Menggagas Badan Pengelola Tol Laut

Senin, 20 April 2020 - 06:04 WIB
loading...
Menggagas Badan Pengelola Tol Laut
Siswanto Rusdi Direktur The National Maritime Institute (Namarin). Foto/KORAN SINDO
A A A
Oleh: Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

MEMBUKA rapat terbatas di Kantor Presiden beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kekecewaannya, sebagian media menyebutnya marah, dengan program tol laut. Sejak digulirkan pada 2015, kebijakan ini tidak mampu mengurangi disparitas harga antardaerah atau gagal memangkas biaya logistik antarpulau. Sebetulnya bukan pertama kalinya kepala negara mengungkapkan ketidakpuasannya terkait program unggulannya itu. Silakan berselancar di jagat maya untuk membacanya.

Saya termasuk salah satu pengamat yang mengikuti perjalanan tol laut ketika dia masih embrio, yaitu saat kampanye Pemilihan Presiden 2014. Penulis merangkai beberapa karangan seputar isu tersebut sejurus gagasan itu muncul di media. Jujur saja, sejak kemunculannya, saya sudah pesimistis akan keberhasilan program tol laut. Terlalu banyak kelemahan di dalamnya. Yang paling menonjol adalah program ini dijalankan tanpa strategi yang memadai sejak awal. Padahal, strategi adalah kunci kesuksesan tol laut.

Walaupun tidak menyebut ketiadaan strategi sebagai penyebab ketidakmampuan tol laut menekan disparitas harga dan biaya logistik nasional, pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang menjalankan program tol laut, Captain Wisnu Handoko, yang berbicara kepada media setelah Presiden mengungkapkan isi hatinya yang kecewa, menyinggung lemahnya peran kementerian/lembaga terkait dalam program tol laut. Di sisi lain, peran Kemenhub hanya sekitar 10%. Begitu ungkapnya langsung kepada saya belum lama berselang.

Keterlibatan K/L, pemerintah daerah, BUMN, dan berbagai pihak terkait lainnya dalam program tol laut merupakan salah satu isu yang seharusnya sudah jelas sejak program ini diluncurkan dan dimasukkan ke strategi atau grand design tol laut. Dalam prinsip kebijakan publik yang ada, tol laut adalah tugas di luar tugas pokok masing-masing pemangku kepentingan (stakeholder) di muka. Menjalankan tugas seperti ini bukan tidak lazim, melainkan akan lebih baik jika ada arahan yang pasti dalam sebuah konsep, syukur-syukur ada landasan hukumnya.

Karena di luar tugas pokok, maka anggaran, human capital, dan sebagainya akan direncanakan terpisah oleh K/L yang terlibat demi kesuksesan program tol laut sejauh ada panduannya. Bisa jadi situasi semacam inilah yang melatarbelakangi lemahnya keterlibatan seluruh stakeholder dalam program tol laut seperti yang disinggung pejabat Kemenhub sebelumnya. Salah mengambil langkah bisa-bisa jadi temuan oleh dua lembaga yang sama-sama berakhiran huruf K, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Di tengah ketiadaan strategi tadi, Kemenhub meluncurkan 100 kapal baru untuk mendukung tol laut dan semuanya sudah beroperasi saat ini. Plus, ratusan miliar rupiah untuk menyubsidi layanan itu sejak 2015. Duit sebanyak itu dan ribuan jam kerja yang dibukukan PNS Kemenhub demi mewujudkan visi maritim nasional menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia ternyata masih belum maksimal di mata empunya visi.

Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan agar program tol laut bisa lebih efektif menekan disparitas harga dan biaya logistik nasional seperti keinginan RI-1?

Badan Pengelola

Salah satu langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kinerja program tol laut adalah dengan mendirikan sebuah badan yang didedikasikan mengurusi tol laut. Lembaga ini mengambil alih tugas-tugas yang selama ini diemban Direktorat Lalu Lintas Laut, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub. Kok instansi ini, bukan yang lainnya? Unit eselon dua ini memang mengelola program tol laut sejak diluncurkan lima tahun lalu. Secara umum tugas pokok Ditlala adalah mengatur trayek seluruh kapal komersial di Tanah Air.

Karena itu, tidak terhindarkan program tol laut akhirnya diperlakukan sebagai jejaring trayek semata, dan memang seperti itulah kenyataannya di lapangan. Coba perhatikan langkah yang diambil Ditlala manakala program tol laut mendapat masalah atau dikritisi; mengubah trayek kapal. Hanya itu. Bukan salahnya instansi itu bila keadaannya demikian. Sebagai unit eselon dua, tidak banyak kewenangan yang dimilikinya, paling hanya bisa meminta, tidak bisa memerintah. Itu pun harus disuarakan Menteri Perhubungan yang menyampaikannya kepada menteri terkait.

Bagaimana dengan keberadaan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dalam mengorkestrasi K/L yang ada dalam lingkup koordinasinya agar program tol laut sukses? Cukuplah kekecewaan Presiden terhadap tol laut sebagai jawabannya. Singkat cerita, ada masalah institusional atau kelembagaan dalam program tol laut yang perlu dicarikan jalan keluarnya agar program ini moncer, paling tidak untuk empat tahun ke depan.

Badan Pengelola Tol Laut (nama ini sekadar usulan) merupakan lembaga ad hoc, tetapi dengan kewenangan besar. Hal ini diperlukan untuk mendobrak, jika perlu menggebrak, K/L lain yang memiliki andil dalam program tol laut. Kementerian Perdagangan, Kementerian BUMN, pemerintah daerah, dan semua pihak harus didorong badan itu agar lebih lincah. Jangan menyerahkan program tol laut seluruhnya kepada Ditlala karena tidak akan mampu.

Namun, harus digarisbawahi lima tahun berjalan, Ditlala/Kemenhub sudah berupaya maksimal. Ini selayaknya diapresiasi. Tol laut terlalu luas, sementara kemampuan Kemenhub terbatas. Lagi pula sebagai regulator, tidak baik bekerja terlalu operasional. Instansi ini sebenarnya sudah cukup kuat dalam mengendalikan biaya logistik, terutama voyage cost yang memang disubsidi. Namun, ada biaya lain yang tidak disubsidi, yaitu terminal handling charge, biaya TKBM, biaya gudang, biaya konsolidasi muatan, biaya pengurusan, dan biaya moda transportasi lain.

Biaya-biaya itu tidak semuanya dapat dikendalikan secara efektif oleh Kemenhub. Kemudian, keterbatasan Kemenhub yang mencolok adalah pengendalian harga barang yang ditentukan supply dan demand. Soal harga jual barang, Kemendag, pemda, dan stakeholder lainnya jauh lebih efektif.

Badan Pengelola Tol Laut bisa ditempatkan di bawah Kantor Presiden atau Wakil Presiden, terserah kesepakatan di antara kedua pemimpin. Lembaga ini harus diisi orang yang memang mumpuni di sektor logistik dan kemaritiman. Mereka harus diberi mandat penuh oleh Presiden agar efektif. Lembaga inilah yang akan menyelamatkan nasib tol laut, paling tidak dalam periode kedua ini. Dengan begitu, Presiden bisa menegakkan kepala karena janjinya bisa ditunaikan. Entahlah. (*)
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1258 seconds (0.1#10.140)