Pelanggaran Netralitas Masih Terjadi, MenPANRB: Banyak ASN 'Gagal Paham'

Selasa, 27 Oktober 2020 - 17:03 WIB
loading...
Pelanggaran Netralitas Masih Terjadi, MenPANRB: Banyak ASN Gagal Paham
MenPANRB Tjahjo Kumolo mengakui, pelanggaran terhadap netralitas masih terjadi. Dia membeberkan hasil survei KASN penyebab terjadinya pelanggaran netralitas. Foto/SINDOnews/Dita Angga
A A A
JAKARTA - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPANRB) Tjahjo Kumolo mengakui, pelanggaran terhadap netralitas masih terjadi. Dia membeberkan hasil survei KASN penyebab terjadinya pelanggaran netralitas.

(Baca juga: Dalam 1 Tahun Bekerja, Jaksa Agung Selamatkan Uang Negara)

"Penyebab terjadinya pelanggaran netralitas ASN yang paling dominan adalah adanya motif untuk mendapatkan/mempertahankan jabatan/materi/proyek 43,4%,” kata Tjahjo dalam Webminar Netralitas ASN dalam Pilkada Serentak, Selasa (27/10/2020).

(Baca juga: Waspada Hujan dan Angin Dampak Siklon Tropis Molave)

Penyebab selanjutnya adalah hubungan kekeluargaan/ kekerabatan dengan calon 15,4%. Lalu kurangnya pemahaman aturan/regulasi tentang netralitas ASN 12,1%, adanya intervensi/tekanan dari pimpinan/atasan 7,7%, dan kurangnya integritas ASN untuk bersikap netral 5,5%.

“Kemudian ketidaknetralan ASN dianggap sebagai hal lumrah 4,9%, pemberian sanksi lemah 2,7%, alasan lainnya 1,6%, dan tidak menjawab 6,6%,” ungkapnya.

Tjahjo menyebut, gangguan netralitas justru datang dari individu ASN bukan secara kelembagaan. Dia menduga masih banyak ASN yang ‘gagal paham’ terkait masalah netralitas ini. Salah satunya berkaitan dengan sulitnya menjaga netralitas karena di posisi manapun akan sulit.

“Banyak ASN yang masih ‘gagal paham’, salah paradigma, dan memiliki pola pikir (mindset dan cultureset-nya) yang belum tepat. Mereka selalu berdalih posisi ASN itu dilematis, maju kena mundur kena, netral pun kena. Barangkali sebenarnya tidak demikian karena aturannya sudah jelas,” tuturnya.

“Kemudian pemikiran- pemikiran ingin berkarir dengan cara yang mudah, dengan menggunakan perkoncoan, harus berkeringat, harus dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah. Padahal sebetulnya yang dibutuhkan bukan ASN yang berkeringat, yang dekat dengan calon atau bakal calon kepala daerah, melainkan yang berpikir. Potensi tersebut juga datang dari perilaku budaya birokrasi masa lalu,” paparnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1706 seconds (0.1#10.140)