Prank Dalam Budaya Persaingan Digital
loading...
A
A
A
Dr. Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org
Etika masyarakat yang terasah, terindikasi oleh keresahan yang terlontar, manakala ada tindakan tak etis, menimpa masyarakat lainnya. Hari-hari ini, kenyataan itu mengemuka. Jagad media sosial ramai oleh makian pedas masyarakat, akibat beberapa transgender jadi korban iseng pembuatan konten Youtube. Pelakunya, sekelompok anak muda dengan eksperimen bernada iseng. Di tengah pandemic Covid-19, mereka bagi-bagi nasi kotak. Tapi isinya sampah dan batu bata. Terlontar alasan mereka, motif iseng yang melewati batas ini, “Biar aja, yang menerima kan sampah masyarakat”. Demikian kurang lebih.
Iseng atau prank, termasuk di jagad media sosial, belum banyak diteliti. Demikian Stephanie Pappas, 2016 dalam April Fools' Day! Why People Love Pranks ? Ia menyebut, humor berbasis lelucon ini bisa kejam atau baik hati, dicintai atau dibenci, tapi tak lain adalah tindakan sekedarnya, yang sifatnya sambil lalu. Sosiolog Harold Garfinkel, di artikel yang sama, menyebut prank sebagai bagian perpeloncoan. Sebuah ritual yang dirancang untuk menempatkan seseorang, yang bakal jadi bagian dari suatu kelompok, termasuk kelompok tentara dalam kamp pelatihan bersama. Di sini pranks terjadi dari atas, kakak angkatan ke adik angkatannya. Demikian juga pada karyawan senior yang menempelkan tanda “peserta baru” di meja karyawan tahap percobaan. Selama tak terlalu berbahaya, prank macam ini berfungsi sebagai tanda penerimaan oleh kelompok.
Lebih lanjut, prank yang kandungannya main-main menurut filsuf Henri Bergson, tak ubahnya perusak kerja otomatis mesin. Di sini dapat dibayangkan, sekelompok manusia yang bekerja rutin tanpa variasi dalam kurun waktu panjang. Mereka menjelma jadi mesin tanpa nyawa, dan bergerak otomatis. Maka untuk mengembalikan pada kemanusiaannya, perilaku otomatis itu harus diganggu. Dan itu dapat ditempuh lewat permainan.
Sedangkan David Verhaagen yang pernyataannya dimuat dalam tulisan Frank Gaskill, 2017, A Psychologist’s Take on Why We Prank, menyebut implikasi prank berupa munculnya sikap sugrophobia. Sebuah sikap yang terindikasi oleh tindakan ekstra hati-hati seseorang. Ini memastikan dirinya bukan korban prank. Studi dalam jurnal Review of General Psychology menemukan, bahwa orang tidak suka ditipu, termasuk dalam konteks prank. Orang-orang yang pernah jadi korban, sering menunjukkan tanda-tanda menyalahkan diri sendiri, seraya berharap mereka memainkan permainan secara berbeda.
Prank yang mengusik banyak pihak kali ini, bukan kejadian yang pertama kali. Beberapa saat sebelumnya, prank bertema, ngerjain pengemudi ojol, juga ramai dan disesalkan banyak kalangan. Ini karena merugikan korbannya secara ekonomi. Hari ini, masyarakat kembali terusik. Keisengan yang dianggap sumber hiburan pelakunya, dan diharapkan menghibur juga konsumennya, justru mengundang kegeraman masyarakat. Ini lantaran mengandung hinaan pada kelompok masyarakat yang tak tergolong arus utama, para transgender.
Dari waktu ke waktu, dosis konten prank terus meningkat. Ibarat imunitas, rasa terhibur orang jadi kebal. Untuk menembusnya, dituntut hal baru. Apa yang menarik di masa lalu, hari ini sudah bukan hiburan lagi. Terlebih ketika produksi dan distribusi informasi melalui media digital demikian intensifnya. Sesuatu yang baru hari ini, jadi usang esok hari. Diperlukan kreativitas terus-menerus menciptakan kebaruan.
Sayangnya untuk membangun kreativitas tidak semua orang paham batas etika. Etika adalah pedoman baik dan buruk perilaku yang sifatnya universal. Di manapun tempatnya di dunia, merugikan orang lain secara moral maupun material, itu tidak etis. Kapan pun waktunya, membuat orang terhina bukanlah tindakan etis. Dilema-dilema etika inilah yang sering ditabrak, lantaran inginkan konten dengan daya tarik baru. Nampak, apapun dilakukan demi konten.
Dalam dunia hiburan, termasuk yang bermedium Youtube juga berlaku hukum supply dan demand. Supply kadar iseng yang naik, didorong oleh demand iseng berkadar tinggi. Terjadi hubungan siklikal di antara keduanya. Relevan dengan siklus ini, budayawan Sujiwotedjo, lewat unggahan intagramnya menulis, “Bukan Youtuber prank itu, tapi masyarakatlah yang harus dilaporkan ke polisi. Ya, kita semua, masyarakat yang suka nonton prank dan yang tak suka nonton prank tapi tak bisa mendidik anak2nya agar muntah kalau lihat prank. Tanpa kita semua, tak mungkin lahir Youtuber-2 prank”. Prank tak etis tak bakal ada, jika masyarakatnya tak meminta hal yang tak etis. Ini dapat dinyatakan dengan cara lain, konten adalah cermin dari masyarakatnya. Benarkah ?
Anggapan final, konten jadi cermin masyarakatnya tak selamanya benar. Ini terutama jika melihat proses persaingan merebut perhatian di jagad digital. Terjadi proses persaingan yang sengit. Konten yang menarik peroleh sambutan, dan yang buruk tak ada tanggapan. Tanggapan terindikasi dari like, retweet, regram, ramainya trafic hingga tercapainya trending topic. Ini semua ukuran kuantitatif. Sayangnya, dalam proses persaingan itu terjadi trial end error. Kreator melempar dulu konten ke konsumen, dan menanti reaksi. Terjadi negosiasi virtual, termasuk pada konten yang kandungannya tak etis. Dalam prosesnya, tak berarti hanya yang baik saja yang bakal diterima. Konten yang buruk pun, sering lolos seolah jadi selera masyarakat. Ada masalah terkait pemahaman etika. Tak semuanya paham, menghina transgender berarti menghina kemanusiaan. Sehingga produksi prank tak etis itu sempat lolos.
Bukti bahwa itu bukan selera masyarakat, prank tak etis itu tak bertahan lama. Terhenti oleh kemarahan masyarakat. Untuk konten lain yang bertebaran, memang tak terelakkan banyak dipengaruhi aspek kuantitatif. Ini bermuara pada perolehan iklan, yang artinya uang. Masyarakat yang baru asyik dengan persiangan konten, seakan meletakkan etika sebatas dimensi keuntungan ekonomi. Akan makin runyam, jika terus jadi satu-satunya pertimbangan.
(rza)