KPK Sebut Sistem Lingkungan Kerja Bikin Pejabat Kaya Masih Korupsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kenaikan fantastis jumlah harta kekayaan pejabat alias penyelenggara negara selama menjabat memang patut dicurigai. Tetapi harta kekayaan sebenarnya tidak bersangkut paut dengan praktik tindak pidana korupsi. Penyelenggara negara yang paling kaya sekalipun belum tentu tidak akan melakukan korupsi. Dengan kata lain, kaya atau miskin sama-sama berpotensi korup.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan menyebut hal tersebut sesuai dengan kajian yang dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ( LHKPN ).
"Ternyata secara statistik tidak ada hubungan antara kekayaan dengan dia tersangkut kasus apa nggak. Sama sekali tidak ada hubungan. Artinya yang dulu miskin bisa juga korupsi, yang dulu kaya bisa juga korupsi," ujar Pahala Nainggolan kepada wartawan, Sabtu (12/12/2020).
(Baca: KPK Selamatkan Potensi Kerugian Negara Rp56,1 Triliun Selama 2020)
Pahala pun mengungkapkan faktor yang membuat pejabat terlibat korupsi adalah sistem yang ada di lingkungannya. Karena sistem inilah seorang yang memiliki harta banyak tetap berpotensi melakukan korupsi ketika menjadi pejabat.
"Padahal kalau kita pikir, kalau sudah kaya ya sudah dong. Tapi ternyata tidak ada hubungannya karena kita lihat juga sistem yang membelit membuat orang jadi tidak perduli kaya atau miskin selama lima tahun," jelasnya.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Misalnya, kata Pahala, kepala daerah selama menjabat terpaksa jatuh ke sistem yang membuat kepala daerah itu korupsi bukan buat dirinya sendiri. Padahal untuk yang lain misalnya sponsor dan pihak-pihak lain yang mendorong maju hingga korupsi untuk anak buahnya sendiri.
"Atau di daerah status dia sebagai kepala daerah yang membuat semua orang ekspektasinya tinggi. Kalau berkunjung bagi-bagi duit. Padahal kita sebut lah berapa sih gaji menteri? Cuma 19 juta plus dom (dana operasional menteri) 20 juta per bulan. 80% harus dipertanggung jawabkan. Padahal lihat ekspektasi orang, kalau ada menteri rasanya udah cukup lah semuanya. Padahal nggak," ungkapnya.
(Baca: KPK Diminta Lebih Berani Telusuri Asal Usul Harta Kekayaan Pejabat)
"Mangkanya kita pikir jadi gak relevan kaya atau miskin, sistemnya yang membelit orang jadi korupsi. Yang kuat iman aja yang gak terjerat korupsi, atau siap gak populer untuk tidak coba-coba korupsi," tambahnya.
Maka dari itu, pada saat calon kepala daerah dicokok saat mengikuti kontestasi tidak memiliki korelasi dengan kekayaannya.
"Jadi sekali lagi kajian kita bilang semua pilkada yang kepala daerahnya tersangkut KPK gak ada hubungannya antara kaya atau miskin dengan tertangkap waktu dia menjabat," pungkasnya.
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan menyebut hal tersebut sesuai dengan kajian yang dilihat dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ( LHKPN ).
"Ternyata secara statistik tidak ada hubungan antara kekayaan dengan dia tersangkut kasus apa nggak. Sama sekali tidak ada hubungan. Artinya yang dulu miskin bisa juga korupsi, yang dulu kaya bisa juga korupsi," ujar Pahala Nainggolan kepada wartawan, Sabtu (12/12/2020).
(Baca: KPK Selamatkan Potensi Kerugian Negara Rp56,1 Triliun Selama 2020)
Pahala pun mengungkapkan faktor yang membuat pejabat terlibat korupsi adalah sistem yang ada di lingkungannya. Karena sistem inilah seorang yang memiliki harta banyak tetap berpotensi melakukan korupsi ketika menjadi pejabat.
"Padahal kalau kita pikir, kalau sudah kaya ya sudah dong. Tapi ternyata tidak ada hubungannya karena kita lihat juga sistem yang membelit membuat orang jadi tidak perduli kaya atau miskin selama lima tahun," jelasnya.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Misalnya, kata Pahala, kepala daerah selama menjabat terpaksa jatuh ke sistem yang membuat kepala daerah itu korupsi bukan buat dirinya sendiri. Padahal untuk yang lain misalnya sponsor dan pihak-pihak lain yang mendorong maju hingga korupsi untuk anak buahnya sendiri.
"Atau di daerah status dia sebagai kepala daerah yang membuat semua orang ekspektasinya tinggi. Kalau berkunjung bagi-bagi duit. Padahal kita sebut lah berapa sih gaji menteri? Cuma 19 juta plus dom (dana operasional menteri) 20 juta per bulan. 80% harus dipertanggung jawabkan. Padahal lihat ekspektasi orang, kalau ada menteri rasanya udah cukup lah semuanya. Padahal nggak," ungkapnya.
(Baca: KPK Diminta Lebih Berani Telusuri Asal Usul Harta Kekayaan Pejabat)
"Mangkanya kita pikir jadi gak relevan kaya atau miskin, sistemnya yang membelit orang jadi korupsi. Yang kuat iman aja yang gak terjerat korupsi, atau siap gak populer untuk tidak coba-coba korupsi," tambahnya.
Maka dari itu, pada saat calon kepala daerah dicokok saat mengikuti kontestasi tidak memiliki korelasi dengan kekayaannya.
"Jadi sekali lagi kajian kita bilang semua pilkada yang kepala daerahnya tersangkut KPK gak ada hubungannya antara kaya atau miskin dengan tertangkap waktu dia menjabat," pungkasnya.
(muh)