Dinilai Tak Logis, Yusril Bakal Gugat Putusan MK Soal Verifikasi Parpol
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra menilai putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) terkait verifikasi partai politik (Parpol) dalam kepesertaan pemilu setidaknya telah mengkotak-kotakkan partai politik menjadi tiga kategori.
"Kategori pertama, yaitu partai politik yang sudah melakukan verifikasi dan pernah ikut dalam pemilu serta telah lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Sedangkan kategori kedua, partai politik yang pernah ikut pemilu, sudah melakukan verifikasi namun belum lolos ambang batas parleman (parliamentary threshold). Kategori ketiga, yakni partai politik baru yang belum pernah ikut pemilu dan belum melakukan verifikasi sama sekali" jelas Yusril.
Hal itu disampaikannya dalam serial diskusi dengan tajuk “Putusan MK Verifikasi Parpol: Menapuk Air di Dulang Terpercik Muka Sendiri” yang diselenggarakan oleh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) melalui Zoom dan disiarkan juga di kanal YouTube JIB Post, Selasa 1 Juni 2021. Narasumber yang hadir dalam diskusi itu, yakni Direktur Ekekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, Jaringan Intelektual Berkemajuan Titi Anggraini, dan dimoderatori oleh JIB-JPPR Nurlia Dian Paramita.
Yusril menilai putusan MK tersebut tidak logis sama sekali. Sebab, jika ada tiga kategori partai politik, maka setiap kategori harus diperlakukan secara berbeda-beda pula. “Kategori satu dilakukan sendiri sedangkan kategori dua dan tiga dilakukan sama. Di sini logikanya jadi tidak nyambung. Kalau ada tiga kategori, perlakuannya juga harus berbeda ketiga-tiganya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Yusril menjelaskan seharusnya parpol kategori pertama tidak perlu melakukan verifikasi, baik itu secara faktual maupun administrasi. Terhadap parpol kategori kedua, cukup melakukan verifikasi administrasi saja. Dan bagi parpol kategori ketiga harus melakukan verifikasi, baik itu faktual ataupun administrasinya.
Selain itu, Yusril juga menyoroti putusan MK yang tentu saja kemudian menjadi semacam norma baru atau menciptakan yang baru. Padahal menciptakan yang baru itu kewenangan Presiden dan DPR, membuat undang-undang. “Sekarang ini lahir norma hukum setara dengan undang-undang itu justru dibuat oleh MK seperti norma baru yang lahir dari pasal 173 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD ’45, lalu kecuali ditafsirkan seperti ini,” sambung Yusril.
Adapun soal permasalahan ini, Yusril dalam waktu dekat akan membahasnya bersama partai-partai lain, utamanya yang belum lolos ambang batas parlemen serta akan berupaya untuk melakukan uji materi ulang ke Mahkamah Konstitusi. “Nanti saya akan bicara pada partai-partai politik dalam waktu dekat ini, utamanya partai-partai yang tidak lolos threshold… sekali lagi saya akan menguji itu ke Mahkamah Konstitusi, mudah-mudahan, ya ada perubahan,” ungkapnya.
Dia juga mengungkapkan, dalam soal ini jangan cuma diskusi saja namun perlu juga melakukan action untuk menguji kembali putusan MK soal ini. Kekacauan berpikir dalam putusan-putusan MK ini perlu diperbaiki. "Nanti saya akan bicara dengan partai-partai dalam waktu dekat terutama yang tidak lolos PT. Di UUD 45 tidak ada berisi penyederhaan parpol. Saya akan berpikir untuk menguji ke MK. Kalau tidak kita akan begini-begini terus" pungkas Yusril.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti sepakat dengan Yusril Ihza Mahendra. Ray menilai putusan MK yang membebaskan parpol parlemen untuk tidak perlu melakukan verifikasi faktual akan berujung pada oligarki partai politik. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membiarkan partai politik tidak melakukan verifikasi faktual dinilainya menciderai rasa keadilan.
“Pada ujungnya, aturan yang membebaskan partai politik lama, dalam hal ini adalah partai politik yang ikut dalam parlemen tidak diverifikasi faktual akan berujung kepada oligarki partai politik. Kekuasaan ini hanya dikuasai oleh mereka saja, dibuat aturannya oleh mereka saja, untuk memang menyenangkan mereka saja. Bukan untuk dalam rangka apa yang kita sebut kesetaraan, keadilan, kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan pemilu,” beber Ray
Lihat Juga: Bung Tomo dan Gebrakan Politik Usia 17 Tahun di Parindra Antarkan Tokoh Muda ke Parlemen Belanda
"Kategori pertama, yaitu partai politik yang sudah melakukan verifikasi dan pernah ikut dalam pemilu serta telah lolos ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Sedangkan kategori kedua, partai politik yang pernah ikut pemilu, sudah melakukan verifikasi namun belum lolos ambang batas parleman (parliamentary threshold). Kategori ketiga, yakni partai politik baru yang belum pernah ikut pemilu dan belum melakukan verifikasi sama sekali" jelas Yusril.
Hal itu disampaikannya dalam serial diskusi dengan tajuk “Putusan MK Verifikasi Parpol: Menapuk Air di Dulang Terpercik Muka Sendiri” yang diselenggarakan oleh Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) melalui Zoom dan disiarkan juga di kanal YouTube JIB Post, Selasa 1 Juni 2021. Narasumber yang hadir dalam diskusi itu, yakni Direktur Ekekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, Jaringan Intelektual Berkemajuan Titi Anggraini, dan dimoderatori oleh JIB-JPPR Nurlia Dian Paramita.
Yusril menilai putusan MK tersebut tidak logis sama sekali. Sebab, jika ada tiga kategori partai politik, maka setiap kategori harus diperlakukan secara berbeda-beda pula. “Kategori satu dilakukan sendiri sedangkan kategori dua dan tiga dilakukan sama. Di sini logikanya jadi tidak nyambung. Kalau ada tiga kategori, perlakuannya juga harus berbeda ketiga-tiganya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Yusril menjelaskan seharusnya parpol kategori pertama tidak perlu melakukan verifikasi, baik itu secara faktual maupun administrasi. Terhadap parpol kategori kedua, cukup melakukan verifikasi administrasi saja. Dan bagi parpol kategori ketiga harus melakukan verifikasi, baik itu faktual ataupun administrasinya.
Selain itu, Yusril juga menyoroti putusan MK yang tentu saja kemudian menjadi semacam norma baru atau menciptakan yang baru. Padahal menciptakan yang baru itu kewenangan Presiden dan DPR, membuat undang-undang. “Sekarang ini lahir norma hukum setara dengan undang-undang itu justru dibuat oleh MK seperti norma baru yang lahir dari pasal 173 yang dinyatakan bertentangan dengan UUD ’45, lalu kecuali ditafsirkan seperti ini,” sambung Yusril.
Adapun soal permasalahan ini, Yusril dalam waktu dekat akan membahasnya bersama partai-partai lain, utamanya yang belum lolos ambang batas parlemen serta akan berupaya untuk melakukan uji materi ulang ke Mahkamah Konstitusi. “Nanti saya akan bicara pada partai-partai politik dalam waktu dekat ini, utamanya partai-partai yang tidak lolos threshold… sekali lagi saya akan menguji itu ke Mahkamah Konstitusi, mudah-mudahan, ya ada perubahan,” ungkapnya.
Dia juga mengungkapkan, dalam soal ini jangan cuma diskusi saja namun perlu juga melakukan action untuk menguji kembali putusan MK soal ini. Kekacauan berpikir dalam putusan-putusan MK ini perlu diperbaiki. "Nanti saya akan bicara dengan partai-partai dalam waktu dekat terutama yang tidak lolos PT. Di UUD 45 tidak ada berisi penyederhaan parpol. Saya akan berpikir untuk menguji ke MK. Kalau tidak kita akan begini-begini terus" pungkas Yusril.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti sepakat dengan Yusril Ihza Mahendra. Ray menilai putusan MK yang membebaskan parpol parlemen untuk tidak perlu melakukan verifikasi faktual akan berujung pada oligarki partai politik. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membiarkan partai politik tidak melakukan verifikasi faktual dinilainya menciderai rasa keadilan.
“Pada ujungnya, aturan yang membebaskan partai politik lama, dalam hal ini adalah partai politik yang ikut dalam parlemen tidak diverifikasi faktual akan berujung kepada oligarki partai politik. Kekuasaan ini hanya dikuasai oleh mereka saja, dibuat aturannya oleh mereka saja, untuk memang menyenangkan mereka saja. Bukan untuk dalam rangka apa yang kita sebut kesetaraan, keadilan, kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk ikut terlibat dalam pelaksanaan pemilu,” beber Ray
Lihat Juga: Bung Tomo dan Gebrakan Politik Usia 17 Tahun di Parindra Antarkan Tokoh Muda ke Parlemen Belanda
(cip)