Pilpres 2024 Diprediksi Bakal Diikuti 3 Paslon, Ini Kandidat Terkuat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Studies (Indostrategic) Khoirul Umam menyatakan Pilpres 2024 diprediksi diikuti 3 sampai 4 pasang calon (Paslon). Menurutnya, jika diikuti 3 paslon maka simulasi pertama muncul pasangan Prabowo Subianto-Puan Maharani.
"Prabowo-Puan, sebagai hasil perkawinan politik PDIP-Gerindra. Pengalaman 10 tahun memberikan kesempatan pada Jokowi sebagai figur di luar trah Soekarno dirasa sudah cukup bagi PDIP," ujarnya saat dihubungi, Kamis (6/5/2021).
Umam mengatakan, pasangan ini pun berpotensi memupus peluang Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Dia melihat tidak mudah bagi Ganjar untuk mendapatkan restu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk maju lewat partai itu, karena arus politik yang tercipta tidak sekuat Jokowi dulu. "Karena itu, sebagai kompensasi, maka Prabowo-Puan menjadi pilihan rasional, dengan paket kursi kabinet lebih banyak bagi PDIP saat di pemerintahan," katanya.
Simulasi kedua, kata Umam, munculnya nama Anies Baswedan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dia menilai, pasangan ini sebagai hasil perkawinan Partai Demokrat, Partai Nasdem dan juga PKS. Pasangan ini bisa muncul mengingat komunikasi antara Nasdem dengan PDIP tampaknya belum pulih, pascakekecewaan PDIP atas manuver Nasdem yang dianggap membajak sejumlah kader utama PDIP di daerah. "Karena itu, Anies bisa menjadi titik temu antara Nasdem dan PDIP, dan selanjutnya dikawinkan dengan AHY sebagai representasi kekuatan Partai Demokrat, yang juga memiliki bekal elektabilitas yang memadai," ungkapnya.
Selanjutnya, kata Umam, munculnya nama Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto berpasangan dengan AHY. Dia melihat ini hasil perkawinan Golkar dan Demokrat sudah cukup untuk memenuhi syarat Presidential Thershold 20%. Dia menuturkan, Golkar seharusnya memperjuangkan martabat yang lebih tinggi, dengan mengajukan kadernya di capres, bukan hanya mengedepankan "bandwagoning strategy", atau strategi mengekor ke kekuatan yang lebih besar.
Menurut Dosen Paramadina ini, tiga kali Pilpres, Golkar selalu gagal mengajukan kandidat. Karena itu, perkawinan Golkar-Demokrat bisa menjadi alternatif untuk mengajukan kekuatan politik nasionalis-moderat untuk menghalau praktik politik identitas yang notabene menguntungkan PKS dan PDIP. Kendati demikian, jika Golkar dan Demokrat berkoalisi, mereka harus memasukkan unsur kekuatan politik Islam moderat, seperti PKB, PAN, atau PPP untuk mendukungnya. Sehingga basis kekuatan nasionalis-religius tetap kuat di sana. "Adapun nama-nama seperti Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Eric Tohir, dan lainya, kemungkinan akan terkendala oleh dukungan partai politik. Kecuali jika mereka "membeli" mesin partai seperti yang dilakukan Sandiaga Uno saat Pilpres 2019 lalu," beber Umam.
"Prabowo-Puan, sebagai hasil perkawinan politik PDIP-Gerindra. Pengalaman 10 tahun memberikan kesempatan pada Jokowi sebagai figur di luar trah Soekarno dirasa sudah cukup bagi PDIP," ujarnya saat dihubungi, Kamis (6/5/2021).
Umam mengatakan, pasangan ini pun berpotensi memupus peluang Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Dia melihat tidak mudah bagi Ganjar untuk mendapatkan restu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk maju lewat partai itu, karena arus politik yang tercipta tidak sekuat Jokowi dulu. "Karena itu, sebagai kompensasi, maka Prabowo-Puan menjadi pilihan rasional, dengan paket kursi kabinet lebih banyak bagi PDIP saat di pemerintahan," katanya.
Simulasi kedua, kata Umam, munculnya nama Anies Baswedan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Dia menilai, pasangan ini sebagai hasil perkawinan Partai Demokrat, Partai Nasdem dan juga PKS. Pasangan ini bisa muncul mengingat komunikasi antara Nasdem dengan PDIP tampaknya belum pulih, pascakekecewaan PDIP atas manuver Nasdem yang dianggap membajak sejumlah kader utama PDIP di daerah. "Karena itu, Anies bisa menjadi titik temu antara Nasdem dan PDIP, dan selanjutnya dikawinkan dengan AHY sebagai representasi kekuatan Partai Demokrat, yang juga memiliki bekal elektabilitas yang memadai," ungkapnya.
Selanjutnya, kata Umam, munculnya nama Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto berpasangan dengan AHY. Dia melihat ini hasil perkawinan Golkar dan Demokrat sudah cukup untuk memenuhi syarat Presidential Thershold 20%. Dia menuturkan, Golkar seharusnya memperjuangkan martabat yang lebih tinggi, dengan mengajukan kadernya di capres, bukan hanya mengedepankan "bandwagoning strategy", atau strategi mengekor ke kekuatan yang lebih besar.
Menurut Dosen Paramadina ini, tiga kali Pilpres, Golkar selalu gagal mengajukan kandidat. Karena itu, perkawinan Golkar-Demokrat bisa menjadi alternatif untuk mengajukan kekuatan politik nasionalis-moderat untuk menghalau praktik politik identitas yang notabene menguntungkan PKS dan PDIP. Kendati demikian, jika Golkar dan Demokrat berkoalisi, mereka harus memasukkan unsur kekuatan politik Islam moderat, seperti PKB, PAN, atau PPP untuk mendukungnya. Sehingga basis kekuatan nasionalis-religius tetap kuat di sana. "Adapun nama-nama seperti Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Eric Tohir, dan lainya, kemungkinan akan terkendala oleh dukungan partai politik. Kecuali jika mereka "membeli" mesin partai seperti yang dilakukan Sandiaga Uno saat Pilpres 2019 lalu," beber Umam.
(cip)