Pulau di Indonesia Tidak untuk Dijual
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pulau Gili Tangkong dijual? Kasus ini heboh pada awal Februari lalu. Bagaimana tidak membuat geger, pulau seluas 28 hektare (ha) di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut secara terbuka diperjualbelikan di situs www.privateislandsonline.com.
Selain Gili Tangkong, situs tersebut total menjual delapan pulau, serta menawarkan penyewaan sejumlah pulau lain. Sebelumnya, sejumlah pulau lain juga diperjualkanbelikan, di antaranya Pulau Lantigiang yang berada di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Atas kasus tersebut, oknum bernama Kasman yang yang mengaku sebagai pemilik lahan di Pulau Lantigiang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Entah karena bernilai tinggi atau menjadi incaran, –termasuk dari warga negara asing-, kontroversi penjualan pulau tidak pernah berhenti, terutama di situs www.privateislandsonline.com. Tercatat sebelumnya situs dimaksud juga pernah mempromosikan jual beli sejumlah lain seperti Pulau Bidadari di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pulau Sultan dan Rupat di Kepri, Pulau Pendek di perairan Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Benarkah pulau-pulau di Tanah Air –terutama yang tidak berpenghuni- bisa diperjualbelikan? Info ini sekilas aneh dipertanyakan. Tapi faktanya, praktik jual beli pulau lazim dilakukan di sejumlah negara. Hal ini seperti terjadi di Kepulauan Karibia, Kepulauan Fiji dan kawasan Kepulauan Hawai di Amerika Serikat. Bahkan di saat pandemi ini, permintaan pembelian pulau pribadi kian meningkat.
Fakta ini terjadi karena banyak miliarder dari berbagai dunia yang mencari tempat perlindungan agar tetap bisa dengan damai dan sehat jauh dari virus Covid-19. Aksi para miliarder itu juga guna menyiapkan diri jika dunia menghadapi resesi besar yang berkepanjangan dikarenakan pandemi.
Salah satu pulau yang dijual di Fiji adalah Pulau Mai. Pulau itu memiliki pantai yang masih perawan, terumbu karang sempurna, dengan luas taman hutan tropis seluas 32 ha. Itu menjadi tempat paling sempurna untuk menghindari pandemi dan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia. Harga pulau tersebut di pasaran lebih dari USD4 juta, tidak terlalu mahal bagi miliarder yang punya rekening puluhan miliar dolar.
Pilihan utama para miliarder bukan hanya surga tropis dengan cuaca hangat, tetapi banyak juga miliarder yang memilih membeli pulau bernuansa dingin seperti Pulau Horse seluas 157 ha di Irlandia. Harga pulau tersebut mencapai 5,5 juta euro. Pulau itu sudah memiliki kediaman utama dengan enam vila, termasuk helipad dan lapangan tenis.
Nah, bagaimana dengan Indonesia? Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Dirjen Bina Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal menegaskan, penjualan pulau-pulau terluar dalam arti pemilikan secara total seluruh pulau telah secara tegas tidak diperbolehkan oleh peraturan perundangan. Menurut dia, area pulau hanya dapat dimanfaatkan dengan maksimal pemanfaatan 70% dari luas wilayah.
"Kami telah mengadakan pertemuan dengan stakeholder terkait dan dalam upaya pembentukan tim untuk memonitor implementasi pemanfaatan pulau-pulau terluar dalam rangka mencegah penjualan pulau-pulau terluar bertentangan dengan peraturan perundangan yang dikoordinir oleh Direktorat Toponimi dan Batas Daerah," tegas Safrizal, kemarin.
Dijelaskan, kebijakan pemanfaatan pulau-pulau terluar dan pedoman investasi di pulau-pulau teluar telah diatur dengan jelas dalam beberapa peraturan perundangan-undangan.
Sedikitnya ada tiga peraturan terkait, PP Nomor 62 tahun 2020 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar, Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Investasi di Pulau-pulau Kecil, dan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 jo Permen Kelautan dan Perikanan nomor 53 Tahun 2020 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Terluar dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas Kurang dari 100 km2.
"Menurut Kemendagri, pengelolaan pulau terluar agar tidak terjadi kasus penjualan pulau lagi yaitu mempercepat pelaksanakan sertifikasi pulau oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka penegakan peraturan perundangan di mana negara menguasai 70 %," ujarnya.
Safrizal menambahkan, Kemendagri melalui Ditjen Bina Adwil secara terus-menerus melakukan pengawasan terhadap pulau-pulau terluar. Satu di antara bentuk pengawasan tersebut yakni Kemendagri melakukan dan memberikan sosialisasi kepada perangkat daerah khususnya aparatur yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Materi sosialisasi di antaranya terkait dengan aturan-aturan dan batasan-batasan pemanfaatan pulau-pulau terluar.
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera melihat isu penjualan pulau terluar Indonesia bukan hal baru. Ini menjadi isu lama yang terus ‘dimainkan’. Walaupun secara hukum penjualan pulau tidak terjadi, namun kenyataan di lapangan ada beberapa pulau tidak bisa dimasuki penduduk dan dijaga ketat oleh orang tertentu.
“Rumornya diikuti dengan berbagai fakta, contohnya ada beberapa pulau yang katanya tidak dijual tetapi ketika penduduk mau masuk ternyata dijaga dan tidak bisa dimasuki. Ini bukan isu temporer, ini isu lama sehingga pemerintah harus membuat keputusan, jangan mengambangkan saja,” katanya.
Mengadapi persoalan tersebut, menurut dia pemerintah harus membuat payung hukum yang tegas misalnya soal Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan dalam jangka waktu 30 tahun plus 30 tahun lagi. Itu juga harus diikuti dengan syarat ketat dan akuntabilitas publik yang jelas sehingga dapat terukur cost benefit analisis.
Dengan demikian apa yang didapat pemerintah dalam memberikan Hak Guna Usaha (HGU) sebuah pulau sudah terukur dan menjadi pemasukan pemerinta baik pusat dan daerah.
“Dengan adanya payung hukum yang jelas akan ketahuan cost benefit analisis jadi apa yang didapat pemerintah menjadi jelas. Konservasi pun dapat terjaga dan CSR pun dilakukan dan membuat penduduk merasa diberdayakan oleh pengelola,” ungkapnya.
Dia juga meminta pemerintah memberikan perhatian lebih pada keberadaan pulau-pulau tersebut. Hal yang sedang dilakukan pemerintah melalui Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) di bawah Kementwrian Dalam Negeri.
Hanya saja, kata Mardani. upaya pemerintah tersebut terkendala soal anggaran. Fokusnya sekarang pada Pelayanan Lintas Batas Negara (PLBN). Saat ini Indonesia sudah punya PLBN yang bagus di perbatasan Timor Leste dengan Malaysia. Namun dengan luasnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka harus ada terobosan yang tepat guna.
“Segera saja pemerintah membuat definisi 17.000-an pulau itu yang mana saja. Banyak pulau yang tidak bernama, mungkin lima tahun ini pekerjaan kita mendefinisikan mana pulau yang punya pemerintah pusat pengelolaannya," kata dia.
DIa menambahkan harus ditentukan mana yang daerah itu yang masuk provinsi dan kabupaten. Kemudian, dijelaskan hak dan kewajiban masing-masing.
"Dengan hak dan kewajiban jelas maka kita bisa dapat aspek lingkungan tejaga, ekonomi dapat, swasta senang, masyarakat dapat hiburan. Kuncinya adalah manajemen yang baik,” katanya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Eddy Pratomo mengaku tidak melihat adanya jual beli pulau, apalagi pulau terluar. Apalagi keberadaan pulau terluar menjadi best point dan dijadikan titik dasar dari sebuah garis pangkal kepulauan.
“Setidaknya ada dua elemen penting dalam rangka kedaulatan negara. Yaitu geo strategic dan geo politik. Pulau terluar itu harusnya tidak dijual belikan dan tidak boleh. Saya melihat tidak akan (diperjualbelikan) karena persoalannya berhadapan dengan negara lain dan pulau tersebut menjadi titik dasar garis klaim laut. Jadi saya tidak yakin kalau ada pulau yang dijual,” katanya.
Dia juga melihat, pulau terluar tidak mungkin bisa diperjualbelikan karena ada aturan yang baku. Yang memungkinkan hanya semacam hak pakai pengelolaan saja yang dibatasi hanya 70% saja. “Ini harus tegas. Jadi menurut saya ngga masuk akal kalau ada praktek jual beli pulau terluar,” katanya.
Dalam pandangannya, kebijakan pemerintah saat ini sudah baik yaitu dengan mendaftarkan keberadaan pulau terluar ke Sekretariat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York tahun 1998 lalu. Dengan demikian maka peraturan pemerintah tentang titik dasar kordinat tidak bisa dirampas atau diambil orang lain atau intervensi kekuatan asing karena ketika didaftarkan saat itu tidak ada yang protes.
Sertifikasi
Sementara itu, Direktur Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu Kementerian ATR/BPN Asnawati Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) memastikan, pihaknya bakal melakukan sertifkasi pulau-pulau kecil di Indonesia. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penjualan pulau-pulau kecil milik negara.
Menurut dia, sertifkasi pulau-pulau kecil di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) akan dilakukan bertahap. Sebagai proyek percontohan atau pilot project, ada beberapa pulau kecil yang akan diutamakan untuk dilakukan sertifkasi.
Misalnya adalah pulau-pulau kecil yang ada di Kabupaten Wakatobi. Selain itu, beberapa pulau seperti pulau kecil di gugusan Raja Ampat hingga Rote di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga akan diutamakan.
“Sebagai pilot project tahun ini kami akan melakukan serifikasi pulau-pulau di Kabupaten Wakatobi, di pulau-pulau kecil gugusan pulau Raja Ampat, pulau kecil di Rote NTT dan termasuk juga di Kepulauan Riau, yaitu Pulau Batu Berhanti, Pulau Karimun Kecil,” ujarnya dalam acara Konferensi Pers PPTR Expo 2021 menjawab publik di Kantor Kementerian ATR/BPN, Senin (8/2/2021).
Menurut Asnawati, pulau-pulau tersebut menjadi prioritas karena berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti pulau di wilayah di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura hingga Malaysia. Namun, Asnawati mengaku pihaknya belum mengetahui berapa jumlah pulau yang disertifkasi. Pihaknya masih harus melakukan identifikasi dan validasi sebelum memberikan sertifikat pada pulau-pulau terluar tersebut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) juga menjelaskan, program sertifikasi hak atas tanah di Pulau-Pulau Kecil dan Terluar (PPKT) terus dilakukan oleh KKP melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL). Hingga 2020, KKP telah mensertifikatkan sebanyak 47 bidang tanah di 38 PPKT dan 3 pulau kecil lainnya.
Dirjen PRL, TB Haeru Rahayu mengatakan, program sertifikasi merupakan bagian dari program penataan pemanfaatan PPKT guna menjaga keutuhan NKRI serta memanfaatkan sumber daya alam untuk pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan.
"Pendayagunaan pulau-pulau kecil merupakan salah satu program prioritas KKP yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kemanfaatannya bagi kedaulatan negara, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan," ujar dia di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, penataan dan optimalisasi pemanfaatan PPKT dilatar belakangi oleh maraknya permasalahan pertanahan terutama oleh investasi asing di pulau-pulau kecil yang terkait dengan pemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah.
Hal ini diperkuat oleh adanya beberapa isu-isu sensitif di pulau kecil seperti penjualan pulau-pulau kecil, penguasaan pulau kecil oleh Warga Negara Asing (private island), kerusakan lingkungan di PPKT, konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya di PPKT serta aktivitas ilegal seperti illegal fishing, illegal logging serta penyelundupan orang dan barang di PPKT.
"Sebagai bentuk antisipasi dan solusi bagi permasalahan tersebut, sekaligus sebagai perwujudan dari tujuan pemanfaatan PPKT, KKP sejak tahun 2017 telah melakukan pensertipikatan Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan di PPKT atas nama Pemerintah RI c.q. KKP di Pulau-Pulau Kecil Terluar," ungkap dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan, PPKT memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia.
"Saat ini Indonesia telah menetapkan 111 PPKT berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Selain itu, Indonesia juga telah mendepositkan pulau-pulau yang telah dibakukan namanya ke PBB sebanyak 16.671 pulau," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P4K) Muhammad Yusuf mengungkapkan, pada 2020, sertifikasi hak atas tanah dilakukan di Pulau Rangsang Kab Kepulauan Meranti seluas 8.924 meter persegi, Pulau Bertuah Kab. Pesisir Barat seluas 40.000 meter persegi, Pulau Sabu Kab. Sabu Raijua 115.190 meter persegi, dan di Pulau Rusa Kab. Aceh Besar seluas 1.000 meter persegi.
"Untuk sertifikat-sertifikat Hak Pakai atas tanah di Pulau Sabu, Kab. Sabu Raijua, Prov. NTT sebanyak 2 bidang, yaitu bidang pertama seluas 99.500 meter persegi di Desa Dainao, Kec. Sabu Liae dan bidang kedua seluas 15.690 meter persegi di Desa Waduwulla, Kec. Sabu Liae," tandas Yusuf.
Selain Gili Tangkong, situs tersebut total menjual delapan pulau, serta menawarkan penyewaan sejumlah pulau lain. Sebelumnya, sejumlah pulau lain juga diperjualkanbelikan, di antaranya Pulau Lantigiang yang berada di Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Atas kasus tersebut, oknum bernama Kasman yang yang mengaku sebagai pemilik lahan di Pulau Lantigiang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Entah karena bernilai tinggi atau menjadi incaran, –termasuk dari warga negara asing-, kontroversi penjualan pulau tidak pernah berhenti, terutama di situs www.privateislandsonline.com. Tercatat sebelumnya situs dimaksud juga pernah mempromosikan jual beli sejumlah lain seperti Pulau Bidadari di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pulau Sultan dan Rupat di Kepri, Pulau Pendek di perairan Pulau Buton, Sulawesi Tenggara.
Benarkah pulau-pulau di Tanah Air –terutama yang tidak berpenghuni- bisa diperjualbelikan? Info ini sekilas aneh dipertanyakan. Tapi faktanya, praktik jual beli pulau lazim dilakukan di sejumlah negara. Hal ini seperti terjadi di Kepulauan Karibia, Kepulauan Fiji dan kawasan Kepulauan Hawai di Amerika Serikat. Bahkan di saat pandemi ini, permintaan pembelian pulau pribadi kian meningkat.
Fakta ini terjadi karena banyak miliarder dari berbagai dunia yang mencari tempat perlindungan agar tetap bisa dengan damai dan sehat jauh dari virus Covid-19. Aksi para miliarder itu juga guna menyiapkan diri jika dunia menghadapi resesi besar yang berkepanjangan dikarenakan pandemi.
Salah satu pulau yang dijual di Fiji adalah Pulau Mai. Pulau itu memiliki pantai yang masih perawan, terumbu karang sempurna, dengan luas taman hutan tropis seluas 32 ha. Itu menjadi tempat paling sempurna untuk menghindari pandemi dan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk dunia. Harga pulau tersebut di pasaran lebih dari USD4 juta, tidak terlalu mahal bagi miliarder yang punya rekening puluhan miliar dolar.
Pilihan utama para miliarder bukan hanya surga tropis dengan cuaca hangat, tetapi banyak juga miliarder yang memilih membeli pulau bernuansa dingin seperti Pulau Horse seluas 157 ha di Irlandia. Harga pulau tersebut mencapai 5,5 juta euro. Pulau itu sudah memiliki kediaman utama dengan enam vila, termasuk helipad dan lapangan tenis.
Nah, bagaimana dengan Indonesia? Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Dirjen Bina Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal menegaskan, penjualan pulau-pulau terluar dalam arti pemilikan secara total seluruh pulau telah secara tegas tidak diperbolehkan oleh peraturan perundangan. Menurut dia, area pulau hanya dapat dimanfaatkan dengan maksimal pemanfaatan 70% dari luas wilayah.
"Kami telah mengadakan pertemuan dengan stakeholder terkait dan dalam upaya pembentukan tim untuk memonitor implementasi pemanfaatan pulau-pulau terluar dalam rangka mencegah penjualan pulau-pulau terluar bertentangan dengan peraturan perundangan yang dikoordinir oleh Direktorat Toponimi dan Batas Daerah," tegas Safrizal, kemarin.
Dijelaskan, kebijakan pemanfaatan pulau-pulau terluar dan pedoman investasi di pulau-pulau teluar telah diatur dengan jelas dalam beberapa peraturan perundangan-undangan.
Sedikitnya ada tiga peraturan terkait, PP Nomor 62 tahun 2020 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil Terluar, Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Investasi di Pulau-pulau Kecil, dan Permen Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 jo Permen Kelautan dan Perikanan nomor 53 Tahun 2020 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Terluar dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Rekomendasi Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dengan Luas Kurang dari 100 km2.
"Menurut Kemendagri, pengelolaan pulau terluar agar tidak terjadi kasus penjualan pulau lagi yaitu mempercepat pelaksanakan sertifikasi pulau oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka penegakan peraturan perundangan di mana negara menguasai 70 %," ujarnya.
Safrizal menambahkan, Kemendagri melalui Ditjen Bina Adwil secara terus-menerus melakukan pengawasan terhadap pulau-pulau terluar. Satu di antara bentuk pengawasan tersebut yakni Kemendagri melakukan dan memberikan sosialisasi kepada perangkat daerah khususnya aparatur yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Materi sosialisasi di antaranya terkait dengan aturan-aturan dan batasan-batasan pemanfaatan pulau-pulau terluar.
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKS Mardani Ali Sera melihat isu penjualan pulau terluar Indonesia bukan hal baru. Ini menjadi isu lama yang terus ‘dimainkan’. Walaupun secara hukum penjualan pulau tidak terjadi, namun kenyataan di lapangan ada beberapa pulau tidak bisa dimasuki penduduk dan dijaga ketat oleh orang tertentu.
“Rumornya diikuti dengan berbagai fakta, contohnya ada beberapa pulau yang katanya tidak dijual tetapi ketika penduduk mau masuk ternyata dijaga dan tidak bisa dimasuki. Ini bukan isu temporer, ini isu lama sehingga pemerintah harus membuat keputusan, jangan mengambangkan saja,” katanya.
Mengadapi persoalan tersebut, menurut dia pemerintah harus membuat payung hukum yang tegas misalnya soal Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan dalam jangka waktu 30 tahun plus 30 tahun lagi. Itu juga harus diikuti dengan syarat ketat dan akuntabilitas publik yang jelas sehingga dapat terukur cost benefit analisis.
Dengan demikian apa yang didapat pemerintah dalam memberikan Hak Guna Usaha (HGU) sebuah pulau sudah terukur dan menjadi pemasukan pemerinta baik pusat dan daerah.
“Dengan adanya payung hukum yang jelas akan ketahuan cost benefit analisis jadi apa yang didapat pemerintah menjadi jelas. Konservasi pun dapat terjaga dan CSR pun dilakukan dan membuat penduduk merasa diberdayakan oleh pengelola,” ungkapnya.
Dia juga meminta pemerintah memberikan perhatian lebih pada keberadaan pulau-pulau tersebut. Hal yang sedang dilakukan pemerintah melalui Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) di bawah Kementwrian Dalam Negeri.
Hanya saja, kata Mardani. upaya pemerintah tersebut terkendala soal anggaran. Fokusnya sekarang pada Pelayanan Lintas Batas Negara (PLBN). Saat ini Indonesia sudah punya PLBN yang bagus di perbatasan Timor Leste dengan Malaysia. Namun dengan luasnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka harus ada terobosan yang tepat guna.
“Segera saja pemerintah membuat definisi 17.000-an pulau itu yang mana saja. Banyak pulau yang tidak bernama, mungkin lima tahun ini pekerjaan kita mendefinisikan mana pulau yang punya pemerintah pusat pengelolaannya," kata dia.
DIa menambahkan harus ditentukan mana yang daerah itu yang masuk provinsi dan kabupaten. Kemudian, dijelaskan hak dan kewajiban masing-masing.
"Dengan hak dan kewajiban jelas maka kita bisa dapat aspek lingkungan tejaga, ekonomi dapat, swasta senang, masyarakat dapat hiburan. Kuncinya adalah manajemen yang baik,” katanya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Eddy Pratomo mengaku tidak melihat adanya jual beli pulau, apalagi pulau terluar. Apalagi keberadaan pulau terluar menjadi best point dan dijadikan titik dasar dari sebuah garis pangkal kepulauan.
“Setidaknya ada dua elemen penting dalam rangka kedaulatan negara. Yaitu geo strategic dan geo politik. Pulau terluar itu harusnya tidak dijual belikan dan tidak boleh. Saya melihat tidak akan (diperjualbelikan) karena persoalannya berhadapan dengan negara lain dan pulau tersebut menjadi titik dasar garis klaim laut. Jadi saya tidak yakin kalau ada pulau yang dijual,” katanya.
Dia juga melihat, pulau terluar tidak mungkin bisa diperjualbelikan karena ada aturan yang baku. Yang memungkinkan hanya semacam hak pakai pengelolaan saja yang dibatasi hanya 70% saja. “Ini harus tegas. Jadi menurut saya ngga masuk akal kalau ada praktek jual beli pulau terluar,” katanya.
Dalam pandangannya, kebijakan pemerintah saat ini sudah baik yaitu dengan mendaftarkan keberadaan pulau terluar ke Sekretariat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York tahun 1998 lalu. Dengan demikian maka peraturan pemerintah tentang titik dasar kordinat tidak bisa dirampas atau diambil orang lain atau intervensi kekuatan asing karena ketika didaftarkan saat itu tidak ada yang protes.
Sertifikasi
Sementara itu, Direktur Pengendalian Hak Tanah, Alih Fungsi Lahan, Kepulauan dan Wilayah Tertentu Kementerian ATR/BPN Asnawati Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) memastikan, pihaknya bakal melakukan sertifkasi pulau-pulau kecil di Indonesia. Langkah ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penjualan pulau-pulau kecil milik negara.
Menurut dia, sertifkasi pulau-pulau kecil di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T) akan dilakukan bertahap. Sebagai proyek percontohan atau pilot project, ada beberapa pulau kecil yang akan diutamakan untuk dilakukan sertifkasi.
Misalnya adalah pulau-pulau kecil yang ada di Kabupaten Wakatobi. Selain itu, beberapa pulau seperti pulau kecil di gugusan Raja Ampat hingga Rote di Nusa Tenggara Timur (NTT) juga akan diutamakan.
“Sebagai pilot project tahun ini kami akan melakukan serifikasi pulau-pulau di Kabupaten Wakatobi, di pulau-pulau kecil gugusan pulau Raja Ampat, pulau kecil di Rote NTT dan termasuk juga di Kepulauan Riau, yaitu Pulau Batu Berhanti, Pulau Karimun Kecil,” ujarnya dalam acara Konferensi Pers PPTR Expo 2021 menjawab publik di Kantor Kementerian ATR/BPN, Senin (8/2/2021).
Menurut Asnawati, pulau-pulau tersebut menjadi prioritas karena berbatasan langsung dengan negara tetangga, seperti pulau di wilayah di Kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura hingga Malaysia. Namun, Asnawati mengaku pihaknya belum mengetahui berapa jumlah pulau yang disertifkasi. Pihaknya masih harus melakukan identifikasi dan validasi sebelum memberikan sertifikat pada pulau-pulau terluar tersebut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL) juga menjelaskan, program sertifikasi hak atas tanah di Pulau-Pulau Kecil dan Terluar (PPKT) terus dilakukan oleh KKP melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL). Hingga 2020, KKP telah mensertifikatkan sebanyak 47 bidang tanah di 38 PPKT dan 3 pulau kecil lainnya.
Dirjen PRL, TB Haeru Rahayu mengatakan, program sertifikasi merupakan bagian dari program penataan pemanfaatan PPKT guna menjaga keutuhan NKRI serta memanfaatkan sumber daya alam untuk pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan.
"Pendayagunaan pulau-pulau kecil merupakan salah satu program prioritas KKP yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kemanfaatannya bagi kedaulatan negara, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan," ujar dia di Jakarta beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, penataan dan optimalisasi pemanfaatan PPKT dilatar belakangi oleh maraknya permasalahan pertanahan terutama oleh investasi asing di pulau-pulau kecil yang terkait dengan pemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah.
Hal ini diperkuat oleh adanya beberapa isu-isu sensitif di pulau kecil seperti penjualan pulau-pulau kecil, penguasaan pulau kecil oleh Warga Negara Asing (private island), kerusakan lingkungan di PPKT, konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya di PPKT serta aktivitas ilegal seperti illegal fishing, illegal logging serta penyelundupan orang dan barang di PPKT.
"Sebagai bentuk antisipasi dan solusi bagi permasalahan tersebut, sekaligus sebagai perwujudan dari tujuan pemanfaatan PPKT, KKP sejak tahun 2017 telah melakukan pensertipikatan Hak Atas Tanah/Hak Pengelolaan di PPKT atas nama Pemerintah RI c.q. KKP di Pulau-Pulau Kecil Terluar," ungkap dia.
Lebih lanjut dia menjelaskan, PPKT memiliki nilai strategis sebagai Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia.
"Saat ini Indonesia telah menetapkan 111 PPKT berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Selain itu, Indonesia juga telah mendepositkan pulau-pulau yang telah dibakukan namanya ke PBB sebanyak 16.671 pulau," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P4K) Muhammad Yusuf mengungkapkan, pada 2020, sertifikasi hak atas tanah dilakukan di Pulau Rangsang Kab Kepulauan Meranti seluas 8.924 meter persegi, Pulau Bertuah Kab. Pesisir Barat seluas 40.000 meter persegi, Pulau Sabu Kab. Sabu Raijua 115.190 meter persegi, dan di Pulau Rusa Kab. Aceh Besar seluas 1.000 meter persegi.
"Untuk sertifikat-sertifikat Hak Pakai atas tanah di Pulau Sabu, Kab. Sabu Raijua, Prov. NTT sebanyak 2 bidang, yaitu bidang pertama seluas 99.500 meter persegi di Desa Dainao, Kec. Sabu Liae dan bidang kedua seluas 15.690 meter persegi di Desa Waduwulla, Kec. Sabu Liae," tandas Yusuf.
(ynt)