Pertarungan Digital Jadi Kunci Kemenangan di Pilpres 2024
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2021 masih jauh. Sejumlah nama pesohor sudah mulai digadang-gadang bakal bertarung.
Pengamat komunikasi publik Sony Subrata memiliki pandangan tersendiri menjelang kontestasi di 2024 nanti. Berkacamata dari gelaran Pilpres 2019, dia memprediksi siapa yang bisa menguasai pertarungan digital kemungkinan besar akan menjadi pemenang di 2024.
Gelaran pesta demokrasi terbesar bangsa Indonesia pada 2019 telah memenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih. Kemenangan itu mengungguli perolehan duet Prabowo-Sandiaga Uno berdasarkan perhitungan suara manual Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Keberhasilan Jokowi-Ma’ruf Amin unggul di perolehan suara nasional KPU ini merupakan kerja keras seluruh komponen dalam Tim Kampanye Nasional (TKN), tak terkecuali tim media sosial yang sangat gencar mengkampanyekan pasangan tersebut.
Hal tersebut dipaparkannya saat menghadiri acara peluncuran buku Tarung Digital, Propaganda Komputasional di Berbagai Negara karangan Agus Sudibyo, secara virtual di Jakarta.
“Propaganda komputasional adalah kunci keberhasilan atau kegagalan kandidat Pilpres di 2024. Kita bisa belajar dari berbagai negara mengenai pemanfaatan dan penyalahgunaan berbagai platform media sosial untuk kebutuhan kampanye politik. Buku Tarung Digital memaparkan berbagai studi kasus riil yang terjadi di negara-negara demokrasi yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang akan mempersiapkan diri untuk berkampanye di 2024,” ujar Sony dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (9/4/2021).
Dalam pandangannya, hal tersebut relevan dengan kasus dua perusahaan raksasa digital Amerika Serikat, yakni Google dan Facebook telah diintervensi oleh negara lain untuk melakukan operasi propaganda komputasional yang berhasil memengaruhi pemilu di AS dengan dampak yang memecah belah bangsa.
“Investigasi Komite Senat AS membuktikan Rusia sengaja mencampuri Pemilu AS 2016 guna memenangkan Donald Trump dengan menyebarkan disinformasi tentang rival politiknya melalui Facebook, YouTube, Twitter, dan platform media sosial lain. Investigasi yang sama juga mengungkapkan skandal penyalahgunaan data puluhan juta pengguna Facebook untuk melakukan kampanye politik microtargeting yang dilakukan perusahaan konsultan kampanye bernama Cambridge Analytica,” sambung Sony.
Atas dasar ini, Sony juga menilai kontroversi tentang media sosial kerap terjadi di Indonesia. Bahkan, sampai begitu gawatnya permasalahan media sosial di Indonesia telah membuat Presiden Joko Widodo menyampaikan keprihatinannya secara terbuka beberapa kali.
“Keprihatinan Presiden Jokowi merujuk pada penggunaan media sosial untuk menyebarkan sikap antipati serta kebencian berdimensi politik dan agama yang sering kali terjadi di Indonesia belakangan ini,” tambahnya.
Oleh karena itu, Sony menyebut perlu ada perhatian pemerintah untuk menyikapi dengan tegas segala bentuk penyalahgunaan platform media sosial yang sering kali terjadi di Indonesia.
Dia juga menambahkan, propaganda komputasional dengan mudah memengaruhi pikiran dan pilihan politik banyak orang, dan bagaimana bisa berdampak terhadap kehidupan publik.
“Jika tidak ada perhatian pemerintah dengan segera, politik di era digital akan menjadi penuh dengan pembiaran rekayasa dan penyebaran kebohongan beserta semua dampaknya. Tentu saja hal ini kontraproduktif bagi demokrasi, juga bagi bangsa Indonesia secara khusus. Hal ini harus menjadi keprihatinan bersama, karena fakta menunjukkan bahwa penyelenggaraan dua pemilu terakhir di Indonesia telah memperlihatkan tanda-tanda adanya praktik propaganda komputasional itu,” pungkasnya.
Pengamat komunikasi publik Sony Subrata memiliki pandangan tersendiri menjelang kontestasi di 2024 nanti. Berkacamata dari gelaran Pilpres 2019, dia memprediksi siapa yang bisa menguasai pertarungan digital kemungkinan besar akan menjadi pemenang di 2024.
Gelaran pesta demokrasi terbesar bangsa Indonesia pada 2019 telah memenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih. Kemenangan itu mengungguli perolehan duet Prabowo-Sandiaga Uno berdasarkan perhitungan suara manual Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Keberhasilan Jokowi-Ma’ruf Amin unggul di perolehan suara nasional KPU ini merupakan kerja keras seluruh komponen dalam Tim Kampanye Nasional (TKN), tak terkecuali tim media sosial yang sangat gencar mengkampanyekan pasangan tersebut.
Hal tersebut dipaparkannya saat menghadiri acara peluncuran buku Tarung Digital, Propaganda Komputasional di Berbagai Negara karangan Agus Sudibyo, secara virtual di Jakarta.
“Propaganda komputasional adalah kunci keberhasilan atau kegagalan kandidat Pilpres di 2024. Kita bisa belajar dari berbagai negara mengenai pemanfaatan dan penyalahgunaan berbagai platform media sosial untuk kebutuhan kampanye politik. Buku Tarung Digital memaparkan berbagai studi kasus riil yang terjadi di negara-negara demokrasi yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang akan mempersiapkan diri untuk berkampanye di 2024,” ujar Sony dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Jumat (9/4/2021).
Dalam pandangannya, hal tersebut relevan dengan kasus dua perusahaan raksasa digital Amerika Serikat, yakni Google dan Facebook telah diintervensi oleh negara lain untuk melakukan operasi propaganda komputasional yang berhasil memengaruhi pemilu di AS dengan dampak yang memecah belah bangsa.
“Investigasi Komite Senat AS membuktikan Rusia sengaja mencampuri Pemilu AS 2016 guna memenangkan Donald Trump dengan menyebarkan disinformasi tentang rival politiknya melalui Facebook, YouTube, Twitter, dan platform media sosial lain. Investigasi yang sama juga mengungkapkan skandal penyalahgunaan data puluhan juta pengguna Facebook untuk melakukan kampanye politik microtargeting yang dilakukan perusahaan konsultan kampanye bernama Cambridge Analytica,” sambung Sony.
Atas dasar ini, Sony juga menilai kontroversi tentang media sosial kerap terjadi di Indonesia. Bahkan, sampai begitu gawatnya permasalahan media sosial di Indonesia telah membuat Presiden Joko Widodo menyampaikan keprihatinannya secara terbuka beberapa kali.
“Keprihatinan Presiden Jokowi merujuk pada penggunaan media sosial untuk menyebarkan sikap antipati serta kebencian berdimensi politik dan agama yang sering kali terjadi di Indonesia belakangan ini,” tambahnya.
Oleh karena itu, Sony menyebut perlu ada perhatian pemerintah untuk menyikapi dengan tegas segala bentuk penyalahgunaan platform media sosial yang sering kali terjadi di Indonesia.
Dia juga menambahkan, propaganda komputasional dengan mudah memengaruhi pikiran dan pilihan politik banyak orang, dan bagaimana bisa berdampak terhadap kehidupan publik.
“Jika tidak ada perhatian pemerintah dengan segera, politik di era digital akan menjadi penuh dengan pembiaran rekayasa dan penyebaran kebohongan beserta semua dampaknya. Tentu saja hal ini kontraproduktif bagi demokrasi, juga bagi bangsa Indonesia secara khusus. Hal ini harus menjadi keprihatinan bersama, karena fakta menunjukkan bahwa penyelenggaraan dua pemilu terakhir di Indonesia telah memperlihatkan tanda-tanda adanya praktik propaganda komputasional itu,” pungkasnya.
(dam)