Demi Majukan Industri Media Nasional, Hary Tanoesoedijo Ajak Insan Pers Bersatu Perjuangkan Hak Cipta

Senin, 08 Februari 2021 - 22:17 WIB
loading...
Demi Majukan Industri Media Nasional, Hary Tanoesoedijo Ajak Insan Pers Bersatu Perjuangkan Hak Cipta
Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo. Foto/MNC Media
A A A
JAKARTA - Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo mengajak insan pers dan Dewan Pers bersinergi memperjuangkan hak cipta untuk kemajuan industri media di Tanah Air.

"Agregasi oleh platform asing dalam bentuk apa pun oleh search engine atau agregator biasa atas konten milik publisher, online-online lokal harus berizin atau paling tidak ada kesepakatan oleh para pihak," kata Hary Tanoesoedibjo atau biasa disapa HT.

Hal tersebut disampaikan dalam Konvensi Nasional Media Massa Hari Pers Nasional 2021 bertajuk Pers Nasional Bangkit dari Krisis Akibat Pandemi Covid-19 & Tekanan Disrupsi Digital, Senin (8/2/2021).

HT mengatakan, bila dilakukan tanpa izin, secara hukum hal tersebut merupakan pelanggaran hak cipta yang diatur UU Nomor 28/ 2014 tentang Hak Cipta.

Hal tersebut, lanjut HT, pernah dialami di dunia pertelevisian, dimana siaran televisi terestrial atau free to air/ FTA oleh Lembaga Penyiaran Swasta, seperti RCTI, SCTV dan lain sebagainya ditayangkan oleh Lembaga Penyiaran Berlangganan (LBP). Siaran tersebut dikomersialkan oleh LBP.



Menurut dia, Dewan Pers atau Asosiasi Media Siber Indonesia (ASMI) harus ikut berjuang untuk ini. "Saya menyarankan Dewan Pers atau ASMI untuk memperjuangkan hal ini. Ini harus diperjuangkan bersama-sama melalui fasilitator, bisa Dewan Pers atau ASMI. Tidak mungkin publisher itu berjuang sendiri-sendiri," ungkapnya.

HT menggarisbawahi selama ini MNC Group telah memiliki kesepakatan dengan YouTube, Facebook dan TikTok terkait bagi hasil iklan atas konten-konten MNC yang diunggah.

Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, penguasaan lebih dari separuh belanja iklan secara global oleh tiga perusahaan raksasa dunia telah berdampak pada industri media massa di Tanah Air.

Karena itulah, Dewan Pers mendorong ada intervensi negara untuk membantu perusahaan pers nasional.

Dia membeberkan data bahwa 56% dari belanja iklan di global dikuasai Google atau Alphabet, Facebook dan Amazon. Sementara itu, 41% sisanya diperebutkan oleh ribuan media massa, baik cetak, radio maupun televisi. Fenomena ini menyebabkan surplus pemusatan ekonomi yang belum pernah terjadi dalam sejarah.

"Google disebut itu dianggap sebagai perusahaan tidak lazim lagi, karena begitu besar kekuatannya begitu besar potensinya, skala leverage dan begitu besar pengaruhnya," kata Agus.

Saking hebatnya, lanjut Agus, ketiga perusahaan itu dapat melakukan surveillance dan perusahaan mampu mengubah arah politik berbagai negara. Situasi ini tidak bisa dianggap enteng. Menurut Agus, butuh kerja sama yang baik antara pemilik media dengan regulator atau pemerintah.

"Intervensi negara itu dibutuhkan, bukan untuk lawan Google dan Facebook, tapi untuk membuat Facebook dan Google itu tidak melakukan monopoli, pemusatan ekonomi yang berlebihan. Nah, dalam konteks inilah muncul dorongan publik untuk membuat regulasi hak pengelola media terkait dengan proses agregasi berita," tuturnya.

Dia memberikan tips dalam rangka menghadapi Google dan Facebook. "Pertama, pelajari seluk beluk negosiasi dengan platform digital. Kedua, membangun soliditas di antara pengelola media dan ketiga, berdialog dengan platform digital pelajari regulasi yang telah ada,"tuturnya.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1623 seconds (0.1#10.140)