Reshuffle Kabinet, Jokowi Perlu Prioritaskan Profesional Non-Partai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak terpaku pada soal wakil partai saat melakukan reshuffle atau perombakan kabinet. Sebab, menteri yang terjerat kasus korupsi adalah yang berasal dari partai politik.
(Baca juga : Rekrutmen CPNS Siap Dibuka Lagi 2021, Monggo Disiapkan Syaratnya )
Menurut Ray, kemungkinan reshuffle kabinet kali ini dilakukan dengan besar-besaran. Mengganti lima atau enam anggota kabinet bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan berdampak keguncangan stabilitas pemerintahan. Selain pergantian, reposisi anggota kabinet juga sangat mungkin dilakukan.
"Tentu, selain dua kursi kabinet yang kosong, anggota kabinet lain juga perlu dipertimbangkan untuk di-reshuffle. Antara lain menteri kesehatan, agama, hukum dan HAM. Tiga menteri ini sudah dirasakan kurang pas pada posisi mereka masing-masing," ujar Ray kepada SINDOnews, Selasa (22/12/2020).
(Baca juga : Kaleidoskop: Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin )
Di sisi lain, lanjut Ray, kita tetap perlu mengingatkan Presiden Jokowi sebaiknya tidak terpaku pada soal wakil partai. Pada faktanya, menteri Jokowi yang berurusan dengan masalah hukum karena korupsi atau dugaan korupsi dan suap adalah menteri dari partai. Lebih dari cukup jadi pelajaran bagi presiden betapa rentan anggota kabinet dari partai ini termakan suap atau korupsi.
Selain itu, kata dia, jangan sampai Presiden Jokowi dicatat sebagai presiden yang paling banyak 'mengirim' anggota kabinetnya ke penjara karena dakwaan korupsi, suap atau gratifikasi. Cukup sudah ada dua menteri pada periode pertama, dan kini dua menteri tengah menghadapi kasus hukum di KPK.
(Baca juga : Mungkinkah Sekolah Tatap Muka Segera Diberlakukan? )
"Oleh karena itu, ini saat yang tepat bagi Presiden untuk mengembalikan posisi anggota kabinet bagi profesional non-partai. Khususnya di kursi kabinet yang mengelola dana APBN yang besar. Seperti KKP, Menkes, atau lainnya. Komposisi kabinet dengan mayoritas wakil partai, faktanya lebih banyak membuat presiden berkeluh kesah," ucapnya.
( ).
(Baca juga : Rekrutmen CPNS Siap Dibuka Lagi 2021, Monggo Disiapkan Syaratnya )
Menurut Ray, kemungkinan reshuffle kabinet kali ini dilakukan dengan besar-besaran. Mengganti lima atau enam anggota kabinet bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan berdampak keguncangan stabilitas pemerintahan. Selain pergantian, reposisi anggota kabinet juga sangat mungkin dilakukan.
"Tentu, selain dua kursi kabinet yang kosong, anggota kabinet lain juga perlu dipertimbangkan untuk di-reshuffle. Antara lain menteri kesehatan, agama, hukum dan HAM. Tiga menteri ini sudah dirasakan kurang pas pada posisi mereka masing-masing," ujar Ray kepada SINDOnews, Selasa (22/12/2020).
(Baca juga : Kaleidoskop: Satu Tahun Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin )
Di sisi lain, lanjut Ray, kita tetap perlu mengingatkan Presiden Jokowi sebaiknya tidak terpaku pada soal wakil partai. Pada faktanya, menteri Jokowi yang berurusan dengan masalah hukum karena korupsi atau dugaan korupsi dan suap adalah menteri dari partai. Lebih dari cukup jadi pelajaran bagi presiden betapa rentan anggota kabinet dari partai ini termakan suap atau korupsi.
Selain itu, kata dia, jangan sampai Presiden Jokowi dicatat sebagai presiden yang paling banyak 'mengirim' anggota kabinetnya ke penjara karena dakwaan korupsi, suap atau gratifikasi. Cukup sudah ada dua menteri pada periode pertama, dan kini dua menteri tengah menghadapi kasus hukum di KPK.
(Baca juga : Mungkinkah Sekolah Tatap Muka Segera Diberlakukan? )
"Oleh karena itu, ini saat yang tepat bagi Presiden untuk mengembalikan posisi anggota kabinet bagi profesional non-partai. Khususnya di kursi kabinet yang mengelola dana APBN yang besar. Seperti KKP, Menkes, atau lainnya. Komposisi kabinet dengan mayoritas wakil partai, faktanya lebih banyak membuat presiden berkeluh kesah," ucapnya.
( ).