11 Bulan Pandemi, RS Isolasi Belum Ada Solusi
loading...
A
A
A
(Baca juga: Tim WHO Kunjungi Rumah Sakit Wuhan di Bawah Kontrol Ketat China )
Lonjakan kasus ini tentunya harus dihentikan. Ini memerlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Sayang, berbagai kebijakan pemerintah mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga terakhir pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak berjalan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan terang menyatakan, implementasi PPKM tidak tegas dan tidak konsisten. "Saya ingin menyampaikan yang berkaitan dengan PPKM tanggal 11 Januari-25 Januari. Kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif. Mobilitas masih tinggi karena indeks mobility-nya ada. Di beberapa provinsi, Covid-nya masih naik," kata Jokowi dalam video rapat terbatas di Istana Bogor yang dipublikasi kemarin.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan berbagai kebijakan pemerintah mulai besar (PSBB) hingga PPKM tidak berjalan. Semua kebijakan itu umumnya top down, cenderung masyarakat dipaksakan. “Seharusnya kebijakan itu dibalik bottom up, masyarakat diajak. Itu masalahnya yang membuat minimnya partisipasi publik,” ujarnya.
Pemerintah, menurut Trubus, sekarang harus membuat road map dan time schedule untuk karantina wilayah selama 1-2 bulan ke depan. Kebijakan ini tidak bisa hanya diucapkan, tetapi harus diikuti pengawasan ketat di lapangan. Sampai saat ini, pemerintah pusat memang sepertinya enggak melakukan karantina wilayah. Padahal, penambahan kasus, terutama di Pulau Jawa, saban hari cukup tinggi.
Trubus mendorong pemerintah daerah untuk memotong berbagai anggaran yang tak penting. Anggaran kemudian dialokasikan ke sektor kesehatan dengan menambah kamar, obat, dan fasilitas lain untuk menangani pasien Covid-19. Untuk meredam penambahan kasus ini, salah satunya langkahnya mempercepat vaksinasi. Sayangnya, vaksinasi tahap awal kepada tenaga kesehatan (nakes) saja berjalan lambat.
Jumlah nakes yang divaksinasi dalam dua pekan ini sebanyak 416.299 orang. Padahal jumlah penduduk Indonesia yang harus divaksinasi agar mencapai kekebalan imunitas minimal 182 juta orang. Para epidemiolog sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu menggantung pada vaksin. Yang harus dilakukan adalah memperkuat 3T yakni testing, tracing, dan treatment) dan 3M yaitu menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.
Pemerintah juga diminta memperkuat fasilitas kesehatan (faskes). Covid-19 nyaris setahun berada di Tanah Air, tapi tak ada penguatan yang cukup signifikan. Masyarakat masih kerap kesulitan mendapatkan layanan kesehatan di RS bahkan tempat karantina. Untuk mengatasi itu, Kemenkes meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Rawat Inap RS (Siranap RS). Namun Trubus pesimistis aplikasi ini bisa mengatasi kesulitan masyarakat.
KORAN SINDO, kemarin melihat keterisian kamar di beberapa RS rujukan Covid-19 melalui aplikasi Siranap RS. Misal di RS Fatmawati Jakarta, ruang isolasi tanpa tekanan negatif tersisa 5 dari 46 kamar yang dimiliki. Ruang isolasi tekanan negatif hanya tersisa 1 dari 57 kamar yang ada. Kemudian, RS Persahabatan Jakarta masih ada 37 ruang isolasi tekanan negatif. RS di kawasan Rawamangun ini memiliki 198 ruang isolasi bertekanan negatif. Di RS Sulianti Saroso masih ada 9 ruang isolasi tanpa tekanan negatif, 9 ruang tekanan negatif, dan ICU tekanan negatif dengan ventilator 2 ruang. Namun, ICU tekanan negatif tanpa ventilatornya penuh.
Trubus menerangkan alasan di balik Siranap tidak berjalan efektif. Dia menduga RS kerap menutupi kamar kosong. Kemenkes harus mengawasi dugaan praktik ini. Dosen Universitas Trisakti itu menyatakan penanganan yang efektif saat ini adalah mengarahkan pasien Covid-19, khususnya, yang OTG hingga gejala ringan di tempat isolasi mandiri, baik di hotel maupun di pusat karantina yang disediakan pemerintah. “Tiap RT juga bisa menyediakan tempat isolasi mandiri,” terang dia.
Lonjakan kasus ini tentunya harus dihentikan. Ini memerlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Sayang, berbagai kebijakan pemerintah mulai dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga terakhir pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak berjalan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan terang menyatakan, implementasi PPKM tidak tegas dan tidak konsisten. "Saya ingin menyampaikan yang berkaitan dengan PPKM tanggal 11 Januari-25 Januari. Kita harus ngomong apa adanya, ini tidak efektif. Mobilitas masih tinggi karena indeks mobility-nya ada. Di beberapa provinsi, Covid-nya masih naik," kata Jokowi dalam video rapat terbatas di Istana Bogor yang dipublikasi kemarin.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan berbagai kebijakan pemerintah mulai besar (PSBB) hingga PPKM tidak berjalan. Semua kebijakan itu umumnya top down, cenderung masyarakat dipaksakan. “Seharusnya kebijakan itu dibalik bottom up, masyarakat diajak. Itu masalahnya yang membuat minimnya partisipasi publik,” ujarnya.
Pemerintah, menurut Trubus, sekarang harus membuat road map dan time schedule untuk karantina wilayah selama 1-2 bulan ke depan. Kebijakan ini tidak bisa hanya diucapkan, tetapi harus diikuti pengawasan ketat di lapangan. Sampai saat ini, pemerintah pusat memang sepertinya enggak melakukan karantina wilayah. Padahal, penambahan kasus, terutama di Pulau Jawa, saban hari cukup tinggi.
Trubus mendorong pemerintah daerah untuk memotong berbagai anggaran yang tak penting. Anggaran kemudian dialokasikan ke sektor kesehatan dengan menambah kamar, obat, dan fasilitas lain untuk menangani pasien Covid-19. Untuk meredam penambahan kasus ini, salah satunya langkahnya mempercepat vaksinasi. Sayangnya, vaksinasi tahap awal kepada tenaga kesehatan (nakes) saja berjalan lambat.
Jumlah nakes yang divaksinasi dalam dua pekan ini sebanyak 416.299 orang. Padahal jumlah penduduk Indonesia yang harus divaksinasi agar mencapai kekebalan imunitas minimal 182 juta orang. Para epidemiolog sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu menggantung pada vaksin. Yang harus dilakukan adalah memperkuat 3T yakni testing, tracing, dan treatment) dan 3M yaitu menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.
Pemerintah juga diminta memperkuat fasilitas kesehatan (faskes). Covid-19 nyaris setahun berada di Tanah Air, tapi tak ada penguatan yang cukup signifikan. Masyarakat masih kerap kesulitan mendapatkan layanan kesehatan di RS bahkan tempat karantina. Untuk mengatasi itu, Kemenkes meluncurkan aplikasi Sistem Informasi Rawat Inap RS (Siranap RS). Namun Trubus pesimistis aplikasi ini bisa mengatasi kesulitan masyarakat.
KORAN SINDO, kemarin melihat keterisian kamar di beberapa RS rujukan Covid-19 melalui aplikasi Siranap RS. Misal di RS Fatmawati Jakarta, ruang isolasi tanpa tekanan negatif tersisa 5 dari 46 kamar yang dimiliki. Ruang isolasi tekanan negatif hanya tersisa 1 dari 57 kamar yang ada. Kemudian, RS Persahabatan Jakarta masih ada 37 ruang isolasi tekanan negatif. RS di kawasan Rawamangun ini memiliki 198 ruang isolasi bertekanan negatif. Di RS Sulianti Saroso masih ada 9 ruang isolasi tanpa tekanan negatif, 9 ruang tekanan negatif, dan ICU tekanan negatif dengan ventilator 2 ruang. Namun, ICU tekanan negatif tanpa ventilatornya penuh.
Trubus menerangkan alasan di balik Siranap tidak berjalan efektif. Dia menduga RS kerap menutupi kamar kosong. Kemenkes harus mengawasi dugaan praktik ini. Dosen Universitas Trisakti itu menyatakan penanganan yang efektif saat ini adalah mengarahkan pasien Covid-19, khususnya, yang OTG hingga gejala ringan di tempat isolasi mandiri, baik di hotel maupun di pusat karantina yang disediakan pemerintah. “Tiap RT juga bisa menyediakan tempat isolasi mandiri,” terang dia.