Gara-gara Suap Edhy Prabowo, Beleid Ekspor Benur Harus Dibatalkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) Laode Muhamad Syarif menilai kasus dugaan suap dengan tersangka Edhy Prabowo selaku Menteri Kelautan dan Perikanan menjadi momentum pemerintah mengevaluasi dan membatalkan ekspor benih lobster (benur).
"Karena keputusan menteri soal membolehkannya ekspor benih lobster rawan dan menimbulkan praktik korupsi, maka Kepmen (Keputusan Menteri) tersebut harus dibatalkan," ujar Laode Muhamad Syarif kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (30/11/2020).
(Baca: Suap Benur Edhy Prabowo, Eks Pimpinan Desak KPK Usut Korporasi Lain)
Keputusan Menteri yang dimaksud Syarif sebenarnya adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah RI. Peraturan ini diteken Edhy Prabowo selaku Menteri KP tertanggal 4 Mei 2020 serta diundangkan dan berlaku sejak 5 Mei 2020.
Syarif melanjutkan, beleid yang diteken Edhy Prabowo tersebut harus diganti dengan beleid baru dan kembalikan ke Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia yang ditandatangani Susi Pudjiastuti selaku Menteri KP saat itu.
Untuk revisi beleid yang diteken Edhy, kata dia, maka yang harus melakukan adalah Menteri KP baru yang defenitif.
"Harus Menteri baru yang revisi aturan tersebut (Peraturan Menteri KP Nomor: 12/PERMEN-KP/2020)," bebernya.
(Baca: Menteri Pengganti Edhy Prabowo Disarankan Bukan Representasi Parpol)
Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform in Indonesia ini menggariskan, saat perkara Edhy Prabowo dkk nanti disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta maka KPK melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat melakukan aspek legal lainnya. Maksudnya, JPU KPK dapat meminta Pengadilan membatalkan berbagai izin-izin yang dikeluarkan Edhy Prabowo selaku Menteri KP ihwal ekspor benur.
"Jaksa KPK bisa minta pengadilan juga membatalkan izin-izin yang dikeluarkan oleh Menteri Edy karena dicurigai didapatkan izin-izin tersebut dengan kongkalikong dengan menteri, bahkan banyak yang mendapatkan izin adalah terafiasi dengan Gerindra. Intinya ada conflict of interest saat mengeluarkan izin," tegas Syarif.
"Karena keputusan menteri soal membolehkannya ekspor benih lobster rawan dan menimbulkan praktik korupsi, maka Kepmen (Keputusan Menteri) tersebut harus dibatalkan," ujar Laode Muhamad Syarif kepada SINDOnews di Jakarta, Senin (30/11/2020).
(Baca: Suap Benur Edhy Prabowo, Eks Pimpinan Desak KPK Usut Korporasi Lain)
Keputusan Menteri yang dimaksud Syarif sebenarnya adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah RI. Peraturan ini diteken Edhy Prabowo selaku Menteri KP tertanggal 4 Mei 2020 serta diundangkan dan berlaku sejak 5 Mei 2020.
Syarif melanjutkan, beleid yang diteken Edhy Prabowo tersebut harus diganti dengan beleid baru dan kembalikan ke Permen-KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia yang ditandatangani Susi Pudjiastuti selaku Menteri KP saat itu.
Untuk revisi beleid yang diteken Edhy, kata dia, maka yang harus melakukan adalah Menteri KP baru yang defenitif.
"Harus Menteri baru yang revisi aturan tersebut (Peraturan Menteri KP Nomor: 12/PERMEN-KP/2020)," bebernya.
(Baca: Menteri Pengganti Edhy Prabowo Disarankan Bukan Representasi Parpol)
Direktur Eksekutif Partnership for Governance Reform in Indonesia ini menggariskan, saat perkara Edhy Prabowo dkk nanti disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta maka KPK melalui Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat melakukan aspek legal lainnya. Maksudnya, JPU KPK dapat meminta Pengadilan membatalkan berbagai izin-izin yang dikeluarkan Edhy Prabowo selaku Menteri KP ihwal ekspor benur.
"Jaksa KPK bisa minta pengadilan juga membatalkan izin-izin yang dikeluarkan oleh Menteri Edy karena dicurigai didapatkan izin-izin tersebut dengan kongkalikong dengan menteri, bahkan banyak yang mendapatkan izin adalah terafiasi dengan Gerindra. Intinya ada conflict of interest saat mengeluarkan izin," tegas Syarif.
(muh)