Nekat Mudik Bakal Kena Denda Rp100 Juta?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memastikan masyarakat dilarang mudik pada Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran 2021 mulai 6 sampai 17 Mei 2021. Pelarangan ini diatur dalam Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah di masa pandemi Covid-19.
Dasar hukum dari SE itu adalah Undang-Undang (UU) Nomor 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sehingga, jika masyarakat yang nekat mudik bisa diberikan sanksi sesuai dalam Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 dengan hukuman kurungan paling lama adalah setahun dan denda maksimal hingga Rp100 juta bila melanggar aturan mudik ini.
"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00," demikian bunyi dari pasal 93.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio pun menegaskan bahwa kebijakan pelarangan mudik juga harus sejalan dengan penegakan hukumnya. "Harus law enforcement, penegakan hukum," tegasnya dalam keterangannya, Rabu (21/4/2021).
Namun begitu, Agus berharap SE itu berbentuk Peraturan Menteri, sehingga bisa digunakan untuk menindak yang melanggar. "Saya berharap aturan itu bentuknya Peraturan Menteri bukan Surat Edaran. Karena Surat Edaran itu tidak ada aturan hukumnya untuk menindak pelanggaran," katanya.
"Nah, seharusnya peraturan itu harus dibuat sekarang, karena tidak sulit untuk membuatnya dan juga jangan terlalu banyak kecuali. Kalau itu ada kecuali, kecuali tidak usah diatur saja ya," ungkapnya.
Agus juga menegaskan bahwa yang terpenting saat ini adalah pelaksanaan implementasinya. "Jadi, kemudian yang terpenting adalah pelaksanaan implementasinya. Siapa yang akan menjadi komandan ya kan. Tentu yang jadi komandan itu Kakorlantas. Nah, Kakorlantas itu harus dibekali peraturan juga, bagaimana caranya untuk menindak," katanya.
Selain itu, Agus mengatakan pemerintah daerah juga bisa menerapkan opsi karantina bagi yang nekat mudik dengan berbayar. "Kemudian juga pemerintah daerah juga menerapkan karantina yang tidak gratis. Jadi kalau siapa yang akan memaksa mudik, dia harus karantina berapa hari. Mau seminggu, mau dua minggu silakan. Jadi orang itu malas mudik. Tapi sekali lagi harus juga ada pengawasan. Sekali lagi, kalau orang tidak bayar ya orang akan tetap jalan. Jadi harus aturan. Nah yang bisa dilakukan adalah karantina bayar sendiri," paparnya.
Kemudian, kata Agus, bisa juga dengan memberlakukan putar balik ataupun denda. Namun, hal ini juga harus dipersiapkan karena pelaksanaannya 24 jam. "Begitu kena diputar balik kemudian ada denda dan sebagainya. Tapi sekarang, harus diatur siapa yang melaksanakannya. Ini kan 24 jam. Hal-hal ini yang harus dipersiapkan. Jangan orang pindah tempat lalu ada celah mudik," katanya.
Dasar hukum dari SE itu adalah Undang-Undang (UU) Nomor 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sehingga, jika masyarakat yang nekat mudik bisa diberikan sanksi sesuai dalam Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 dengan hukuman kurungan paling lama adalah setahun dan denda maksimal hingga Rp100 juta bila melanggar aturan mudik ini.
"Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00," demikian bunyi dari pasal 93.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio pun menegaskan bahwa kebijakan pelarangan mudik juga harus sejalan dengan penegakan hukumnya. "Harus law enforcement, penegakan hukum," tegasnya dalam keterangannya, Rabu (21/4/2021).
Namun begitu, Agus berharap SE itu berbentuk Peraturan Menteri, sehingga bisa digunakan untuk menindak yang melanggar. "Saya berharap aturan itu bentuknya Peraturan Menteri bukan Surat Edaran. Karena Surat Edaran itu tidak ada aturan hukumnya untuk menindak pelanggaran," katanya.
"Nah, seharusnya peraturan itu harus dibuat sekarang, karena tidak sulit untuk membuatnya dan juga jangan terlalu banyak kecuali. Kalau itu ada kecuali, kecuali tidak usah diatur saja ya," ungkapnya.
Agus juga menegaskan bahwa yang terpenting saat ini adalah pelaksanaan implementasinya. "Jadi, kemudian yang terpenting adalah pelaksanaan implementasinya. Siapa yang akan menjadi komandan ya kan. Tentu yang jadi komandan itu Kakorlantas. Nah, Kakorlantas itu harus dibekali peraturan juga, bagaimana caranya untuk menindak," katanya.
Selain itu, Agus mengatakan pemerintah daerah juga bisa menerapkan opsi karantina bagi yang nekat mudik dengan berbayar. "Kemudian juga pemerintah daerah juga menerapkan karantina yang tidak gratis. Jadi kalau siapa yang akan memaksa mudik, dia harus karantina berapa hari. Mau seminggu, mau dua minggu silakan. Jadi orang itu malas mudik. Tapi sekali lagi harus juga ada pengawasan. Sekali lagi, kalau orang tidak bayar ya orang akan tetap jalan. Jadi harus aturan. Nah yang bisa dilakukan adalah karantina bayar sendiri," paparnya.
Kemudian, kata Agus, bisa juga dengan memberlakukan putar balik ataupun denda. Namun, hal ini juga harus dipersiapkan karena pelaksanaannya 24 jam. "Begitu kena diputar balik kemudian ada denda dan sebagainya. Tapi sekarang, harus diatur siapa yang melaksanakannya. Ini kan 24 jam. Hal-hal ini yang harus dipersiapkan. Jangan orang pindah tempat lalu ada celah mudik," katanya.
(zik)