Unboxing Tiongkok, Buku Menyibak Negeri Tirai Bambu dari Perspektif Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Di tengah keterbatasan jumlah buku berbahasa Indonesia tentang Tiongkok yang ditulis oleh orang Indonesia dalam jagad perbukuan Nusantara, mantan Duta Besar RI untuk Tiongkok , Sugeng Rahardjo, menerbitkan bukunya tentang negara besar itu.
Buku yang diberi judul "Unboxing Tiongkok Sugeng Rahardjo-Belajar dari Tiongkok" itu di luncurkan dalam sebuah acara yang berlangsung di Resto Bengawan Solo, Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada Jumat, 9 April 2021. Peluncuran buku ini dibantu para pegiat Al-Azhar Youth Leader Institute (AYLI), unit kepemudaan bidang pengembangan kepemimpinan Masjid Agung Al-Azhar Jakarta ini, juga diisi sesi gelar wicara (talk show). Baca juga: Beijing Gudangnya Miliarder, Mengalahkan Kota Manapun di Dunia Termasuk New York
Sesi ini menghadirkan mantan Dubes RI untuk Tiongkok, Sugeng Rahardjo, dan sejumlah pembicara lain, seperti Iwan Santosa (jurnalis Kompas), Sariat Arifia (pegiat kaderisasi kepemimpinan -AYLI, pengusaha, dan penulis), serta Atman Ahdiat, Rahmad Nasution (jurnalis ANTARA) dan Ardi Bramantyo.
Sugeng Rahardjo menjelaskan, latar belakang yang mendorong dirinya menulis buku ini karena kemajuan pembangunan dan ekonomi Tiongkok dalam 30 tahun terakhir ini yang menyalip kemajuan bangsa barat selama 300 tahun selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama setelah Deng Xiaoping menerapkan kebijakan reformasi dan keterbukaan (opening-up and reform policy atau Gaige Kaifang) pada 1978.
"Keterbukaan tersebut menjadi ilham untuk judul buku ini Unboxing Tiongkok. Informasi yang terkandung dalam buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas bahwa membangun perekonomian negara memerlukan komitmen, disiplin, kerja keras, dan kesinambungan," katanya.
Menurut Sugeng, di antara keberhasilan Tiongkok yang perlu mendapat perhatian banyak bangsa, termasuk Indonesia, adalah pencapaian berkesinambungan pemerintah negara itu dalam penghapusan kemiskinan yang menjadi tantangan besar bangsa besar itu selama ini. Di tengah dinamika hubungan antarbangsa di tingkat regional dan global yang penuh tantangan yang tidak mudah saat ini, hubungan Indonesia dan Tiongkok justru terus menunjukkan tren peningkatan yang baik.
Pemerintah kedua negara bahkan telah pun berhasil meningkatkan kemitraan strategisnya yang disepakati pada 2005 menjadi kemitraan komprehensif strategis pada 3 Oktober 2013, kata mantan Dubes RI untuk Tiongkok periode 2014 -2017 ini.
Dalam perjalanan sejarah hubungan kedua bangsa dan negara, hubungan Indonesia dan Tiongkok tak luput dari pasang surut, dan bahkan pernah mencapai titik nadir saat pembekuan hubungan diplomatik di periode 1967 hingga 1990 karena terusik oleh peristiwa 30 September 1965.
Namun, di balik semua itu, akar hubungan kedua bangsa besar ini justru telah terjalin selama ribuan tahun. "Hal ini tercermin dari berbagai catatan yang ada di Tiongkok maupun peninggalan-peninggalan seperti saat muhibah Cheng Ho di berbagai wilayah di Indonesia", katanya.
Di tengah pandemi global Covid-19 yang memukul kesehatan publik dan ekonomi banyak negara di dunia, Sugeng memperkirakan bahwa Tiongkok akan menjadi negara yang terlebih dulu dapat recovery, baik dalam mengatasi Covid-19 maupun perekonomiannya. "Dalam mengatasi Covid-19, masyarakat Tiongkok memiliki sikap yang unggul, yaitu disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan, komitmen untuk mematuhi setiap protokol kesehatan, dan konsisten dalam melaksanakan anjuran aturan pemerintah," ujarnya.
Sementara dalam perekonomian, Pemerintah Tiongkok tampaknya akan memanfaatkan pasar dalam negeri yang berjumlah sekitar 1,4 miliar orang secara maksimal untuk dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara positif. Melalui buku ini, Sugeng Rahardjo berharap berbagai pihak di Tanah Air berkenan membuka diri untuk belajar dari keberhasilan banyak negara dan bangsa lain, termasuk Tiongkok. "Kita tidak bisa mengubah dunia yang begitu luas ini selama kita hidup. Namun, yang harus kita lakukan adalah mulai dari diri kita sendiri untuk berubah sehingga hidup kita dapat berkontribusi positif bagi sesama," katanya.
Awalnya manfaat tersebut dapat dirasakan dalam keluarga, kemudian meluas ke lingkungan rumah, selanjutnya ke lingkungan yang lebih luas lagi seperti pekerjaan dan organisasi, serta pada akhirnya pada tingkat nasional. Buku yang dihadirkan dalam dua versi bahasa ini, mendapat apresiasi dari Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Asep Saefuddin.
Menurut Asep konten buku ini mencerminkan kecintaan Sugeng Rahardjo yang sangat dalam kepada bangsanya. "Semua disusun berdasarkan pengamatan dan analisis yang mendalam. Kalau Tiongkok bisa maju seperti ini, mengapa Indonesia tidak bisa?" katanya.
Oleh karena itu, buku yang ditulis oleh Sugeng Rahardjo ini sangat penting bukan hanya bagi para pejabat eksekutif dan legislatif negara saja, tapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia karena peta geopolitik dunia sedang berubah dengan kemajuan Tiongkok yang begitu masif, kata Asep Saefuddin. "Perubahan inilah yang harus dilihat sebagai peluang dan ditangkap dengan baik oleh Indonesia sehingga bisa menguntungkan bangsa. Juga apresiasi saya yang setinggi-tingginya kepada Bapak Sugeng Rahardjo yang menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Mandarin. Ini merupakan satu lompatan hubungan yang jauh ke masa depan," katanya.
Lihat Juga: Undang Pakar China Asal Singapura, FSI dan FISIP UPH Bahas Dampak Soft Power RRT di Indonesia
Buku yang diberi judul "Unboxing Tiongkok Sugeng Rahardjo-Belajar dari Tiongkok" itu di luncurkan dalam sebuah acara yang berlangsung di Resto Bengawan Solo, Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, pada Jumat, 9 April 2021. Peluncuran buku ini dibantu para pegiat Al-Azhar Youth Leader Institute (AYLI), unit kepemudaan bidang pengembangan kepemimpinan Masjid Agung Al-Azhar Jakarta ini, juga diisi sesi gelar wicara (talk show). Baca juga: Beijing Gudangnya Miliarder, Mengalahkan Kota Manapun di Dunia Termasuk New York
Sesi ini menghadirkan mantan Dubes RI untuk Tiongkok, Sugeng Rahardjo, dan sejumlah pembicara lain, seperti Iwan Santosa (jurnalis Kompas), Sariat Arifia (pegiat kaderisasi kepemimpinan -AYLI, pengusaha, dan penulis), serta Atman Ahdiat, Rahmad Nasution (jurnalis ANTARA) dan Ardi Bramantyo.
Sugeng Rahardjo menjelaskan, latar belakang yang mendorong dirinya menulis buku ini karena kemajuan pembangunan dan ekonomi Tiongkok dalam 30 tahun terakhir ini yang menyalip kemajuan bangsa barat selama 300 tahun selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas, terutama setelah Deng Xiaoping menerapkan kebijakan reformasi dan keterbukaan (opening-up and reform policy atau Gaige Kaifang) pada 1978.
"Keterbukaan tersebut menjadi ilham untuk judul buku ini Unboxing Tiongkok. Informasi yang terkandung dalam buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas bahwa membangun perekonomian negara memerlukan komitmen, disiplin, kerja keras, dan kesinambungan," katanya.
Menurut Sugeng, di antara keberhasilan Tiongkok yang perlu mendapat perhatian banyak bangsa, termasuk Indonesia, adalah pencapaian berkesinambungan pemerintah negara itu dalam penghapusan kemiskinan yang menjadi tantangan besar bangsa besar itu selama ini. Di tengah dinamika hubungan antarbangsa di tingkat regional dan global yang penuh tantangan yang tidak mudah saat ini, hubungan Indonesia dan Tiongkok justru terus menunjukkan tren peningkatan yang baik.
Pemerintah kedua negara bahkan telah pun berhasil meningkatkan kemitraan strategisnya yang disepakati pada 2005 menjadi kemitraan komprehensif strategis pada 3 Oktober 2013, kata mantan Dubes RI untuk Tiongkok periode 2014 -2017 ini.
Dalam perjalanan sejarah hubungan kedua bangsa dan negara, hubungan Indonesia dan Tiongkok tak luput dari pasang surut, dan bahkan pernah mencapai titik nadir saat pembekuan hubungan diplomatik di periode 1967 hingga 1990 karena terusik oleh peristiwa 30 September 1965.
Namun, di balik semua itu, akar hubungan kedua bangsa besar ini justru telah terjalin selama ribuan tahun. "Hal ini tercermin dari berbagai catatan yang ada di Tiongkok maupun peninggalan-peninggalan seperti saat muhibah Cheng Ho di berbagai wilayah di Indonesia", katanya.
Di tengah pandemi global Covid-19 yang memukul kesehatan publik dan ekonomi banyak negara di dunia, Sugeng memperkirakan bahwa Tiongkok akan menjadi negara yang terlebih dulu dapat recovery, baik dalam mengatasi Covid-19 maupun perekonomiannya. "Dalam mengatasi Covid-19, masyarakat Tiongkok memiliki sikap yang unggul, yaitu disiplin dalam menjalankan protokol kesehatan, komitmen untuk mematuhi setiap protokol kesehatan, dan konsisten dalam melaksanakan anjuran aturan pemerintah," ujarnya.
Sementara dalam perekonomian, Pemerintah Tiongkok tampaknya akan memanfaatkan pasar dalam negeri yang berjumlah sekitar 1,4 miliar orang secara maksimal untuk dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi secara positif. Melalui buku ini, Sugeng Rahardjo berharap berbagai pihak di Tanah Air berkenan membuka diri untuk belajar dari keberhasilan banyak negara dan bangsa lain, termasuk Tiongkok. "Kita tidak bisa mengubah dunia yang begitu luas ini selama kita hidup. Namun, yang harus kita lakukan adalah mulai dari diri kita sendiri untuk berubah sehingga hidup kita dapat berkontribusi positif bagi sesama," katanya.
Awalnya manfaat tersebut dapat dirasakan dalam keluarga, kemudian meluas ke lingkungan rumah, selanjutnya ke lingkungan yang lebih luas lagi seperti pekerjaan dan organisasi, serta pada akhirnya pada tingkat nasional. Buku yang dihadirkan dalam dua versi bahasa ini, mendapat apresiasi dari Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Asep Saefuddin.
Menurut Asep konten buku ini mencerminkan kecintaan Sugeng Rahardjo yang sangat dalam kepada bangsanya. "Semua disusun berdasarkan pengamatan dan analisis yang mendalam. Kalau Tiongkok bisa maju seperti ini, mengapa Indonesia tidak bisa?" katanya.
Oleh karena itu, buku yang ditulis oleh Sugeng Rahardjo ini sangat penting bukan hanya bagi para pejabat eksekutif dan legislatif negara saja, tapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia karena peta geopolitik dunia sedang berubah dengan kemajuan Tiongkok yang begitu masif, kata Asep Saefuddin. "Perubahan inilah yang harus dilihat sebagai peluang dan ditangkap dengan baik oleh Indonesia sehingga bisa menguntungkan bangsa. Juga apresiasi saya yang setinggi-tingginya kepada Bapak Sugeng Rahardjo yang menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Mandarin. Ini merupakan satu lompatan hubungan yang jauh ke masa depan," katanya.
Lihat Juga: Undang Pakar China Asal Singapura, FSI dan FISIP UPH Bahas Dampak Soft Power RRT di Indonesia
(cip)