Negara Jangan Memble di Petamburan
loading...
A
A
A
KAWASAN Petamburan, Jakarta Pusat, wabilkhusus sekitar kediaman Habib Rizieq Shihab (HRS) makin mengentalkan identitasnya. Kawasan ini tak sekadar menjadi basis penganut setia HRS, tapi warganya juga banyak yang memiliki pandangan tak jauh beda dengan junjungannya.
Penolakan keras mereka menjalani tes usap (swab test) sebagai ikhtiar untuk pelacakan (tracing) sebaran Covid-19 adalah contoh nyata terakhir yang menjadi indikasinya.
Banyak yang kaget dengan sikap ngotot mereka. Tapi, demikianlah faktanya. Fans HRS memang seolah menjadikan imam besarnya sebagai kebenaran tunggal. Praktis, ketika negara berupaya terlibat untuk membantu mereka, yang muncul adalah prasangka buruk, seperti pemaksaan atau upaya penindasan baru.
Sejak awal mereka memosisikan pemerintah sebagai objek perlawanannya. Dengan demikian, jika menerima kehadiran pemerintah, otomatis mengakui atas ketaklukkannya. Dengan lantang, bahkan mereka juga menegaskan memiliki tim dan peralatan medis tersendiri untuk pengetesan Covid-19. Dengan dalih itu, mereka menilai niat baik pemerintah akan sia-sia saja.
Fenomena yang terjadi di Petamburan dua pekan terakhir ini memang memprihatinkan. Kepulangan HRS yang kemudian diikuti beragam riak peristiwa dan mungkin drama politik seolah menjadi ujian bagi pemerintah. Sinyalemen ini tak berlebihan. Sejak awal, indikasi pemerintah seperti gagap dan memble menghadapi situasi ini begitu kentara. Yang terjadi kemudian bahkan tak sekadar gagap. Pemerintah seperti gagal memenuhi hak utama publik dalam bernegara, yakni keamanan dan keadilan (peace and justice) seiring pembiaran HRS dan kelompoknya beraktivitas atau berkerumun di tengah masa pandemi.
Situasi di Petamburan ini tidak boleh dibiarkan lama. Pembangkangan warga sipil ini tak sekadar menjadi tantangan demokrasi di Indonesia, tetapi lebih dari itu ada aspek kesehatan yang tak boleh dianggap remeh. Semakin warga setempat ngotot dan abai terhadap ancaman Covid-19, hakikatnya mereka sedang menggali kuburnya bersama-sama. Jika hal ini tak ditangani cepat dan serius, bahkan bahaya yang lebih besar lagi sangat mungkin terjadi.
Indikasi bahaya itu telah di depan mata. Setelah kedatangan HRS, di Kelurahan Petamburan sudah ada sedikitnya 20 warga setempat yang positif terpapar Covid. Tren kasus baru seperti dikatakan Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat Erizon Safari kemarin juga terdeteksi meningkat. Penambahan ini pulalah yang disinyalir jadi penyumbang kenaikan kasus baru di Jakarta hingga mencapai angka tertinggi dalam sembilan bulan terakhir. Jika Sabtu (21/11) lalu tercatat ada 1.575 kasus, sangat mungkin jika warga bersikeras tak mau dites, penambahan kasus baru yang lebih besar tinggal menunggu waktu saja.
Terlepas dengan beragam dalih yang disampaikan warga, negara utamanya jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus bertindak taktis. Dasar beragam regulasi seperti Peraturan Gubernur No 1010/2020 soal penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan Covid-19 atau Permenkes No 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mencakup beberapa sanksi bagi pelanggarnya bisa menjadi alat untuk menyelesaikan kemelut ini. Namun, harus dipahami bahwa pendekatan regulasi bukan solusi tunggal. Meski negara memiliki kewenangan memaksa, cara-cara yang humanis dengan menyentuh emosional mereka diyakini akan lebih efektif. Maka, dengan kesadaran itu, aparat harus melakukan pendekatan persuasif, sekaligus mengesampingkan cara-cara show of force yang membuat mereka makin antipati. Seberapa keras sikap mereka, para fans HRS ini hakikatnya manusia yang sekadar memiliki cara pandang berbeda.
Dalam kerangka lebih luas, pemerintah juga tak bisa menyepelekan fenomena di Petamburan ini. Semakin cermat pemerintah bertindak, maka akan makin menebalkan lagi kepercayaan publik. Dalam pendekatan berpikir sistemik, penyelesaian fenomena Petamburan ini tak sekadar dilihat sebagaimana yang tampak di permukaan. Ada masalah inti dan mendasar yang membuat mereka bersikap seperti itu. Bisa jadi perbedaan pandangan politik hanyalah muara. Sebelumnya mungkin mereka kecewa dengan justice and peace yang terampas. Persoalan inilah yang harus ditemukan dan dicari formula penyelesaian. Lagi-lagi harapannya agar pemerintah tak lagi seolah dibuat memble di kawasan yang sejak kolonial Belanda dikenal permukiman multietnis itu.
Penolakan keras mereka menjalani tes usap (swab test) sebagai ikhtiar untuk pelacakan (tracing) sebaran Covid-19 adalah contoh nyata terakhir yang menjadi indikasinya.
Banyak yang kaget dengan sikap ngotot mereka. Tapi, demikianlah faktanya. Fans HRS memang seolah menjadikan imam besarnya sebagai kebenaran tunggal. Praktis, ketika negara berupaya terlibat untuk membantu mereka, yang muncul adalah prasangka buruk, seperti pemaksaan atau upaya penindasan baru.
Sejak awal mereka memosisikan pemerintah sebagai objek perlawanannya. Dengan demikian, jika menerima kehadiran pemerintah, otomatis mengakui atas ketaklukkannya. Dengan lantang, bahkan mereka juga menegaskan memiliki tim dan peralatan medis tersendiri untuk pengetesan Covid-19. Dengan dalih itu, mereka menilai niat baik pemerintah akan sia-sia saja.
Fenomena yang terjadi di Petamburan dua pekan terakhir ini memang memprihatinkan. Kepulangan HRS yang kemudian diikuti beragam riak peristiwa dan mungkin drama politik seolah menjadi ujian bagi pemerintah. Sinyalemen ini tak berlebihan. Sejak awal, indikasi pemerintah seperti gagap dan memble menghadapi situasi ini begitu kentara. Yang terjadi kemudian bahkan tak sekadar gagap. Pemerintah seperti gagal memenuhi hak utama publik dalam bernegara, yakni keamanan dan keadilan (peace and justice) seiring pembiaran HRS dan kelompoknya beraktivitas atau berkerumun di tengah masa pandemi.
Situasi di Petamburan ini tidak boleh dibiarkan lama. Pembangkangan warga sipil ini tak sekadar menjadi tantangan demokrasi di Indonesia, tetapi lebih dari itu ada aspek kesehatan yang tak boleh dianggap remeh. Semakin warga setempat ngotot dan abai terhadap ancaman Covid-19, hakikatnya mereka sedang menggali kuburnya bersama-sama. Jika hal ini tak ditangani cepat dan serius, bahkan bahaya yang lebih besar lagi sangat mungkin terjadi.
Indikasi bahaya itu telah di depan mata. Setelah kedatangan HRS, di Kelurahan Petamburan sudah ada sedikitnya 20 warga setempat yang positif terpapar Covid. Tren kasus baru seperti dikatakan Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat Erizon Safari kemarin juga terdeteksi meningkat. Penambahan ini pulalah yang disinyalir jadi penyumbang kenaikan kasus baru di Jakarta hingga mencapai angka tertinggi dalam sembilan bulan terakhir. Jika Sabtu (21/11) lalu tercatat ada 1.575 kasus, sangat mungkin jika warga bersikeras tak mau dites, penambahan kasus baru yang lebih besar tinggal menunggu waktu saja.
Terlepas dengan beragam dalih yang disampaikan warga, negara utamanya jajaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus bertindak taktis. Dasar beragam regulasi seperti Peraturan Gubernur No 1010/2020 soal penerapan disiplin dan penegakan hukum protokol kesehatan Covid-19 atau Permenkes No 9/2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mencakup beberapa sanksi bagi pelanggarnya bisa menjadi alat untuk menyelesaikan kemelut ini. Namun, harus dipahami bahwa pendekatan regulasi bukan solusi tunggal. Meski negara memiliki kewenangan memaksa, cara-cara yang humanis dengan menyentuh emosional mereka diyakini akan lebih efektif. Maka, dengan kesadaran itu, aparat harus melakukan pendekatan persuasif, sekaligus mengesampingkan cara-cara show of force yang membuat mereka makin antipati. Seberapa keras sikap mereka, para fans HRS ini hakikatnya manusia yang sekadar memiliki cara pandang berbeda.
Dalam kerangka lebih luas, pemerintah juga tak bisa menyepelekan fenomena di Petamburan ini. Semakin cermat pemerintah bertindak, maka akan makin menebalkan lagi kepercayaan publik. Dalam pendekatan berpikir sistemik, penyelesaian fenomena Petamburan ini tak sekadar dilihat sebagaimana yang tampak di permukaan. Ada masalah inti dan mendasar yang membuat mereka bersikap seperti itu. Bisa jadi perbedaan pandangan politik hanyalah muara. Sebelumnya mungkin mereka kecewa dengan justice and peace yang terampas. Persoalan inilah yang harus ditemukan dan dicari formula penyelesaian. Lagi-lagi harapannya agar pemerintah tak lagi seolah dibuat memble di kawasan yang sejak kolonial Belanda dikenal permukiman multietnis itu.
(bmm)