Ini Pendapat NU dan Muhammadiyah tentang RUU Larangan Minuman Beralkohol
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU ), PP Muhammadiyah , dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendengarkan masukan ulama terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol). Rapat ini dipimpin oleh Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi.
Dalam pemaparannya, PBNU mendukung agar judul RUU-nya diubah menjadi RUU Pengedalian Minol. Sementara, PP Muhammadiyah belum membahas itu, tapi kemungkinan besar mendukung judul RUU Larangan Minol dan mengingatkan agar RUU ini tidak multitafsir saat disahkan nanti.
"NU lebih mengedepankan tema pengendalian. Kenapa demikian? Karena di dalam Islam yang dipahami oleh NU, Islam itu sendiri tetap menghargai perbedaan pendapat apabila ada salah satu agama atau kepercayaan yang berkembang di Indonesia yang punya keyakinan bahwa minol tidak dihukum haram," kata Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Asnawi Ridwan di Ruang Rapat Baleg DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/5/2021).
Asnawi menjelaskan, minol lebih banyak memiliki dampak negatif ketimbang manfaatnya. Untuk itu, dalam RUU Pengendalian Minol perlu lebih tegas diatur terkait produksi dan peredarannya nanti. Karena, ada data yang menunjukkan betapa besar dampak minol, baik berupa bahaya unsur kesehatan atau bahaya keselamatan jiwa atau gangguan keamanan yang ditimbulkan minol ini.
"Maka PBNU mendorong agar RUU Pengendalian Minol ini bisa lebih tegas dalam mengatasi peredaran miras yang ilegal," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan, PBNU memiliki kekhawatiran di balik pengesahan RUU Pengendalian Minol nanti. Salah satunya adalah adanya payung hukum dalam peredaran dan pemasaraan minol di tengah masyarakat. Kalau tidak selektif dan tidak kritis dengan RUU Minol ini, justru nantinya UU yang dihasilkan akan menjadi payung hukum atas peredara minol yang lebih gencar di masyarakat, sehingga pembahasannya harus detail.
"RUU yang sedang disusun dan dibahas ini, pasal-pasal yang tertuang harus jelas dan tidak ambigu. Kami makanya pada kesempatan ini belum bisa membawa rekomendasi resmi dari PBNU secara tertulis, karena ada beberapa hal beberapa pasal yang perlu kami klarifikasikan," terang Asnawi.
Sementara itu, Ketua Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah Makmun Murod Al Barbasy mengatakan bahwa RUU ini merupakan UU yang memiliki keterkaitan dengan masalah agama. Dia sekaligus ingin memberi masukan bahwa selama ini sudah cukup lelah membahas hal-hal yang berkaitan dan bersinggungan dengan masalah keagamaan, karena berlangsung cukup lama.
"Kita cukup punya pengalaman dulu berapa tahun permbahasan RUU Sisdiksinas, kurang lebih 7 tahun, RUU Pornografi dan Pornoaksi juga cukup lama, dan beberapa pembahasan RUU, Cipta Karya, UU Minerba itu berkaitan dengan unsur agama, pembahasan lolos begitu saja, teriakan tokoh agama, tokoh masyarakat nyaris seperti anjing menggonggong. masukan itu diabaikan begitu saja,” kata Makmun.
Karena itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta ini mengingatkan Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Jadi, apa pun kebijakan yang dibuat negara ini mau tidak mau harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Konsekuensi logisnya semua harus didasarkan pada ketuhanan, apa pun agamanya.
Soal RUU ini, kata dia, sikap PP Muhammadiyah belum final membahas ini, karena RUU-nya pun belum final pembahasan. Namun nampaknya, Muhammadiyah sangat setuju dengan judul RUU Larangan Minol, jadi sangat besar usulan nomenklatur yang digunakan oleh PP Muhammadiyah adalah Larangan.
"Alasannya, ada pertimbangan agama, pertimbangan kesehatan, pertimbangan sosial, pertimbangan terkait masalah keamanan. Meskipun nomenklaturnya menggunakan istilahnya larangan, sesuatu yang wajib tidak boleh ada kemudian mengabaikan. Misalnya ketika perempuan, salat wajib tentu, puasa Ramadhan wajib, tapi ketika sedang menstruasi tentu tidak wajib," paparnya.
Karena itu, Makmun menegaskan bahwa UU ini harus mengatur dengan tegas, misalnya terkait dengan kandungan alkoholnya, tata niaganya seperti apa dan sebagainya. Jangan sampai kekhawatiran yang disampaikan PBNU mengenai peredarannya yang begitu rupa, juga soal siapa yang nanti dibolehkan untuk mengkonsumsi ini harus tegas dan tempat untuk mengkonsumsi minol juga harus tegas. "Ketika bicara UU, bukan perda. Harus tidak ada yang multitafsir saat RUU ini disahkan menjadi UU," tegasnya.
Dalam pemaparannya, PBNU mendukung agar judul RUU-nya diubah menjadi RUU Pengedalian Minol. Sementara, PP Muhammadiyah belum membahas itu, tapi kemungkinan besar mendukung judul RUU Larangan Minol dan mengingatkan agar RUU ini tidak multitafsir saat disahkan nanti.
"NU lebih mengedepankan tema pengendalian. Kenapa demikian? Karena di dalam Islam yang dipahami oleh NU, Islam itu sendiri tetap menghargai perbedaan pendapat apabila ada salah satu agama atau kepercayaan yang berkembang di Indonesia yang punya keyakinan bahwa minol tidak dihukum haram," kata Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU Asnawi Ridwan di Ruang Rapat Baleg DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/5/2021).
Asnawi menjelaskan, minol lebih banyak memiliki dampak negatif ketimbang manfaatnya. Untuk itu, dalam RUU Pengendalian Minol perlu lebih tegas diatur terkait produksi dan peredarannya nanti. Karena, ada data yang menunjukkan betapa besar dampak minol, baik berupa bahaya unsur kesehatan atau bahaya keselamatan jiwa atau gangguan keamanan yang ditimbulkan minol ini.
"Maka PBNU mendorong agar RUU Pengendalian Minol ini bisa lebih tegas dalam mengatasi peredaran miras yang ilegal," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan, PBNU memiliki kekhawatiran di balik pengesahan RUU Pengendalian Minol nanti. Salah satunya adalah adanya payung hukum dalam peredaran dan pemasaraan minol di tengah masyarakat. Kalau tidak selektif dan tidak kritis dengan RUU Minol ini, justru nantinya UU yang dihasilkan akan menjadi payung hukum atas peredara minol yang lebih gencar di masyarakat, sehingga pembahasannya harus detail.
"RUU yang sedang disusun dan dibahas ini, pasal-pasal yang tertuang harus jelas dan tidak ambigu. Kami makanya pada kesempatan ini belum bisa membawa rekomendasi resmi dari PBNU secara tertulis, karena ada beberapa hal beberapa pasal yang perlu kami klarifikasikan," terang Asnawi.
Sementara itu, Ketua Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah Makmun Murod Al Barbasy mengatakan bahwa RUU ini merupakan UU yang memiliki keterkaitan dengan masalah agama. Dia sekaligus ingin memberi masukan bahwa selama ini sudah cukup lelah membahas hal-hal yang berkaitan dan bersinggungan dengan masalah keagamaan, karena berlangsung cukup lama.
"Kita cukup punya pengalaman dulu berapa tahun permbahasan RUU Sisdiksinas, kurang lebih 7 tahun, RUU Pornografi dan Pornoaksi juga cukup lama, dan beberapa pembahasan RUU, Cipta Karya, UU Minerba itu berkaitan dengan unsur agama, pembahasan lolos begitu saja, teriakan tokoh agama, tokoh masyarakat nyaris seperti anjing menggonggong. masukan itu diabaikan begitu saja,” kata Makmun.
Karena itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta ini mengingatkan Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Jadi, apa pun kebijakan yang dibuat negara ini mau tidak mau harus didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Konsekuensi logisnya semua harus didasarkan pada ketuhanan, apa pun agamanya.
Soal RUU ini, kata dia, sikap PP Muhammadiyah belum final membahas ini, karena RUU-nya pun belum final pembahasan. Namun nampaknya, Muhammadiyah sangat setuju dengan judul RUU Larangan Minol, jadi sangat besar usulan nomenklatur yang digunakan oleh PP Muhammadiyah adalah Larangan.
"Alasannya, ada pertimbangan agama, pertimbangan kesehatan, pertimbangan sosial, pertimbangan terkait masalah keamanan. Meskipun nomenklaturnya menggunakan istilahnya larangan, sesuatu yang wajib tidak boleh ada kemudian mengabaikan. Misalnya ketika perempuan, salat wajib tentu, puasa Ramadhan wajib, tapi ketika sedang menstruasi tentu tidak wajib," paparnya.
Karena itu, Makmun menegaskan bahwa UU ini harus mengatur dengan tegas, misalnya terkait dengan kandungan alkoholnya, tata niaganya seperti apa dan sebagainya. Jangan sampai kekhawatiran yang disampaikan PBNU mengenai peredarannya yang begitu rupa, juga soal siapa yang nanti dibolehkan untuk mengkonsumsi ini harus tegas dan tempat untuk mengkonsumsi minol juga harus tegas. "Ketika bicara UU, bukan perda. Harus tidak ada yang multitafsir saat RUU ini disahkan menjadi UU," tegasnya.
(zik)