Kubu Moeldoko Tuding Sejarah Keterpurukan Demokrat Ketika Dipimpin SBY dan AHY

Kamis, 20 Mei 2021 - 08:02 WIB
loading...
Kubu Moeldoko Tuding...
Jubir Demokrat Kubu Moeldoko, Muhammad Rahmad mengatakan yang membuat Demokrat makin lemah ketika dikelola SBY dan AHY ditandai pengelolaan Demokrat otoriter dan mengkhianati semangat Reformasi 1998. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Juru Bicara Partai Demokrat hasil KLB pimpinan Moeldok o, Muhammad Rahmad menanggapi pernyataan Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) , Kamhar Lakumani yang menyebut Demokrat KLB Deli Serdang menempuh jalan sesat politk.

Rahmad menganggap yang menempuh jalan sesat adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan AHY dan para pendukungnya karena telah membawa Partai Demokrat yang awalnya sangat demokratis, merakyat dan milik rakyat, kini berubah menjadi partai tirani keluargais, otoriter, sewenang-wenang dan pura pura merakyat.

"Inti dari kesuksesan sebuah partai politik adalah menang pemilu dan jumlah perolehan kursinya di DPR RI meningkat. Maka Pemilu 2019 adalah titik nadir terendah bagi Partai Demokrat. Partai Demokrat paling terpuruk sepanjang sejarah, ketika dipimpin SBY dan AHY," ujarnya, Kamis (20/5/2021).

Dia menuturkan Partai Demokrat berdiri tahun 2001 dan pada 2004 ikut Pemilu pertama kali dan memperoleh 57 kursi di DPR RI. Saat itu, Ketua umumnya adalah Prof Subur Budhisantoso. Berikutnya pada 2019, Demokrat mengikuti pemilu ke empat kalinya dan perolehanan kursi di DPR RI hanya 54 kursi. Artinya, lebih rendah dari perolehan kursi saat Demokrat pertama kali ikut Pemilu.

"Padahal, pengelola Partai pada Pemilu 2019 adalah SBY sebagai Ketua Umum dan AHY sebagai Ketua Kogasma (Komando Satuan Tugas Bersama) dan Ibas sebagai Ketua Pemenangan Pemilu," ungkap dia.

Bahkan menurut Rahmad, perolehan kursi Demokrat pada Pemilu 2019 lebih rendah lagi dari Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014, Demokrat masih dapat 61 kursi di DPR, lantaran waktu itu Ketua Umumnya adalah Anas Urbaningrum yang dikudeta oleh SBY.

"Logika sehat politik siapapun akan berkata bahwa semestinya titik nadir itu terjadi pada Pemilu 2014 dan rebound atau naik pada Pemilu 2019 ketika SBY dan anak-anaknya full team mengelola Demokrat. Ternyata faktanya terbalik. Justru ketika ditangani keluargais Cikeas, perolehan suara Demokrat terendah sepanjang sejarah," tandasnya.

Lebih lanjut Rahmad mengatakan, jika dievaluasi kenapa terendah sepanjang sejarah? Dia menengarai ternyata banyak ditemukan faktor internal yang membuat Demokrat makin lemah, bukan makin kuat. Dia mengungkapkan yang membuat Demokrat makin lemah ketika dikelola SBY dan AHY itu antara lain, pertama pengelolaan Demokrat mulai otoriter dan mengkhianati semangat Reformasi 1998.

"Demokrat tidak lagi demokratis. AD/ART 2015 dan AD/ART 2020 mencerminkan anti demokrasi dan sudah terjerumus kedalam pengelolaan partai tirani," beber dia.

Kedua, lanjut dia, periode kepemimpinan SBY dan dilanjutkan AHY nampaknya mulai mempraktikkan pungutan ke DPC, DPD dan kader-kader di DPRD dan di pemerintahan. "Setiap bulan, mereka harus setor dalam jumlah besar ke pusat, padahal mereka juga harus membiayai operasional partai di daerah dan dapil. Jika dihitung-hitung, perkiraan jumlah pungutan itu sampai sekarang lebih Rp200 miliar yang dinikmati DPP. Hitung-hitung membesarkan partai di grassroot, ternyata yang makin gendut adalah DPP-nya, bukan grassrootnya," paparnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2125 seconds (0.1#10.140)