.

Tak sedikit orang tua yang menjadi sumber nafkah utama keluarga. Namun, saat para orang tua harus tinggal di rumah sementara atau gajinya dipotong karena kehadiran di tempat kerja lebih sedikit, menu harian yang tersedia setiap waktu di masa lalu, tampaknya menjadi kemewahan pada saat ini.

Terlebih, puskesmas yang kini harus menyesuaikan jam operasional dan beban pekerjaannya, membuat cakupan program imunisasi dasar rutin dengan tambahan asupan gizi untuk bayi baru lahir dan balita melorot drastis. Kondisi tersebut dapat menimbulkan masalah kesehatan di kemudian hari.

Rumah sakit pun banyak dihindari karena orang tua takut mendekati fasilitas tempat penderita Covid-19 dirawat. Banyak anak Indonesia yang tingkat kesehatannya saat ini tidak terpantau dengan baik.

"Maka, risiko peningkatan kasus anak dengan gizi buruk, stunting dan masalah kesehatan mental akan bermunculan apabila kita biarkan. Kabar baiknya adalah orang Indonesia terbukti tangguh dalam menghadapi krisis," ucapnya.

Mereka tidak akan membiarkan pemerintah untuk bekerja sendiri. Sebab gotong-royong antar individu dan komunitas adalah senjata rahasia di balik upaya mengatasi pandemi di negeri ini.

Reisa pun mengisahkan beberapa kisah yang terjadi selama pandemi dan seringkali membuat takjub. Salah satunya, seorang siswa sekolah perawat yang mengajukan diri sebagai anggota tim 'Cobra' di Wisma Atlet.

Kemudian, seorangstand-up comicatau komedian yang menggunakan ponselnya untuk membuat para penontonnya tertawa terpingkal-pingkal di rumah atau fasilitas karantina pemerintah saat menjalani isolasi atau perawatan. Tak lupa, seorang warga Surabaya bernama Ika Dewi Maharani yang menjadi supir ambulans perempuan pertama yang mengantar pasien ke Wisma Atlet.

Selain itu, sebuah kisah luar biasa telah diceritakan Reisa tentang dr Andani Eka Putra, seorang Kepala Penelitian Penyakit Menular dan Diagnostik Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.

Didorong oleh mimpi untuk melihat negara dan rakyatnya aman dari pandemi ini, dr Andani menggunakan tabungan pribadinya sebesar Rp850 juta untuk membangun laboratorium pengujian sampel Covid-19. Dia membuka pintu labnya dan menyediakan pengujian sampel secara gratis.

Hingga akhirnya memasuki bulan keenam sejak program vaksinasi digulirkan, masyarakat Indonesia mengantri di pos dan sentra vaksinasi. Tidak hanya mengantri untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mendampingi lansia, guru, dan tokoh agama divaksinasi. Moda transportasi mobil, bus, ojek online, dan bahkan becak, digunakan untuk mengangkut lansia menemui petugas vaksinasi.

"Beginilah cara orang Indonesia mempersonifikasikan ungkapan, 'no one is safe until everyone is safe' (tidak ada yang aman sampai semua orang aman)," ucap Reisa.

Meski begitu, menurutnya, masyarakat Indonesia adalah salah satu yang beruntung. Sebab lebih dari 90 juta dosis Coronavac dari Sinovac, AstraZeneca dari Covax dan Sinopharm telah mendarat di bandara Soekarno Hatta dan sudah disuntikkan ke lebih dari dua puluh juta orang Indonesia.

Bahkan, berbagai perguruan tinggi berkomitmen mengembangkan Vaksin Merah Putih dalam rangka menguatkan kemandirian. Para ilmuwan dari Lembaga Molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Padjajaran kini tengah berlomba mengembangkan vaksin produksi Indonesia.

"Pandemi mungkin sedikit melemahkan kita, tetapi juga telah menunjukkan resiliensi dan ketangguhan kita. Itulah hikmah dari serangkaian kegiatan komunikasi saya kepada publik sebagai jubir," tuturnya.

Menurut mantan Puteri Indonesia Lingkungan ini, bukan angka dan statistiklah yang paling penting. Melainkan orang-orang serta kisah ketangguhan manusia Indonesia adalah hal yang paling utama. "Tetap tangguh Indonesia. Salam sehat dari saya," ujar Reisa. (CM)
(ars)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.9045 seconds (0.1#10.140)