Pandemi dan Ketahanan Pangan (Semu) Kota

Selasa, 26 Januari 2021 - 05:02 WIB
loading...
A A A
Artikel ini tidak membahas teknis penanaman pada urban farming. Melainkan mencoba mendalami apakah hasil dari urban farming yang sedang marak tersebut memang telah menjadi “penjawab” atas menurunnya daya konsumsi hasil pertanian yang (umumnya) diproduksi oleh desa-desa pertanian. Sebab, jika apa yang dilakukan oleh orang kota dengan urban farming memang cukup memenuhi kebutuhan warga kota sendiri, maka kita boleh berbangga dengan itu. Namun, jika kemudian kebutuhan kota yang jumlahnya tetap atau menurun, tetapi tidak terpenuhi oleh desa-desa itu justru dijawab oleh aktivitas impor, di sinilah kita harus mengkritisinya. Alasannya, saat ini jelas produksi komoditas pertanian tetap melimpah, bahkan semakin surplus ketika permintaan dari kota semakin menurun akibat adanya penurunan pendapatan.

Inilah yang kita bisa menyebutkan sebagai kebanggaan semu. Sebab, pada praktiknya keindahan dari aktivitas urban farming justru harus kita maknai secara kritis, terutama ketika kita melihatnya dalam konteks relasi desa-kota.

Tetap Desa
Saat pandemi terjadi seperti sekarang ini, sejatinya relasi desa-kota tetap dilihat sebagai dua entitas yang harus didesain tetap saling membutuhkan, saling berelasi, dan berbagi sumber daya yang saling menguntungkan. Menurunnya daya beli warga kota terutama, pasti akan memberikan dampak sangat signifikan kepada kehidupan sosial ekonomi warga desa. Jika relasi simbiosa-mutualistik kedua entitas ini dipelihara, maka eksistensi desa kota akan terjaga. Sebaliknya, jika semua pihak membiarkan hukum pasar berjalan, maka salah satu pihak, dalam hal ini terutama desa, bisa menjadi “korban”.

Namun jika melihat bagaimana realitasnya, di tengah daya beli masyarakat (kota) yang menurun tersebut impor masih tetap tinggi. Oleh karena itu, program ketahanan pangan masyarakat, terutama di kota, harus tetap diupayakan ditumpukan pada kehidupan masyarakat desa, karena beberapa alasan berikut:

Pertama, warga desa bisa menjadi entitas yang kurang diperhatikan ketika masa pagebluk Covid-19 ini. Mereka terganggu sistem pendapatannya bukan karena tidak bisa berproduksi, melainkan karena tidak ada yang membeli hasil produksi mereka secara masif.

Kedua, kendala transportasi harus dipecahkan melalui jalur non-swasta. Sistem resi gudang yang selama ini sudah ada programnya, harus dioptimalkan sehingga bisa menjadi semacam “juru selamat” bagi warga desa ini.

Ketiga, program bantuan yang sedang gencar dilaksanakan pemerintah, sebaiknya didesain menjadi alat untuk menghidupkan ekonomi desa tersebut. Misalnya dengan sistem voucher untuk membeli sejumlah kebutuhan harian yang diproduksi oleh warga desa dan sebagainya.

Dari penjelasan tersebut bisa dilihat bagaimana semua ketahanan pangan warga kota memang masih tertutupi oleh sejumlah program yang cukup masif dari pemerintah. Namun, hal lain yang tidak bisa dipungkiri ada dan kurang dicermati adalah fakta bahwa di tengah pandemi ini ada sebagian warga desa yang memproduksi komoditas pangan yang menjadi pilar ketahanan pangan, justru seperti terabaikan. Di sinilah diperlukan langkah-langkah yang lebih spesifik, fungsional, dan strategis dalam menyikapinya. Sebab warga desa dan sistem produksinya, tetap merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memiliki hak yang sama dengan warga kota.
(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4185 seconds (0.1#10.140)