Data Pribadi Pengunjung Direkam Dinilai Rentan Pelanggaran Hak Privasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seiring penerapan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di Jakarta pada 12 Oktober 2020, Gubernur DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan perekaman data pribadi pengunjung pusat perbelanjaan. Pendataan ini dimaksudkan untuk memudahkan penelusuran penelusuran kontak suspek pasien Covid-19 (virus Corona) jika terjadi transmisi.
(Baca juga: UU Cipta Kerja Bukan Untungkan Pengusaha Menurut Penegasan Kadin)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai, kebijakan itu bakal menambah daftar panjang potensi dan risiko penyalahgunaan data pribadi meski didasarkan dengan alasan kesehatan publik.
(Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, Ribuan Buruh Geruduk DPRD Jombang)
"Situasi itu menjadi makin rentan dengan belum adanya hukum pelindungan data pribadi yang mampu menjamin transparansi dan akuntabilitas atas setiap pemrosesan data pribadi," kata Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar dalam pernyataan tertulisnya yang diperoleh SINDOnews, Kamis (15/10/2020).
Ia memahami teknologi memang menjadi salah satu tumpuan utama dalam penanganan Covid-19. Mulai dari pembuatan aplikasi penelusuran, aplikasi karantina rumah yang memantau pergerakan suspek atau pasien positif Covid-19, hingga penerapan kategorisasi berdasarkan warna untuk menentukan seseorang harus melakukan karantina atau tidak.
Hal serupa juga dikembangkan pemerintah dengan penggunaan aplikasi PeduliLindung dan pembatasan pengunjung melalui pendaftaran dan perekaman data pribadi dengan sistem QR code scanning di berbagai gedung dan pusat perbelanjaan.
Hanya saja, kebijakan yang baru dirilis oleh Pemprov DKI Jakarta mengharuskan perekaman enam digit Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor telepon seluler pengunjung sarana dan prasarana publik. Aturan tersebut juga mencatat waktu kedatangan dan kepulangan pengunjung dengan tujuan mempermudah penelusuran kontak suspek Covid-19 terhadap pasien yang telah dinyatakan positif.
Sementara, NIK adalah elemen data pribadi yang saat ini menjadi instrumen utama untuk mengidentifikasi seseorang. Ketika seseorang ingin mendapatkan akses layanan publik, nomor tersebut menjadi persyaratan utama untuk memperoleh layanan itu. Belum lagi, kombinasi NIK dan nomor telepon seluler yang serupa dengan proses registrasi SIM Card, akan makin memudahkan dalam identifikasi seseorang.
Selain itu, lanjut Wahyudi, tidak adanya rujukan hukum perlindungan data pribadi yang memadai juga menjadikan ketidakjelasan kewajiban dari penyedia sarana dan prasarana publik dalam pemrosesan data pribadi.
"Ketidakjelasan dalam perlindungan tersebut berdampak pada kian rentannya hak atas privasi warga. Jika kebijakan itu tetap dipaksakan penerapannya, justru berpotensi akan melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas privasi," tegas dia.
Karena itu, ELSAM menilai, perlunya pemerintah meninjau ulang kebijakan perekaman data pengunjung sarana dan prasarana publik, untuk disesuaikan dengan prinsip dan instrumen hukum pelindungan data pribadi.
Jika perekaman data pengunjung tetap dilakukan, maka pemerintah harus segera melengkapinya dengan instrumen hukum untuk melindungi data-data pribadi yang diproses demi memastikan nihilnya penyalahgunaan data-data pribadi tersebut.
(Baca juga: UU Cipta Kerja Bukan Untungkan Pengusaha Menurut Penegasan Kadin)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai, kebijakan itu bakal menambah daftar panjang potensi dan risiko penyalahgunaan data pribadi meski didasarkan dengan alasan kesehatan publik.
(Baca juga: Tolak UU Cipta Kerja, Ribuan Buruh Geruduk DPRD Jombang)
"Situasi itu menjadi makin rentan dengan belum adanya hukum pelindungan data pribadi yang mampu menjamin transparansi dan akuntabilitas atas setiap pemrosesan data pribadi," kata Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar dalam pernyataan tertulisnya yang diperoleh SINDOnews, Kamis (15/10/2020).
Ia memahami teknologi memang menjadi salah satu tumpuan utama dalam penanganan Covid-19. Mulai dari pembuatan aplikasi penelusuran, aplikasi karantina rumah yang memantau pergerakan suspek atau pasien positif Covid-19, hingga penerapan kategorisasi berdasarkan warna untuk menentukan seseorang harus melakukan karantina atau tidak.
Hal serupa juga dikembangkan pemerintah dengan penggunaan aplikasi PeduliLindung dan pembatasan pengunjung melalui pendaftaran dan perekaman data pribadi dengan sistem QR code scanning di berbagai gedung dan pusat perbelanjaan.
Hanya saja, kebijakan yang baru dirilis oleh Pemprov DKI Jakarta mengharuskan perekaman enam digit Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor telepon seluler pengunjung sarana dan prasarana publik. Aturan tersebut juga mencatat waktu kedatangan dan kepulangan pengunjung dengan tujuan mempermudah penelusuran kontak suspek Covid-19 terhadap pasien yang telah dinyatakan positif.
Sementara, NIK adalah elemen data pribadi yang saat ini menjadi instrumen utama untuk mengidentifikasi seseorang. Ketika seseorang ingin mendapatkan akses layanan publik, nomor tersebut menjadi persyaratan utama untuk memperoleh layanan itu. Belum lagi, kombinasi NIK dan nomor telepon seluler yang serupa dengan proses registrasi SIM Card, akan makin memudahkan dalam identifikasi seseorang.
Selain itu, lanjut Wahyudi, tidak adanya rujukan hukum perlindungan data pribadi yang memadai juga menjadikan ketidakjelasan kewajiban dari penyedia sarana dan prasarana publik dalam pemrosesan data pribadi.
"Ketidakjelasan dalam perlindungan tersebut berdampak pada kian rentannya hak atas privasi warga. Jika kebijakan itu tetap dipaksakan penerapannya, justru berpotensi akan melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas privasi," tegas dia.
Karena itu, ELSAM menilai, perlunya pemerintah meninjau ulang kebijakan perekaman data pengunjung sarana dan prasarana publik, untuk disesuaikan dengan prinsip dan instrumen hukum pelindungan data pribadi.
Jika perekaman data pengunjung tetap dilakukan, maka pemerintah harus segera melengkapinya dengan instrumen hukum untuk melindungi data-data pribadi yang diproses demi memastikan nihilnya penyalahgunaan data-data pribadi tersebut.
(maf)