Pengamat Australia: KLB Ilegal Akan Hancurkan Partai Demokrat
loading...
A
A
A
BANDUNG - Dua ahli Indonesia (Indonesianis) asal Australia berpendapat Kongres Luar Biasa ( KLB) ilegal akan menghancurkan Partai Demokrat . Mereka tidak yakin Partai Demokrat tetap dipilih konstituennya yang saat ini berjumlah lebih dari 10 juta orang jika dicaplok oleh Kepala KSP Moeldoko.
Jadi, ini bukan sekadar upaya mencari kendaraan politik untuk pencapresan tapi upaya terstruktur dan sistematis untuk melemahkan oposisi yang merupakan salah satu ciri otoritarianisme.
Ahli Indonesia terkemuka Dr Marcus Meitzner dari Australia National University (ANU) mengatakan Partai Demokrat dipilih karena faktor ketokohan yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Jika mereka tidak ada, partai ini kehilangan daya tarik utamanya,” ujar Meitzner dalam webinar yang diselenggarakan Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan Universitas Parahyangan, Bandung, belum lama ini.
“Jika kepemimpinan Partai Demokrat diambil-alih Moeldoko, saya yakin elektabilitas Partai Demokrat akan terjun bebas menjadi 1-2 persen saja dan tidak akan lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2024,” kata dia sudah meneliti politik Indonesia selama lebih dari satu dekade.
Rekannya sesama Indonesianis, Dr Thomas Power dari University of Sydney menarik kesimpulan serupa. “Bagaimana mungkin AHY yang elektabilitasnya 7-8 persen, digantikan oleh orang yang elektabilitasnya nol persen? Jadi, upaya kudeta ini tak bisa lain hanya bisa dibaca sebagai upaya menghancurkan Partai Demokrat,” ujarnya.
Thomas berspekulasi bahwa boleh jadi ini bagian dari upaya memuluskan rencana masa jabatan presiden tiga periode.
Kedua pengamat Indonesia ini secara terbuka mengaku tidak paham mengapa Presiden Jokowi tidak menyampaikan pernyataan atau melakukan tindakan atas upaya Kepala KSP Moeldoko mencaplok Partai Demokrat ini. Mereka tidak yakin presiden tidak tahu mengingat posisi Kepala Staf Kantor Presiden atau di luar negeri biasa disebut sebagai Chief of Staff pada dasarnya melekat pada presiden.
Pada pemerintahan-pemerintahan demokratis lainnya, tindakan seperti ini biasanya berujung pada pengunduran diri atau pemberhentian dari jabatan. Tapi mereka sepakat upaya pencaplokan partai ini menambah kuat sinyal memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia, yang sudah dilontarkan banyak pengamat dan lembaga internasional dalam beberapa tahun terakhir ini.
Webinar ini bertajuk Kudeta Demokrat: Otoritarianisme Pemerintah? Selain Meitzner dan Power, Khoirunnisa Agustyati dari Perludem juga hadir menjadi pembicara.
Jadi, ini bukan sekadar upaya mencari kendaraan politik untuk pencapresan tapi upaya terstruktur dan sistematis untuk melemahkan oposisi yang merupakan salah satu ciri otoritarianisme.
Ahli Indonesia terkemuka Dr Marcus Meitzner dari Australia National University (ANU) mengatakan Partai Demokrat dipilih karena faktor ketokohan yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Jika mereka tidak ada, partai ini kehilangan daya tarik utamanya,” ujar Meitzner dalam webinar yang diselenggarakan Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan Universitas Parahyangan, Bandung, belum lama ini.
“Jika kepemimpinan Partai Demokrat diambil-alih Moeldoko, saya yakin elektabilitas Partai Demokrat akan terjun bebas menjadi 1-2 persen saja dan tidak akan lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2024,” kata dia sudah meneliti politik Indonesia selama lebih dari satu dekade.
Rekannya sesama Indonesianis, Dr Thomas Power dari University of Sydney menarik kesimpulan serupa. “Bagaimana mungkin AHY yang elektabilitasnya 7-8 persen, digantikan oleh orang yang elektabilitasnya nol persen? Jadi, upaya kudeta ini tak bisa lain hanya bisa dibaca sebagai upaya menghancurkan Partai Demokrat,” ujarnya.
Thomas berspekulasi bahwa boleh jadi ini bagian dari upaya memuluskan rencana masa jabatan presiden tiga periode.
Kedua pengamat Indonesia ini secara terbuka mengaku tidak paham mengapa Presiden Jokowi tidak menyampaikan pernyataan atau melakukan tindakan atas upaya Kepala KSP Moeldoko mencaplok Partai Demokrat ini. Mereka tidak yakin presiden tidak tahu mengingat posisi Kepala Staf Kantor Presiden atau di luar negeri biasa disebut sebagai Chief of Staff pada dasarnya melekat pada presiden.
Pada pemerintahan-pemerintahan demokratis lainnya, tindakan seperti ini biasanya berujung pada pengunduran diri atau pemberhentian dari jabatan. Tapi mereka sepakat upaya pencaplokan partai ini menambah kuat sinyal memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia, yang sudah dilontarkan banyak pengamat dan lembaga internasional dalam beberapa tahun terakhir ini.
Webinar ini bertajuk Kudeta Demokrat: Otoritarianisme Pemerintah? Selain Meitzner dan Power, Khoirunnisa Agustyati dari Perludem juga hadir menjadi pembicara.
(kri)