KNPI Kritisi Sikap RI yang Tolak R2P dan Pencegahan Genosida di Sidang PBB
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia menolak resolusi Responsibility to Protect (R2P) untuk dijadikan agenda tahunan. Penolakan R2P dan pencegahan genosida , kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan yang dilakukan delegasi Indonesia pada Sidang Umum PBB, Selasa 18 Mei 2021.
Selain Indonesia, ada 14 negara lain yang menolak resolusi tersebut. Sebanyak 115 negara mendukungnya dengan 28 negara memilih untuk abstain.
Menanggapi sikap pemerintah tersebut, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) Haris Pertama, mempertanyakan komitmen Indonesia untuk membela Palestina, yang dalam beberapa pekan terakhir mengalami agresi militer dari Israel.
“Kita mengetahui saat ini zionis Israel menyerang Palestina, khususnya Jalur Gaza secara brutal. Oleh karena itu kami mempertanyakan komitmen sikap Indonesia dalam membela Palestina, karena delegasi negara kita menolak resolusi Reponsibility to Protect (R2P) kewajiban untuk pencegahan genosida dan kejahatan kemanusiaan,” ujar Haris, Jumat (21/5/2021).
Menurut dia, dalam daftar negara yang menolak tersebut, Indonesia sekelompok dengan negara yang dikenal punya reputasi buruk dalam isu kejahatan kemanusiaan, seperti China dan Korea Utara.
Dia menilai sudah kewajiban semua pihak untuk menjaga dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Seperti yang dilakukan zionis Israel terhadap bangsa Palestina.
“KNPI meminta agar pemerintah segera membatalkan penolakan resolusi tersebut dan membawa isu Palestina ke agenda Sidang Umum PBB,” ujar Haris menutup pernyataannya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Ruddyard membenarkan kabar Indonesia menjadi satu dari 15 negara yang memberikan suara "no" dalam Resolusi Responsibility to Protect (R2P) untuk pencegahan genosida dan kejahatan manusia di PBB .Hal ini sempat membuat warganet Indonesia heboh.
Febrian menjelaskan, yang di-vote hanyalah mengenai prosedural R2P, sedangkan mengenai substansinya, Indonesia sudah menyetujuinya.
"Resolusi ini hanya mengenai prosedural, bukan substansinya. Kalau mengenai substansinya, pada 2005, Indonesia sudahvotemendukung, posisinya sudah jelas," ucapnya, Kamis 20 Mei 2021.
Dia menuturkan, resolusi tersebut tidak berbeda dengan yang sebelumnya, termasuk dari kontennya. Untuk Resolusi A/60/1 ini, paparnya, sudah dibahas sejak 2009 tahu, lewat berbagai macam debat dan laporan Sekretaris Jenderal.
Sementara itu, menurut isi pernyataan Indonesia dalam pertemuan membahas resolusi itu, yang diterima Sindonews, ada tiga alasan mengapa Indonesia menolak resolusi tersebut.
Alasan pertama adalah R2P tidak membutuhkan agenda tahunan tetap. Menurut pernyataan itu, sejak 2009, puluhan debat dan laporan Sekretaris Jenderal telah digelar dan semua itu dimungkinkan karena diamanatkan serta diundang oleh dokumen Hasil KTT Dunia, Resolusi Sidang Umum A / 60/1.
Kedua, setiap proposisi atau ide yang berusaha memperkaya diskusi tentang konsep ini tidak boleh menggagalkan batasan yang ditetapkan oleh dokumen Hasil KTT Dunia 2005.
"Upaya semacam itu hendaknya tidak melonggarkan, memperluas, atau menciptakan ambang batas atau kriteria daripada yang ditentukan dalam Resolusi 60/1. Upaya pembahasan R2P jangan sampai mengubah konsep menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Hampir tidak ada kebutuhan untuk menemukan kembali roda," ujarnya.
Selama bertahun-tahun, jelasnya, pandangan berbeda yang terjadi dan penerapan R2P yang kontroversial telah membuktikan lebih lanjut bahwa kehati-hatian yang lebih besar memang diperlukan. Baca juga: BKSAP Kecewa Pertemuan OKI dan DK PBB Tak Mampu Hentikan Aksi Brutal Israel
"Ketiga, posisi voting Indonesia hari ini jangan disalahartikan dengan R2P. Memang, pada 2005, Indonesia mengikuti konsensus yang mengadopsi konsep R2P sebagaimana tertuang dalam Resolusi 60/1. Prinsip dan norma yang mendasari R2P tidak asing lagi bagi Indonesia, juga tidak terbatas hanya pada kelompok negara atau wilayah tertentu atau tertentu," tukasnya.
Selain Indonesia, ada 14 negara lain yang menolak resolusi tersebut. Sebanyak 115 negara mendukungnya dengan 28 negara memilih untuk abstain.
Menanggapi sikap pemerintah tersebut, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) Haris Pertama, mempertanyakan komitmen Indonesia untuk membela Palestina, yang dalam beberapa pekan terakhir mengalami agresi militer dari Israel.
“Kita mengetahui saat ini zionis Israel menyerang Palestina, khususnya Jalur Gaza secara brutal. Oleh karena itu kami mempertanyakan komitmen sikap Indonesia dalam membela Palestina, karena delegasi negara kita menolak resolusi Reponsibility to Protect (R2P) kewajiban untuk pencegahan genosida dan kejahatan kemanusiaan,” ujar Haris, Jumat (21/5/2021).
Menurut dia, dalam daftar negara yang menolak tersebut, Indonesia sekelompok dengan negara yang dikenal punya reputasi buruk dalam isu kejahatan kemanusiaan, seperti China dan Korea Utara.
Dia menilai sudah kewajiban semua pihak untuk menjaga dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Seperti yang dilakukan zionis Israel terhadap bangsa Palestina.
“KNPI meminta agar pemerintah segera membatalkan penolakan resolusi tersebut dan membawa isu Palestina ke agenda Sidang Umum PBB,” ujar Haris menutup pernyataannya.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Ruddyard membenarkan kabar Indonesia menjadi satu dari 15 negara yang memberikan suara "no" dalam Resolusi Responsibility to Protect (R2P) untuk pencegahan genosida dan kejahatan manusia di PBB .Hal ini sempat membuat warganet Indonesia heboh.
Febrian menjelaskan, yang di-vote hanyalah mengenai prosedural R2P, sedangkan mengenai substansinya, Indonesia sudah menyetujuinya.
"Resolusi ini hanya mengenai prosedural, bukan substansinya. Kalau mengenai substansinya, pada 2005, Indonesia sudahvotemendukung, posisinya sudah jelas," ucapnya, Kamis 20 Mei 2021.
Dia menuturkan, resolusi tersebut tidak berbeda dengan yang sebelumnya, termasuk dari kontennya. Untuk Resolusi A/60/1 ini, paparnya, sudah dibahas sejak 2009 tahu, lewat berbagai macam debat dan laporan Sekretaris Jenderal.
Sementara itu, menurut isi pernyataan Indonesia dalam pertemuan membahas resolusi itu, yang diterima Sindonews, ada tiga alasan mengapa Indonesia menolak resolusi tersebut.
Alasan pertama adalah R2P tidak membutuhkan agenda tahunan tetap. Menurut pernyataan itu, sejak 2009, puluhan debat dan laporan Sekretaris Jenderal telah digelar dan semua itu dimungkinkan karena diamanatkan serta diundang oleh dokumen Hasil KTT Dunia, Resolusi Sidang Umum A / 60/1.
Kedua, setiap proposisi atau ide yang berusaha memperkaya diskusi tentang konsep ini tidak boleh menggagalkan batasan yang ditetapkan oleh dokumen Hasil KTT Dunia 2005.
"Upaya semacam itu hendaknya tidak melonggarkan, memperluas, atau menciptakan ambang batas atau kriteria daripada yang ditentukan dalam Resolusi 60/1. Upaya pembahasan R2P jangan sampai mengubah konsep menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Hampir tidak ada kebutuhan untuk menemukan kembali roda," ujarnya.
Selama bertahun-tahun, jelasnya, pandangan berbeda yang terjadi dan penerapan R2P yang kontroversial telah membuktikan lebih lanjut bahwa kehati-hatian yang lebih besar memang diperlukan. Baca juga: BKSAP Kecewa Pertemuan OKI dan DK PBB Tak Mampu Hentikan Aksi Brutal Israel
"Ketiga, posisi voting Indonesia hari ini jangan disalahartikan dengan R2P. Memang, pada 2005, Indonesia mengikuti konsensus yang mengadopsi konsep R2P sebagaimana tertuang dalam Resolusi 60/1. Prinsip dan norma yang mendasari R2P tidak asing lagi bagi Indonesia, juga tidak terbatas hanya pada kelompok negara atau wilayah tertentu atau tertentu," tukasnya.
(dam)