Puisi Curhat SBY Dapat Tandingan: Karma Tak Harus Datang Segera, tapi Pasti
loading...
A
A
A
JAKARTA - Puisi Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjudul ‘Kebenaran dan Keadilan Datangnya Sering Terlambat, Tapi Pasti' mendapat respons banyak pihak. Bahkan, kini muncul puisi tandingan yang dibuat oleh Divisi Komunikasi Publik Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI), Bobby Triadi.
Puisi berjudul Renungan Karma Buat SBY tersebut diunggah di kanal YouTube KOMATKAMIT dan di komat-kamit.id.
Dalam keterangan di kanal YouTube itu, disebutkan bahwa KOMATKAMIT dibuat khusus orang-orang dewasa, dewasa pikiran, dewasa hati dan tidak baperan.
Berikut puisi karya Bobby Triadi tersebut:
PUISI "RENUNGAN KARMA" BUAT SBY
Malam itu kau melihat cikeas bagai kota mati. atau seperti dusun kecil yang terbentang di kaki bukit yang sunyi. suasana sungguh mencekam, hening dan sepi. Ah, itu hanya perasaan saja.
Malam ketika kau membuka jendela tua itu, malam yang tanpa gemerlap bintang seperti masa lalu. Tak ada lagi cahaya rembulan yang mendampingi, tak ada lagi gemerlap bintang.
Deras hujan pujian dimasa jaya, pun telah pergi. Kini tinggal derak degub jantung yang terdengar lirih. Akankah malam-malam yang akan datang, akan menjadi malam yang sama?
Aku tau, aku tau tanpa perlu kau katakan dengan nada lirih. Tentang mata yang sulit terpejam. tentang hati yang terus terjaga dan tentang pikiran yang terus mengembara. Hingga kursi coklat tua itu memanggil.
Cobaan adalah karma. Bukan cobaan yang datang tanpa sebab. Mengapa karma menghampiri mu hari-hari ini? Apa yang telah kau perbuat dan lakukan terhadap sahabat, sahabat yang dulu, memanggul tubuh besar mu menuju masa-masa kejayaan itu?
Apa yang telah kau perbuat kepada mereka-mereka, yang hingga kau hari-hari ini merasakan luka? Dan kenapa perih luka itu juga harus anak-anak mu rasakan? Kenapa karma mu harus dirasakan oleh anak-anak mu, menantu-menantu mu dan cucu-cucu mu?
Aku tau, kau tak ingin mereka merasakan perihnya luka karena karma mu. Sebenarnya, aku tak hendak meratap seperti mu. Aku juga anak kampung yang dibesarkan penuh dengan tantangan. Jauh dari kecukupan dan kemudahan.
Tapi itu tak membuat ku harus dendam dengan masa lalu itu. aku tak harus menjadi orang yang rakus atas segalanya. Aku tak harus menjadi orang sadis yang menghalalkan segala cara untuk melukai orang lain dengan wajah sendu yang hanyalah topeng-topeng dengan beragam karakter jiwa. karakter hati.
Kau tak perlu bersedih. Bersedih tentang perlakuan yang kini kau dapat diluar masa berkuasa. Sesuatu yang ketika kekuasaan ada ditangan mu, perlakuan tak terpuji itu kerap terjadi. Terjadi dengan meminjam tangan-tangan orang lain, agar tangan mu tetap terlihat bersih tak bernoda.
Ku yakin, inilah karma. Karma yang datang tak harus segera. Karma yang datang dengan kepastian. Satu yang harus kau lakukan untuk menyingkirkan karma, meminta maaf dan dimaafkan. datangi mereka-mereka yang kau sakit dengan brutal.
Aku prihatin, bukan karena kau suka prihatin. tuhan tidak suka.
Lihat Juga: 4 Kapolri Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ada yang Menjabat di Era SBY dan Jokowi
Puisi berjudul Renungan Karma Buat SBY tersebut diunggah di kanal YouTube KOMATKAMIT dan di komat-kamit.id.
Dalam keterangan di kanal YouTube itu, disebutkan bahwa KOMATKAMIT dibuat khusus orang-orang dewasa, dewasa pikiran, dewasa hati dan tidak baperan.
Berikut puisi karya Bobby Triadi tersebut:
PUISI "RENUNGAN KARMA" BUAT SBY
Malam itu kau melihat cikeas bagai kota mati. atau seperti dusun kecil yang terbentang di kaki bukit yang sunyi. suasana sungguh mencekam, hening dan sepi. Ah, itu hanya perasaan saja.
Malam ketika kau membuka jendela tua itu, malam yang tanpa gemerlap bintang seperti masa lalu. Tak ada lagi cahaya rembulan yang mendampingi, tak ada lagi gemerlap bintang.
Deras hujan pujian dimasa jaya, pun telah pergi. Kini tinggal derak degub jantung yang terdengar lirih. Akankah malam-malam yang akan datang, akan menjadi malam yang sama?
Aku tau, aku tau tanpa perlu kau katakan dengan nada lirih. Tentang mata yang sulit terpejam. tentang hati yang terus terjaga dan tentang pikiran yang terus mengembara. Hingga kursi coklat tua itu memanggil.
Cobaan adalah karma. Bukan cobaan yang datang tanpa sebab. Mengapa karma menghampiri mu hari-hari ini? Apa yang telah kau perbuat dan lakukan terhadap sahabat, sahabat yang dulu, memanggul tubuh besar mu menuju masa-masa kejayaan itu?
Apa yang telah kau perbuat kepada mereka-mereka, yang hingga kau hari-hari ini merasakan luka? Dan kenapa perih luka itu juga harus anak-anak mu rasakan? Kenapa karma mu harus dirasakan oleh anak-anak mu, menantu-menantu mu dan cucu-cucu mu?
Aku tau, kau tak ingin mereka merasakan perihnya luka karena karma mu. Sebenarnya, aku tak hendak meratap seperti mu. Aku juga anak kampung yang dibesarkan penuh dengan tantangan. Jauh dari kecukupan dan kemudahan.
Tapi itu tak membuat ku harus dendam dengan masa lalu itu. aku tak harus menjadi orang yang rakus atas segalanya. Aku tak harus menjadi orang sadis yang menghalalkan segala cara untuk melukai orang lain dengan wajah sendu yang hanyalah topeng-topeng dengan beragam karakter jiwa. karakter hati.
Kau tak perlu bersedih. Bersedih tentang perlakuan yang kini kau dapat diluar masa berkuasa. Sesuatu yang ketika kekuasaan ada ditangan mu, perlakuan tak terpuji itu kerap terjadi. Terjadi dengan meminjam tangan-tangan orang lain, agar tangan mu tetap terlihat bersih tak bernoda.
Ku yakin, inilah karma. Karma yang datang tak harus segera. Karma yang datang dengan kepastian. Satu yang harus kau lakukan untuk menyingkirkan karma, meminta maaf dan dimaafkan. datangi mereka-mereka yang kau sakit dengan brutal.
Aku prihatin, bukan karena kau suka prihatin. tuhan tidak suka.
Lihat Juga: 4 Kapolri Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ada yang Menjabat di Era SBY dan Jokowi
(muh)