Naikkan Iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah Tak Miliki Kemampuan Baca Gelombang Protes
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lokataru Foundation dan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengecam langkah pemerintah yang kembali menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan . Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Peraturan Presiden No 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, per 6 Mei 2020.
"Anehnya, Presiden Joko Widodo justru mengeluarkan Peraturan Presiden No 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini akan berlaku bertahap dimulai pada 1 Juli 2020," ujar aktivis Lokataru Foundation Fian Alaydrus dalam pers rilisnya, Kamis (14/5/2020).
Fian mengatakan, melalui Perpres terbaru ini, besaran iuran BPJS Kesehatan memang lebih rendah dari Perpres yang dibatalkan oleh MA. Dalam Perpres terbaru, besaran iuran bagi Kelas III untuk kelas PBPU dan BP/Kelas Mandiri jumlahnya sebesar Rp25.500 yang sebanyak Rp16.500 dibayarkan oleh Pemerintah. Namun, kebijakan itu hanya berlaku pada tahun 2020, pada tahun 2021 besarannya akan naik menjadi Rp35.000 dengan Rp7.000 dibayarkan Pemerintah.
Sementara, bagi Kelas II PBPU dan BP/Kelas Mandiri besaran iurannya menjadi Rp100.000, lebih rendah Rp10.000 dari Perpres yang telah dibatalkan oleh MA sebelumnya. Sedangkan untuk Kelas I jumlah besaran iuran menjadi Rp150.000, lagi-lagi selisih Rp 10.000 dari Perpres sebelumnya. (
).
"Kami menilai Pemerintah seolah hendak mempermainkan warga yang menolak secara menyeluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal. Sejak wacana kenaikan iuran digulirkan hingga diberlakukannya Perpres 75 Tahun 2019 pada Januari silam, gelombang ketidaksetujuan warga telah diungkapkan melalui aksi 792.854 orang yang memilih turun kelas," ungkapnya.
Fian mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan, seharusnya Pemerintah tetap teguh berpegang pada prinsip pedoman hak atas kesehatan, salah satunya prinsip aksesibilitas keuangan yang memastikan layanan kesehatan harus terjangkau secara biaya oleh semua warga. Aksi protes turun kelas tersebut jelas mengabarkan bahwa warga kesulitan menjangkau besaran iuran yang baru secara finansial.
"Sayangnya, Pemerintah tidak memiliki sensitivitas dan kemampuan untuk membaca gelombang protes tersebut dan tetap memilih menaikkan iuran," kata Fian.
Sementara itu, perwakilan KPCDI Tony Samosir mengatakan, sebagai pihak yang sebelumnya menggugat Perpres 75 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung, kabar Pemerintah menaikkan kembali besaran iuran khususnya Kelas III PBPU/BP sangat mengecewakan. Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, gelombang PHK juga sedang marak terjadi.
Menurutnya, hal itu mengancam keselamatan pasien penyakit kronis seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan (hemodialisa/cuci darah) demi kelanjutan hidup. "Dengan kembali dinaikkan, artinya pembatalan kenaikan iuran hanya bertahan selama tiga bulan; April, Mei, Juni," tutur Tony. (Baca Juga: Sri Mulyani Minta BPJS Kesehatan Transparan Soal Biaya Operasional hingga Gaji).
Selain itu, lanjut Tony, kebijakan Presiden yang ngotot menaikkan iuran BPJS Kesehatan meski sebelumnya telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung adalah sebuah tabiat yang tak terpuji dalam demokrasi dan kehidupan bernegara. Putusan Mahkamah Agung seharusnya mengikat secara hukum bagi semua pihak, tak terkecuali Presiden. Karena itu, Perpres No. 64/2020 tak lain adalah sebuah upaya melawan hukum.
Kata Tony, Pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas jaminan kesehatan warga. Lokataru Foundation sejak awal menilai kebijakan menaikkan iuran untuk menutup lubang defisit BPJS Kesehatan tidak dapat memastikan bahwa di kemudian hari BPJS Kesehatan tidak akan mengalami defisit lagi.
Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata atas karut-marut tata kelola BPJS Kesehatan; semrawutnya data kepesertaan, absennya tindakan tegas terhadap ribuan badan usaha yang tidak membayar dan menjamin tenaga kerjanya hingga minimnya pengawasan dan pemberian sanksi bagi tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oknum pasien, penyedia pelayanan kesehatan dan juga BPJS Kesehatan sendiri.
Menurut dia, hingga hari ini, BPJS Kesehatan masih belum membuka hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan secara publik. Padahal, Maret lalu Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan bahwa dokumen audit tersebut adalah dokumen publik. Selama dokumen tersebut masih ditutup-tutupi, pihaknya tidak bisa menerima penjelasan resmi pemerintah yang menyalahkan defisit kepada para peserta BPJS.
"Demikian pula, sampai penyebab defisit belum bisa dijelaskan secara memuaskan oleh pemerintah maka kami akan terus menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan," ujarnya.
Untuk itu, Lokataru Foundation dan KPCDI menuntut;
1. Kepada Presiden Joko Widodo agar teguh pada komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas jaminan kesehatan warga, terutama di tengah pandemi COVID-19.
2. Kepada Pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk memperbaiki tata kelola lembaga serta mengevaluasi permasalahan-permasalahan yang selama ini masih terjadi pada penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebelum menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan.
3. Kepada Pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk membuka kepada publik dokumen hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan.
"Sementara, terkait dengan aturan baru yang diterbitkan Presiden, tidak ada jalan lain, kami akan lakukan upaya hukum," tegas Tony.
"Anehnya, Presiden Joko Widodo justru mengeluarkan Peraturan Presiden No 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Kebijakan ini akan berlaku bertahap dimulai pada 1 Juli 2020," ujar aktivis Lokataru Foundation Fian Alaydrus dalam pers rilisnya, Kamis (14/5/2020).
Fian mengatakan, melalui Perpres terbaru ini, besaran iuran BPJS Kesehatan memang lebih rendah dari Perpres yang dibatalkan oleh MA. Dalam Perpres terbaru, besaran iuran bagi Kelas III untuk kelas PBPU dan BP/Kelas Mandiri jumlahnya sebesar Rp25.500 yang sebanyak Rp16.500 dibayarkan oleh Pemerintah. Namun, kebijakan itu hanya berlaku pada tahun 2020, pada tahun 2021 besarannya akan naik menjadi Rp35.000 dengan Rp7.000 dibayarkan Pemerintah.
Sementara, bagi Kelas II PBPU dan BP/Kelas Mandiri besaran iurannya menjadi Rp100.000, lebih rendah Rp10.000 dari Perpres yang telah dibatalkan oleh MA sebelumnya. Sedangkan untuk Kelas I jumlah besaran iuran menjadi Rp150.000, lagi-lagi selisih Rp 10.000 dari Perpres sebelumnya. (
Baca Juga
"Kami menilai Pemerintah seolah hendak mempermainkan warga yang menolak secara menyeluruh kenaikan iuran BPJS Kesehatan sejak awal. Sejak wacana kenaikan iuran digulirkan hingga diberlakukannya Perpres 75 Tahun 2019 pada Januari silam, gelombang ketidaksetujuan warga telah diungkapkan melalui aksi 792.854 orang yang memilih turun kelas," ungkapnya.
Fian mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali mengingatkan, seharusnya Pemerintah tetap teguh berpegang pada prinsip pedoman hak atas kesehatan, salah satunya prinsip aksesibilitas keuangan yang memastikan layanan kesehatan harus terjangkau secara biaya oleh semua warga. Aksi protes turun kelas tersebut jelas mengabarkan bahwa warga kesulitan menjangkau besaran iuran yang baru secara finansial.
"Sayangnya, Pemerintah tidak memiliki sensitivitas dan kemampuan untuk membaca gelombang protes tersebut dan tetap memilih menaikkan iuran," kata Fian.
Sementara itu, perwakilan KPCDI Tony Samosir mengatakan, sebagai pihak yang sebelumnya menggugat Perpres 75 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung, kabar Pemerintah menaikkan kembali besaran iuran khususnya Kelas III PBPU/BP sangat mengecewakan. Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, gelombang PHK juga sedang marak terjadi.
Menurutnya, hal itu mengancam keselamatan pasien penyakit kronis seperti penderita gagal ginjal yang harus tetap mengakses layanan kesehatan (hemodialisa/cuci darah) demi kelanjutan hidup. "Dengan kembali dinaikkan, artinya pembatalan kenaikan iuran hanya bertahan selama tiga bulan; April, Mei, Juni," tutur Tony. (Baca Juga: Sri Mulyani Minta BPJS Kesehatan Transparan Soal Biaya Operasional hingga Gaji).
Selain itu, lanjut Tony, kebijakan Presiden yang ngotot menaikkan iuran BPJS Kesehatan meski sebelumnya telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung adalah sebuah tabiat yang tak terpuji dalam demokrasi dan kehidupan bernegara. Putusan Mahkamah Agung seharusnya mengikat secara hukum bagi semua pihak, tak terkecuali Presiden. Karena itu, Perpres No. 64/2020 tak lain adalah sebuah upaya melawan hukum.
Kata Tony, Pemerintah tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas jaminan kesehatan warga. Lokataru Foundation sejak awal menilai kebijakan menaikkan iuran untuk menutup lubang defisit BPJS Kesehatan tidak dapat memastikan bahwa di kemudian hari BPJS Kesehatan tidak akan mengalami defisit lagi.
Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata atas karut-marut tata kelola BPJS Kesehatan; semrawutnya data kepesertaan, absennya tindakan tegas terhadap ribuan badan usaha yang tidak membayar dan menjamin tenaga kerjanya hingga minimnya pengawasan dan pemberian sanksi bagi tindakan kecurangan (fraud) yang dilakukan oknum pasien, penyedia pelayanan kesehatan dan juga BPJS Kesehatan sendiri.
Menurut dia, hingga hari ini, BPJS Kesehatan masih belum membuka hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan secara publik. Padahal, Maret lalu Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan bahwa dokumen audit tersebut adalah dokumen publik. Selama dokumen tersebut masih ditutup-tutupi, pihaknya tidak bisa menerima penjelasan resmi pemerintah yang menyalahkan defisit kepada para peserta BPJS.
"Demikian pula, sampai penyebab defisit belum bisa dijelaskan secara memuaskan oleh pemerintah maka kami akan terus menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan," ujarnya.
Untuk itu, Lokataru Foundation dan KPCDI menuntut;
1. Kepada Presiden Joko Widodo agar teguh pada komitmen terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas jaminan kesehatan warga, terutama di tengah pandemi COVID-19.
2. Kepada Pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk memperbaiki tata kelola lembaga serta mengevaluasi permasalahan-permasalahan yang selama ini masih terjadi pada penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebelum menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan.
3. Kepada Pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk membuka kepada publik dokumen hasil audit BPKP terhadap BPJS Kesehatan.
"Sementara, terkait dengan aturan baru yang diterbitkan Presiden, tidak ada jalan lain, kami akan lakukan upaya hukum," tegas Tony.
(zik)