Pencalonan Airlangga Hartarto di Pilpres 2024 Patut Diperhitungkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Partai Golkar 2021 yang digelar pada 5-6 Maret kemarin, para pemilik suara di Partai Golkar menginginkan Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar Airlangga Hartarto menjadi calon presiden (Capres) pada Pemilu Serentak 2024 mendatang.
Terkait hal ini, Analis Politik dari Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menjelaskan, dalam pencalonan seseorang sebagai capres di 2024, ada beberapa parameter. Parameter pertama adalah kandidat-kandidat yang punya popularitas elektabilitas, parameter kedua harus rasional dan berbasis kekuatan partai politik. "Kalau parameter popularitas dan elektablitas seperti Anies (Gubernur DKI), Ganjar (Gubernur Jawa Tengah), dan lain-lain, problemnya mereka itu dukungan partai politik dan tidak punya keistimewaan untuk dapat dukungan politik," kata Adi saat dihubungi, Senin (8/3/2021).
Dosen FISIP UIN Jakarta ini menjelaskan, Anies populer dan elektabilitasnya bagus, tapi sampai saat ini belum ada yang melihat atau mau mendukung, sama halnya dengan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa dan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.
"Risma dan Ganjar juga populer tapi belum ada jaminan bahwa mereka akan didukung oleh PDIP. Apalagi pada saat yang bersamaan PDIP juga sangat tertarik untuk menyorongkan Puan maju bertanding dengan yang lain, karena saat ini adalah eranya Puan. Parameter yang pertama adalah yang maju bekalnya popularitas dan elektabilitas, tapi problemnya yang populer dan elektabilitas lumayan ini nggak punya sokongan partai yang pasti. Itu problemnya, sementara dia untuk daftar ke KPU harus memenuhi 20% ambang batas pencapresan," sambung Adi.
Bicara parameter kedua, Adi menjelaskan, maka nama Airlangga cukup rasional untuk diperhitungkan di 2024. Dengan perolehan 12% suara Golkar di Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 lalu, tentu praktis bagi Golkar hanya butuh 1 parpol lagi untuk mendaftarkan Airlangga bersama cawapresnya ke KPU. Soal popularitas dan elektabilitas, bisa dimulai kerja politiknya dari sekarang, karena Airlangga kerja-kerja politik untuk pencapresan belum terlihat.
"Tapi ingat bahwa ketika suara Golkar dikonversi menjadi suara Airlangga tentu juga signifikan. Jika misalnya Airlangga dapat 3 atau 4%, sementara suara partai 12%, kalau 12% bisa dikonversi jadi suara itu lebih bagus," urai Adi.
Dengan demikian, Adi menambahkan, secara kalkulasi matematis, Airlangga Hartarto jauh lebih rasional untuk bisa maju di 2024, karena dia saat ini adalah ketua umum partai besar dengan perolehannya 12%, dan saat ini menjabat sebagai Menko Perekonomian yang cukup strategis, ini semua bisa menjadi insentif untuk jalan panjang 2024, memenangkan Pemilu Presiden (Pilpres) sekaligus Pileg.
"Ingat, Pemilu 2024, Pileg dan Pilpres Serentak, partai-partai cenderung ingin memajukan kader sendiri ketimbang mendukung orang lain, karena berharap coattail effect itu, seperti yang terjadi pada PDIP dan Gerindra di Pilpres 2019. Itu yang kemudian membuat parpol mencalonkan Ketumnya seperti Airlangga itu menjadi rasional untuk dicalonkan di 2024. Tujuan utama ingin menang Pilpres, yang kedua tentu mengamankan Pileg dengan coattail effectnya itu. Itu kenapa saya bilang Airlangga rasional dan sangat patut diperhitungkan untuk 2024. Dia Ketum Partai besar kok, 12% dan yang paling penting untuk memaksimalkan coattail effect itu perlu memajukan kadernya sendiri barulah kerja-kerja politik," pungkas Adi. Kiswondari
Lihat Juga: PDIP Resmi Pecat Jokowi, Gibran, dan Bobby, Golkar Tak Kaget: Sudah Berkali-kali Disampaikan
Terkait hal ini, Analis Politik dari Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno menjelaskan, dalam pencalonan seseorang sebagai capres di 2024, ada beberapa parameter. Parameter pertama adalah kandidat-kandidat yang punya popularitas elektabilitas, parameter kedua harus rasional dan berbasis kekuatan partai politik. "Kalau parameter popularitas dan elektablitas seperti Anies (Gubernur DKI), Ganjar (Gubernur Jawa Tengah), dan lain-lain, problemnya mereka itu dukungan partai politik dan tidak punya keistimewaan untuk dapat dukungan politik," kata Adi saat dihubungi, Senin (8/3/2021).
Dosen FISIP UIN Jakarta ini menjelaskan, Anies populer dan elektabilitasnya bagus, tapi sampai saat ini belum ada yang melihat atau mau mendukung, sama halnya dengan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil dan Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa dan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini.
"Risma dan Ganjar juga populer tapi belum ada jaminan bahwa mereka akan didukung oleh PDIP. Apalagi pada saat yang bersamaan PDIP juga sangat tertarik untuk menyorongkan Puan maju bertanding dengan yang lain, karena saat ini adalah eranya Puan. Parameter yang pertama adalah yang maju bekalnya popularitas dan elektabilitas, tapi problemnya yang populer dan elektabilitas lumayan ini nggak punya sokongan partai yang pasti. Itu problemnya, sementara dia untuk daftar ke KPU harus memenuhi 20% ambang batas pencapresan," sambung Adi.
Bicara parameter kedua, Adi menjelaskan, maka nama Airlangga cukup rasional untuk diperhitungkan di 2024. Dengan perolehan 12% suara Golkar di Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 lalu, tentu praktis bagi Golkar hanya butuh 1 parpol lagi untuk mendaftarkan Airlangga bersama cawapresnya ke KPU. Soal popularitas dan elektabilitas, bisa dimulai kerja politiknya dari sekarang, karena Airlangga kerja-kerja politik untuk pencapresan belum terlihat.
"Tapi ingat bahwa ketika suara Golkar dikonversi menjadi suara Airlangga tentu juga signifikan. Jika misalnya Airlangga dapat 3 atau 4%, sementara suara partai 12%, kalau 12% bisa dikonversi jadi suara itu lebih bagus," urai Adi.
Dengan demikian, Adi menambahkan, secara kalkulasi matematis, Airlangga Hartarto jauh lebih rasional untuk bisa maju di 2024, karena dia saat ini adalah ketua umum partai besar dengan perolehannya 12%, dan saat ini menjabat sebagai Menko Perekonomian yang cukup strategis, ini semua bisa menjadi insentif untuk jalan panjang 2024, memenangkan Pemilu Presiden (Pilpres) sekaligus Pileg.
"Ingat, Pemilu 2024, Pileg dan Pilpres Serentak, partai-partai cenderung ingin memajukan kader sendiri ketimbang mendukung orang lain, karena berharap coattail effect itu, seperti yang terjadi pada PDIP dan Gerindra di Pilpres 2019. Itu yang kemudian membuat parpol mencalonkan Ketumnya seperti Airlangga itu menjadi rasional untuk dicalonkan di 2024. Tujuan utama ingin menang Pilpres, yang kedua tentu mengamankan Pileg dengan coattail effectnya itu. Itu kenapa saya bilang Airlangga rasional dan sangat patut diperhitungkan untuk 2024. Dia Ketum Partai besar kok, 12% dan yang paling penting untuk memaksimalkan coattail effect itu perlu memajukan kadernya sendiri barulah kerja-kerja politik," pungkas Adi. Kiswondari
Lihat Juga: PDIP Resmi Pecat Jokowi, Gibran, dan Bobby, Golkar Tak Kaget: Sudah Berkali-kali Disampaikan
(cip)