Picu Polemik, MUI Minta SKB 3 Menteri Soal Seragam Sekolah Direvisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan tausiah sebagai sikap resmi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) terkait Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidilan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dalam tausiahnya, Dewan Pimpinan MUI menghargai sebagian isi SKB Tiga Menteri dengan beberapa pertimbangan. Pertama, SKB ini memastikan hak peserta didik menggunakan seragam dengan kekhasan agama sesuai keyakinannya dan tidak boleh dilarang oleh pemerintah daerah dan sekolah. Kedua, SKB ini melarang pemerintah daerah dan sekolah memaksakan seragam kekhasan agama tertentu pada penganut agama yang berbeda.
Dalam surat yang ditandatangani Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar dan Sekjen Amirsyah Tambunan itu, MUI meminta dilakukan revisi atas isi SKB Tiga Menteri agar tidak memicu polemik, kegaduhan dan ketidakpastian hukum. Ketentuan pada diktum ketiga dari SKB ini mengandung tiga muatan dan implikasi yang berbeda. Pertama, implikasi “Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu” karena memberi perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.
Kedua, ketentuan yang mengandung implikasi “Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu”, harus dibatasi pada pihak baik peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang berbeda agama sehingga tidak terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain.
Ketiga, pewajiban, perintah, persyaratan, atau imbauan itu diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu melarang. Sekolah dapat saja memandang hal itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik. "Hal itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan (stakeholders), termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak. Pemerintah tidak perlu campur tangan pada aspek ini," kata Miftachul Akhyar dalam surat yang ditandatangani di Jakarta pada Kamis 11 Februari 2021 tersebut.
Menurutnya, pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah untuk membuat pengaturan yang positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan dan mendidik para peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan agama.
Hal ini sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945 ayat; (1) Negara Halaman 1 dari 2 berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; serta ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. MUI berpandangan bahwa pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi penanaman nilai-nilai (transfer of values), dan pengamalan ilmu serta keteladan (uswah).
Oleh karena itu, sekolah yang memerintahkan atau mengimbau peserta didik dan tenaga kependidikan agar menggunakan seragam dan atribut yang menutup aurat, termasuk berjilbab, merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mengamalkan ilmu dan memberikan keteladanan.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri pada diktum kelima huruf d yang menyatakan “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi kepada sekolah yang bersangkutan terkait dengan bantuan operasional sekolah dan bantuan pemerintah lainnya yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” tidak sejalan dan bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang berisi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” dan ayat (2) “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
"Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama, saat ini semestinya lebih fokus dalam mengatasi masalah dan dampak yang sangat berat akibat pandemi Covid-19," bunyi surat tersebut.
MUI juga meminta semua komponen bangsa dapat bekerja sama mengatasi Covid-19 dan segala dampaknya dengan jiwa persatuan Indonesia. Karenanya hal-hal yang menimbulkan kontrovesi semestinya dihindari oleh semua pihak sehingga bangsa Indonesia lebih ringan dalam menghadapi Covid-19 dan dapat menyelesaikan masalah-masalah nasional lainnya untuk kepentingan bersama.
Dalam tausiahnya, Dewan Pimpinan MUI menghargai sebagian isi SKB Tiga Menteri dengan beberapa pertimbangan. Pertama, SKB ini memastikan hak peserta didik menggunakan seragam dengan kekhasan agama sesuai keyakinannya dan tidak boleh dilarang oleh pemerintah daerah dan sekolah. Kedua, SKB ini melarang pemerintah daerah dan sekolah memaksakan seragam kekhasan agama tertentu pada penganut agama yang berbeda.
Dalam surat yang ditandatangani Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar dan Sekjen Amirsyah Tambunan itu, MUI meminta dilakukan revisi atas isi SKB Tiga Menteri agar tidak memicu polemik, kegaduhan dan ketidakpastian hukum. Ketentuan pada diktum ketiga dari SKB ini mengandung tiga muatan dan implikasi yang berbeda. Pertama, implikasi “Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu” karena memberi perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan.
Kedua, ketentuan yang mengandung implikasi “Pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu”, harus dibatasi pada pihak baik peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan yang berbeda agama sehingga tidak terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain.
Ketiga, pewajiban, perintah, persyaratan, atau imbauan itu diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu melarang. Sekolah dapat saja memandang hal itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik. "Hal itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku kepentingan (stakeholders), termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak. Pemerintah tidak perlu campur tangan pada aspek ini," kata Miftachul Akhyar dalam surat yang ditandatangani di Jakarta pada Kamis 11 Februari 2021 tersebut.
Menurutnya, pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah untuk membuat pengaturan yang positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan dan mendidik para peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk dalam berpakaian seragam kekhasan agama.
Hal ini sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945 ayat; (1) Negara Halaman 1 dari 2 berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; serta ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. MUI berpandangan bahwa pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi penanaman nilai-nilai (transfer of values), dan pengamalan ilmu serta keteladan (uswah).
Oleh karena itu, sekolah yang memerintahkan atau mengimbau peserta didik dan tenaga kependidikan agar menggunakan seragam dan atribut yang menutup aurat, termasuk berjilbab, merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mengamalkan ilmu dan memberikan keteladanan.
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri pada diktum kelima huruf d yang menyatakan “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi kepada sekolah yang bersangkutan terkait dengan bantuan operasional sekolah dan bantuan pemerintah lainnya yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” tidak sejalan dan bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) yang berisi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” dan ayat (2) “Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
"Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agama, saat ini semestinya lebih fokus dalam mengatasi masalah dan dampak yang sangat berat akibat pandemi Covid-19," bunyi surat tersebut.
MUI juga meminta semua komponen bangsa dapat bekerja sama mengatasi Covid-19 dan segala dampaknya dengan jiwa persatuan Indonesia. Karenanya hal-hal yang menimbulkan kontrovesi semestinya dihindari oleh semua pihak sehingga bangsa Indonesia lebih ringan dalam menghadapi Covid-19 dan dapat menyelesaikan masalah-masalah nasional lainnya untuk kepentingan bersama.
(cip)