Kartu Prakerja Seharusnya Pro-konsumsi

Senin, 20 April 2020 - 06:26 WIB
loading...
Kartu Prakerja Seharusnya...
foto ilustrasi Kartu Prakerja/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dalam sepekan terakhir, kontroversi kartu prakerja terus menyeruak. Wajar saja karena banyak kalangan menilai kartu prakerja yang dirancang pemerintah untuk mengatasi dampak virus korona (Covid-19) kurang tepat sasaran.

Kartu prakerja awalnya didesain untuk mereka yang sedang mencari pekerjaan atau siapa pun masyarakat, termasuk buruh, karyawan, dan pegawai, yang ingin meningkatkan skill-nya dan belajar sesuatu yang baru. Dalam penjelasan di situs resmi https://www.prakerja.go.id, program ini diprioritaskan bagi pencari kerja kalangan muda dengan batasan usia minimal 18 tahun.

Seiring mewabahnya pandemi Covid-19, manfaat kartu prakerja yang merupakan salah satu program Jaring Pengaman Sosial itu terus diperluas. Tidak hanya untuk masyarakat yang sedang mencari pekerjaan, tetapi juga untuk pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pelaku usaha informal yang kini menganggur karena terdampak korona. Anggarannya pun berlipat, dari semula hanya Rp10 triliun, kini berdasarkan Perppu No 1/2020 ditambah menjadi Rp20 triliun untuk 5,6 juta orang.

Poin yang banyak mendapatkan kritik adalah pos program kartu prakerja, di mana peserta mendapatkan pelatihan secara online senilai Rp1 juta. Selain itu, peserta akan diberikan bantuan tambahan Rp600.000 per bulan selama empat bulan serta insentif mengisi survei sebesar Rp50.000 per bulan selama tiga bulan. Jadi, total manfaat yang diterima peserta kartu prakerja sebanyak Rp3,55 juta per orang.

Dari sekian banyak manfaat kartu prakerja, program pelatihan menjadi salah satu yang paling disorot. Ini karena pada pelaksanaannya pelatihan melalui internet tersebut dilaksanakan beberapa perusahaan mitra swasta, yakni Tokopedia, Ruang Guru, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Pijar Mahir, dan Kemnaker.go.id.

Yang lebih mencengangkan, jika melihat porsi anggaran sebanyak Rp1 juta per peserta, total nilai pelatihan peningkatan skill secara daring tersebut mencapai Rp5,6 triliun untuk 5,6 peserta. Sungguh jumlah yang sangat fantastis. Tidak kalah heboh adalah dugaan adanya konflik kepentingan dalam pemilihan mitra pemberi pelatihan. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah keterlibatan aplikasi skill academy yang dikelola Ruang Guru dalam program itu. Banyak pihak mempermasalahkan penunjukan Ruang Guru pada program itu karena CEO sekaligus founder aplikasi tersebut adalah Adamas Belva Syah Devara yang kini tercatat sebagai Staf Khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejumlah kalangan pun bersuara, mulai GP Anshor, anggota DPR, ekonom, hingga tokoh masyarakat lainnya.

Mungkin jika menggunakan platform milik pemerintah semisal Balai Latihan Kerja (BLK) yang dikelola Kementerian Tenaga Kerja, program pelatihan semacam itu masih bisa diterima. Hanya, saat kondisi yang mengharuskan social/physical distancing seperti saat ini, memang perlu metode khusus agar protokol kesehatan tetap bisa dijalankan dengan baik.

Terlepas dari kontroversi tersebut, ada baiknya kita melihat kembali apa dan bagaimana tujuan program Jaring Pengaman Sosial yang dikeluarkan pemerintah dalam mengurangi dampak Covid-19. Merujuk pada tujuan awal pemerintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial yang poin utamanya menjaga daya beli masyarakat terdampak, maka pelatihan online bagi para pekerja yang terkena PHK rasanya tidak tepat. Mereka yang terpaksa dirumahkan justru lebih membutuhkan uang tunai agar daya beli rumah tangganya tetap ada. Dengan kata lain, program kartu prakerja seharusnya pro-konsumsi agar masyarakat tetap bisa berbelanja memenuhi kehidupan dasarnya.

Sektor konsumsi rumah tangga ini layak diberi perhatian lebih karena merupakan penopang pertumbuhan ekonomi nasional. Porsinya pun sangat besar, mencapai 56% dari total produk domestik bruto (PDB). Bisa terbayang jika sektor ini tidak bergerak karena wabah korona. Apalagi, sektor lain seperti investasi dan ekspor-impor juga tidak bisa diandalkan karena kondisi ekonomi global yang sama-sama terdampak pandemi Covid-19.

Kini kita hanya bisa berharap agar para pembuat kebijakan lebih berhati-hati menjalankan upaya dalam menangani krisis akibat Covid-19. Jangan sampai kegaduhan di masyarakat justru mengganggu fokus pemerintah dalam mengatasi wabah korona yang sampai saat ini sudah menyebar ke seluruh provinsi di Tanah Air. (*)
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1538 seconds (0.1#10.140)