Diduga Ada Propaganda di Balik Aisha Weddings, Polri Diminta Investigasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Promosi Aisha Weddings yang salah satu menyediakan jasa pernikahan dini memantik reaksi berbagai kalangan. Tidak sedikit yang mengecam wedding organizer tersebut.
Polemik mengenai Aisha Weddingnya juga dikomentari Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abdul Rachman Thaha. "Kalimat-kalimat vulgar di situs aishaweddings.com justru memantik kecurigaan. Apakah Aisha Wedding benar-benar nama sebuah wedding organizer. Atau sebatas situs propaganda tanpa sungguh-sungguh ada perusahaan atau organisasi di belakangnya?" katanya melalui keterangan tertulisnya, Jumat (12/2/2021).
Abdul Rachman mendesak Polri untuk serius menginvestigasi siapa di balik Aisha Weddings. Dia khawatir situs semacam itu dibuat dengan maksud tidak baik, yakni mendiskreditkan kalangan agama tertentu.
"Bahwa, seolah ada agama yang semena-mena mempraktikkan kesemena-menaan terhadap anak-anak dan perempuan dewasa dengan selubung pernikahan," kata senator asal Sulawesi Tengah itu.
Menurut dia, jika kalimat-kalimat pada situs aishaweddings.com dinilai bertentangan dengan kampanye pencegahan pernikahan anak-anak, maka KPAI, KPPPA, dan para pemangku kepentingan lainnya sepatutnya meninjau cermat: apakah hal tersebut merupakan pelanggaran hukum yang pelakunya bisa dijatuhi sanksi baik pidana maupun perdata.
"Tanpa ancaman sanksi apa pun, sulit kiranya pelanggaran atas Undang-Undang Perkawinan bisa ditegakkan secara maksimal. Saya selaku anggota DPD RI siap duduk bersama KPAI dan KPPPA membahas hal tersebut. Sekaligus, kita kaji ulang kesiapan UU Perlindungan Anak dalam mengatasi pernikahan anak-anak," tuturnya.
Dia mengatakan, situs aishaweddings.com menyebut usia 12-21 tahun sebagai usia harus nikah. Pernikahan usia 12 sampai sebelum 19 tahun memang bertolak belakang dengan UU Perkawinan. Tapi UU tersebut masih memungkinkan terjadinya perkawinan di bawah 19 tahun.
Sebagai ilustrasi, kata Abdul Rachman, pernikahan anak 14 terbenarkan oleh UU Perkawinan apabila seluruh syaratnya terpenuhi. Poin tentang ini saja menambah sumir keberadaan pelanggaran hukum, apalagi pidana dalam pernikahan anak-anak.
Menurut dia, penolakan pernikahan anak patut dinilai positif. Tapi dirinya sudah bertahun-tahun mempertanyakan ketidakhadiran negara untuk menekan fenomena seks di luar pernikahan. Yang lebih mengemuka justru kesan kuat bahwa seks di luar pernikahan adalah sah-sah saja sepanjang dilakukan atas dasar mau sama mau, tidak membahayakan kesehatan, dan tidak mengakibatkan kehamilan yang tidak dikehendaki.
"Dengan tiga ciri 'seks legal' semacam itu justru semakin marak program kondomisasi, toleransi terhadap 'pasutri' tanpa pernikahan, serta penerimaan terhadap orientasi dan perilaku seks sejenis. Padahal, ketiganya adalah gaya hidup yang jauh Pancasila," ujarnya.
Dia yakin, jumlah anak yang melakukan seks tanpa pernikahan jauh lebih banyak daripada jumlah anak yang menikah pada usia muda.
Menurut dia, seks di luar nikah merupakan satu dari sekian banyak faktor pendorong pernikahan anak-anak. Atas dasar itu, tidak memadai pernikahan anak-anak disikapi sebagai masalah yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah lain.
Selama negara tidak menekan fenomena seks di luar nikah dan melegalkan seks berdasarkan prinsip konsensual dan tanpa paksaan semata, apalagi jika terjadi kehamilan, Abdul Rachman menegaskan tidak yakin kampanye mencegah pernikahan anak-anak akan memenuhi harapan semua pihak.
Bahkan, dalam situasi kadung terjadi kehamilan akibat seks di luar nikah, menikahkan anak-anak dinilainya justru menjadi jalan keluar yang getir. "Jalan keluar setidaknya agar anak yang dilahirkan memperoleh kejelasan status, mengatasi aib susulan yang bisa dihadapi keluarga, sekaligus mendorong agar anak-anak tersebut bisa tetap bertanggung jawab atas status tambahan mereka selaku orang tua atas bayi hasil seks di luar pernikahan tersebut," tuturnya.
Menurut dia, pada titik itu muncul satu lagi panggilan kepada negara ketika anak-anak terlanjur menikah. "Apa yang negara lakukan terhadap pasutri berusia anak-anak itu? Tidak boleh tidak; betapa pun mereka sudah menikah, hak-hak mereka selaku anak-anak tetap harus dipenuhi oleh negara," tuturnya.
Polemik mengenai Aisha Weddingnya juga dikomentari Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Abdul Rachman Thaha. "Kalimat-kalimat vulgar di situs aishaweddings.com justru memantik kecurigaan. Apakah Aisha Wedding benar-benar nama sebuah wedding organizer. Atau sebatas situs propaganda tanpa sungguh-sungguh ada perusahaan atau organisasi di belakangnya?" katanya melalui keterangan tertulisnya, Jumat (12/2/2021).
Abdul Rachman mendesak Polri untuk serius menginvestigasi siapa di balik Aisha Weddings. Dia khawatir situs semacam itu dibuat dengan maksud tidak baik, yakni mendiskreditkan kalangan agama tertentu.
"Bahwa, seolah ada agama yang semena-mena mempraktikkan kesemena-menaan terhadap anak-anak dan perempuan dewasa dengan selubung pernikahan," kata senator asal Sulawesi Tengah itu.
Menurut dia, jika kalimat-kalimat pada situs aishaweddings.com dinilai bertentangan dengan kampanye pencegahan pernikahan anak-anak, maka KPAI, KPPPA, dan para pemangku kepentingan lainnya sepatutnya meninjau cermat: apakah hal tersebut merupakan pelanggaran hukum yang pelakunya bisa dijatuhi sanksi baik pidana maupun perdata.
"Tanpa ancaman sanksi apa pun, sulit kiranya pelanggaran atas Undang-Undang Perkawinan bisa ditegakkan secara maksimal. Saya selaku anggota DPD RI siap duduk bersama KPAI dan KPPPA membahas hal tersebut. Sekaligus, kita kaji ulang kesiapan UU Perlindungan Anak dalam mengatasi pernikahan anak-anak," tuturnya.
Dia mengatakan, situs aishaweddings.com menyebut usia 12-21 tahun sebagai usia harus nikah. Pernikahan usia 12 sampai sebelum 19 tahun memang bertolak belakang dengan UU Perkawinan. Tapi UU tersebut masih memungkinkan terjadinya perkawinan di bawah 19 tahun.
Sebagai ilustrasi, kata Abdul Rachman, pernikahan anak 14 terbenarkan oleh UU Perkawinan apabila seluruh syaratnya terpenuhi. Poin tentang ini saja menambah sumir keberadaan pelanggaran hukum, apalagi pidana dalam pernikahan anak-anak.
Menurut dia, penolakan pernikahan anak patut dinilai positif. Tapi dirinya sudah bertahun-tahun mempertanyakan ketidakhadiran negara untuk menekan fenomena seks di luar pernikahan. Yang lebih mengemuka justru kesan kuat bahwa seks di luar pernikahan adalah sah-sah saja sepanjang dilakukan atas dasar mau sama mau, tidak membahayakan kesehatan, dan tidak mengakibatkan kehamilan yang tidak dikehendaki.
"Dengan tiga ciri 'seks legal' semacam itu justru semakin marak program kondomisasi, toleransi terhadap 'pasutri' tanpa pernikahan, serta penerimaan terhadap orientasi dan perilaku seks sejenis. Padahal, ketiganya adalah gaya hidup yang jauh Pancasila," ujarnya.
Dia yakin, jumlah anak yang melakukan seks tanpa pernikahan jauh lebih banyak daripada jumlah anak yang menikah pada usia muda.
Menurut dia, seks di luar nikah merupakan satu dari sekian banyak faktor pendorong pernikahan anak-anak. Atas dasar itu, tidak memadai pernikahan anak-anak disikapi sebagai masalah yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah lain.
Selama negara tidak menekan fenomena seks di luar nikah dan melegalkan seks berdasarkan prinsip konsensual dan tanpa paksaan semata, apalagi jika terjadi kehamilan, Abdul Rachman menegaskan tidak yakin kampanye mencegah pernikahan anak-anak akan memenuhi harapan semua pihak.
Bahkan, dalam situasi kadung terjadi kehamilan akibat seks di luar nikah, menikahkan anak-anak dinilainya justru menjadi jalan keluar yang getir. "Jalan keluar setidaknya agar anak yang dilahirkan memperoleh kejelasan status, mengatasi aib susulan yang bisa dihadapi keluarga, sekaligus mendorong agar anak-anak tersebut bisa tetap bertanggung jawab atas status tambahan mereka selaku orang tua atas bayi hasil seks di luar pernikahan tersebut," tuturnya.
Menurut dia, pada titik itu muncul satu lagi panggilan kepada negara ketika anak-anak terlanjur menikah. "Apa yang negara lakukan terhadap pasutri berusia anak-anak itu? Tidak boleh tidak; betapa pun mereka sudah menikah, hak-hak mereka selaku anak-anak tetap harus dipenuhi oleh negara," tuturnya.
(dam)