Cegah Eksploitasi, Pemerintah Harus Benahi Aturan Pengiriman ABK ke Luar Negeri
loading...
A
A
A
JAKARTA - Video pembuangan jenazah awak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal China membuka tabir tentang eksploitasi pekerja migran Indonesia (PMI). Nasional Destructive Fishing Watch (DWF) Indonesia mendesak pemerintah melakukan evaluasi terhadap aturan pengiriman awak kapal ikan ke luar negeri.
Koordinator DWF Indonesia, M Abdi Suhufan mengatakan pemerintah perlu melakukan edukasi dan kampanye pencegahan kepada masyarakat luas. Sosialisasi itu agar masyarakat tidak terjebak pada praktek kerja paksa dan perdagangan orang.
“Melihat perlakukan tidak ada adil yang dialami awak kapal perikanan dan menyebabkan kematian mengindikasikan kerja paksa dan perbudakan masih terjadi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (7/5/2020).
Semua yang dialami ABK Indonesia di kapal ikan berbendera China itu merupakan puncak gunung es dari kerja paksa. Ini memerlukan kerja keras dari semua pihak untuk mencegah peristiwa seperti itu terulang kembali.
Abdi mengungkapkan perlu evaluasi terhadap aturan dan mekanisme pengiriman ABK ke luar negeri. Saat ini ada lima jalur pengiriman, yakni Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pemerintah daerah, dan mandiri melalui kerja sama bisnis.
Banyaknya jalur ini mengakibatkan pengawasan terhadap ABK yang bekerja di luar negeri sulit dilakukan. “KBRI akhirnya sulit mendeteksi keberadaan mereka untuk melakukan monitoring karena aturan tiap-tiap instansi pengirim berbeda,” tutur Abdi.
Sebenarnya sudah ada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Buruh Migran sebagai payung hukum. Namun, peraturan pemerintah sebagai turunannya belum pernah dibuat. Abdi menjelaskan mayoritas ABK Indonesia berangkat ke luar negeri melalui jalur ilegal.
“Ini masalah besar. Sebab pemerintah tidak punya data pasti jumlah awak kapal perikanan di negara tempatnya bekerja. Keberadaan dan aktivitas mereka terungkap jika ada kasus seperti di Korea Selatan,” pungkasnya.
Koordinator DWF Indonesia, M Abdi Suhufan mengatakan pemerintah perlu melakukan edukasi dan kampanye pencegahan kepada masyarakat luas. Sosialisasi itu agar masyarakat tidak terjebak pada praktek kerja paksa dan perdagangan orang.
“Melihat perlakukan tidak ada adil yang dialami awak kapal perikanan dan menyebabkan kematian mengindikasikan kerja paksa dan perbudakan masih terjadi,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (7/5/2020).
Semua yang dialami ABK Indonesia di kapal ikan berbendera China itu merupakan puncak gunung es dari kerja paksa. Ini memerlukan kerja keras dari semua pihak untuk mencegah peristiwa seperti itu terulang kembali.
Abdi mengungkapkan perlu evaluasi terhadap aturan dan mekanisme pengiriman ABK ke luar negeri. Saat ini ada lima jalur pengiriman, yakni Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pemerintah daerah, dan mandiri melalui kerja sama bisnis.
Banyaknya jalur ini mengakibatkan pengawasan terhadap ABK yang bekerja di luar negeri sulit dilakukan. “KBRI akhirnya sulit mendeteksi keberadaan mereka untuk melakukan monitoring karena aturan tiap-tiap instansi pengirim berbeda,” tutur Abdi.
Sebenarnya sudah ada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Buruh Migran sebagai payung hukum. Namun, peraturan pemerintah sebagai turunannya belum pernah dibuat. Abdi menjelaskan mayoritas ABK Indonesia berangkat ke luar negeri melalui jalur ilegal.
“Ini masalah besar. Sebab pemerintah tidak punya data pasti jumlah awak kapal perikanan di negara tempatnya bekerja. Keberadaan dan aktivitas mereka terungkap jika ada kasus seperti di Korea Selatan,” pungkasnya.
(kri)